NovelToon NovelToon
Teman Level Adalah Pokoknya

Teman Level Adalah Pokoknya

Status: sedang berlangsung
Genre:Trauma masa lalu / Teen Angst / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:4
Nilai: 5
Nama Author: Firmanshxx969

Firman (22) punya satu prinsip dalam hidupnya: "Jangan pernah berharap sama manusia, maka kamu tidak akan kecewa." Pengkhianatan di masa lalu mengubahnya menjadi jurnalis yang dingin dan skeptis terhadap komitmen. Baginya, cinta adalah variabel yang tidak rasional.

​Di sebuah lapangan badminton di Samarinda, ia bertemu Yasmin (22). Seorang dokter muda yang lembut namun memiliki tembok yang sama tingginya dengan Firman. Yasmin adalah ahli dalam mengobati fisik, tapi ia sendiri gagal menyembuhkan luka akibat ditinggalkan tanpa penjelasan.

​Mereka tidak menjanjikan selamanya. Mereka hanya sepakat untuk berada di "level" yang sama sebagai teman diskusi, teman batin, namun tanpa ikatan yang mencekik. Namun, ketika masa lalu mulai kembali menagih janji dan jarak antar kota (Bontang hingga Labuan Bajo) mulai menguji, mampukah mereka tetap di level yang aman? Ataukah mereka harus memilih: Berhenti sebelum terluka, atau berani hancur demi satu kesempatan bahagia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 5: TEMAN LEVEL ADALAH POKOKNYA

Debu beterbangan di halaman Panti Asuhan "Kasih Bunda" yang terletak di pinggiran Samarinda. Suara tawa anak-anak yang berlarian beradu dengan deru kipas angin tua yang berusaha keras melawan teriknya matahari pukul sepuluh pagi. Firman berdiri di sudut teras, mengalungkan kamera DSLR-nya, sambil mencatat beberapa poin penting di buku saku.

Pandangannya tak lepas dari sosok perempuan yang sedang berjongkok di depan seorang anak kecil berusia lima tahun. Yasmin tampak sangat berbeda hari ini. Ia mengenakan kaus polo putih dengan logo rumah sakit, celana chino krem, dan stetoskop yang melingkar di lehernya. Rambutnya dikuncir kuda tinggi, menampakkan wajahnya yang berseri-seri meski peluh mulai membasahi pelipisnya.

"Nah, sekarang tarik napas dalam-dalam... pinter!" Yasmin tersenyum lebar, memberikan stiker bintang ke punggung tangan anak itu setelah selesai memeriksa dadanya.

Firman tanpa sadar mengarahkan lensa kameranya ke arah Yasmin. Cekrek.

Ia melihat hasilnya di layar kecil kamera. Foto itu menangkap sisi Yasmin yang belum pernah ia lihat: sisi keibuan, ketulusan tanpa batas, dan binar mata yang seolah mengatakan bahwa dunia ini masih layak untuk diperjuangkan.

Sial, dia benar-benar terlihat seperti malaikat di tengah kekacauan ini, batin Firman. Ia segera menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran-pikiran yang mulai melenceng dari jalur "rasional".

"Mas Firman! Jangan cuma bengong di situ, sini bantu bagiin susunya!" teriak Yasmin sambil melambai ke arahnya.

Firman mendengus, tapi kakinya melangkah juga. "Saya di sini untuk meliput, Dokter. Bukan jadi pelayan distribusi susu."

"Liputan yang bagus itu kalau jurnalisnya merasakan langsung apa yang terjadi di lapangan, Mas. Ayo, jangan kaku terus!" balas Yasmin dengan nada menggoda.

Firman akhirnya menyerah. Ia meletakkan kameranya di kursi kayu dan mulai membantu membagikan kotak susu kepada anak-anak yang mengantre. Selama hampir satu jam, mereka bekerja sama dengan ritme yang tak terduga. Tidak ada kecanggungan, hanya koordinasi alami yang membuat segalanya terasa ringan.

"Capek?" tanya Yasmin saat mereka akhirnya bisa duduk sebentar di bawah pohon mangga besar di sudut halaman. Ia menyodorkan sebotol air mineral dingin pada Firman.

"Lebih capek daripada wawancara pejabat," keluh Firman, namun ia meminum air itu dengan lahap.

"Tapi Mas terlihat lebih 'hidup' hari ini. Nggak sedingin biasanya," Yasmin memperhatikan wajah Firman yang memerah karena panas matahari.

"Mungkin karena oksigen di sini lebih banyak daripada di kantor redaksi yang penuh asap rokok," jawab Firman seadanya. Ia menatap Yasmin. "Terima kasih, Yas. Untuk... semuanya."

Yasmin tersenyum tipis. "Sama-sama. Kita kan 'Teman Level'. Ingat?"

Baru saja Firman hendak membalas, suara deru mesin mobil mewah yang berhenti di depan pagar panti asuhan mengalihkan perhatian semua orang. Sebuah mobil sedan putih yang sangat familiar bagi Firman.

Pintu mobil terbuka, dan seorang perempuan turun dengan langkah yang ragu namun elegan. Dia mengenakan terusan bunga-bunga yang cantik, kacamata hitam yang kemudian dilepasnya, menyingkap mata yang tampak sembab.

Sarah.

Dunia seolah mendadak sunyi bagi Firman. Semua tawa anak-anak dan suara burung di pohon mangga itu lenyap, berganti dengan suara detak jantungnya sendiri yang berdegup kencang hingga terasa menyakitkan.

Sarah berjalan mendekat, matanya langsung tertuju pada Firman. Namun, saat jarak mereka tinggal beberapa meter, pandangannya beralih ke Yasmin yang duduk di samping Firman.

"Firman..." suara Sarah bergetar. Ia tampak begitu kontras dengan suasana panti asuhan yang sederhana. Ia terlihat seperti lukisan mahal yang dipaksakan masuk ke galeri pasar loak.

Firman berdiri perlahan, tubuhnya kaku seperti beton. "Sarah? Apa yang kamu lakukan di sini?"

Sarah mengabaikan pertanyaan itu. Ia menatap Yasmin dari ujung rambut hingga ujung kaki. Rasa cemburu terpancar jelas dari matanya yang mulai berkaca-kaca. "Jadi benar... apa yang dibilang Andre itu benar? Kamu sudah menemukan penggantiku secepat ini?"

Yasmin ikut berdiri. Ia tidak tampak panik, tapi Firman bisa melihat ada sedikit ketegangan di bahu perempuan itu. Namun, sebelum Yasmin sempat bicara, Firman sudah mengambil langkah maju.

"Apa urusannya denganmu, Sar? Kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi," suara Firman terdengar sangat dingin, lebih dingin dari biasanya.

"Setahun, Fir! Aku hancur selama setahun, dan kamu... kamu terlihat sangat bahagia di sini dengan perempuan ini!" Sarah menunjuk Yasmin dengan jari yang gemetar. "Siapa dia? Kenapa dia bisa merebut posisiku begitu mudah?"

Yasmin menarik napas panjang. Ia menatap Sarah dengan tenang, tatapan seorang dokter yang sedang melihat luka terbuka. "Mbak Sarah, perkenalkan, saya Yasmin. Saya tidak merebut posisi siapa pun. Karena posisi Mas Firman di hidup saya, dan posisi saya di hidupnya, bukanlah sesuatu yang bisa diperebutkan."

"Diam kamu! Aku nggak bicara sama kamu!" bentak Sarah. Ia kembali menatap Firman. "Fir, tolong bilang kalau ini cuma sandiwara. Bilang kalau kamu cuma mau balas dendam padaku karena aku mau nikah sama Andre. Bilang kalau kamu masih mencintaiku..."

Firman merasa ulu hatinya seperti diremas. Kalimat Sarah adalah racun yang paling mematikan bagi logikanya. Namun, ia kemudian melirik ke sampingnya, ke arah Yasmin yang tetap berdiri kokoh meski baru saja dibentak.

Firman menyadari sesuatu. Sarah adalah masa lalu yang penuh dengan tuntutan, air mata, dan pengkhianatan. Sementara Yasmin... Yasmin adalah masa kini yang menawarkan kedamaian tanpa syarat.

"Sarah, dengar baik-baik," Firman bicara dengan nada yang sangat tenang, tapi penuh penekanan. "Kamu yang memutuskan untuk pergi. Kamu yang memilih Andre. Kamu yang menghancurkan semua rencana kita. Sekarang, saat kamu merasa takut dengan pilihanmu sendiri, kamu datang padaku dan menuntut penjelasan?"

"Tapi aku mencintaimu, Fir! Aku salah, aku akui aku salah!" tangis Sarah pecah. Beberapa anak panti mulai ketakutan melihat adegan itu.

Firman mendekati Yasmin, lalu tanpa ragu, ia memegang tangan Yasmin di depan Sarah. Tangan Yasmin terasa hangat, memberikan kekuatan yang luar biasa bagi Firman untuk tetap berpijak di bumi.

"Yasmin bukan penggantimu, Sarah. Dia adalah seseorang yang baru, yang memberiku sesuatu yang nggak pernah kamu berikan: rasa aman untuk menjadi diriku sendiri tanpa harus takut dikecewakan," ucap Firman tegas.

"Jadi kalian... kalian pacaran?" tanya Sarah dengan suara serak.

Firman terdiam sejenak. Ia teringat kesepakatan mereka. Ia melirik Yasmin, seolah meminta izin lewat mata. Yasmin memberikan anggukan kecil yang nyaris tak terlihat sebuah dukungan penuh.

"Kami berada di level yang tidak akan pernah kamu mengerti," jawab Firman diplomatis. "Kami adalah teman yang saling menjaga. Teman yang level kepeduliannya lebih tinggi dari sekadar status di atas kertas. Dan bagi kami, itu sudah cukup. Teman level adalah pokoknya bagi kami sekarang."

Sarah tertegun. Ia merasa seperti orang asing yang mencoba masuk ke sebuah ruangan yang kuncinya sudah diganti. Ia melihat bagaimana Firman menatap Yasminbukan dengan tatapan posesif yang penuh nafsu, tapi dengan tatapan penuh rasa hormat dan kenyamanan.

"Pergilah, Sar. Selesaikan masalahmu dengan Andre. Jangan seret kami ke dalam kekacauanmu lagi," tutup Firman.

Sarah menatap mereka berdua sekali lagi dengan tatapan penuh kebencian sekaligus penyesalan, lalu berbalik dan berlari menuju mobilnya. Deru mesin mobilnya yang menjauh meninggalkan kesunyian yang mencekam di panti asuhan.

Firman segera melepaskan tangan Yasmin. Ia merasa tangannya berkeringat dingin. "Yas... maaf. Saya tadi... saya cuma ingin dia pergi."

Yasmin tidak langsung menjawab. Ia merapikan stetoskopnya, lalu menatap Firman dengan senyum miring yang sulit diartikan. "Tadi itu akting yang bagus, Mas Firman. Sangat meyakinkan."

"Kamu marah?" tanya Firman cemas.

Yasmin menggeleng. Ia kembali duduk di bawah pohon mangga. "Nggak marah. Tapi saya baru sadar, menjadi 'Teman Level' kamu ternyata jauh lebih berbahaya daripada yang saya bayangkan. Saya baru saja jadi sasaran kebencian seorang calon pengantin yang patah hati."

"Maafkan saya. Saya akan jelaskan ke dia nanti kalau"

"Nggak perlu, Mas," potong Yasmin. "Apa yang kamu bilang tadi benar. Kita ini teman level. Teman yang saling bantu saat ada masalah. Tadi itu salah satu bentuk bantuan, kan?"

Firman ikut duduk di sampingnya, merasa sedikit lega namun ada rasa aneh yang mengganjal di hatinya. "Ya. Bantuan."

"Tapi Mas..." Yasmin menoleh, menatap mata Firman dengan serius. "Jangan pernah jadikan saya tameng kalau Mas sebenarnya masih punya perasaan buat dia. Karena di level ini, kejujuran adalah hal yang paling pokok. Kalau Mas masih cinta dia, bilang. Jangan bersembunyi di belakang saya."

Firman menatap langit melalui sela-sela daun mangga. "Sejujurnya, Yas... saat melihat dia menangis tadi, hatiku perih. Tapi perihnya bukan karena ingin kembali. Perihnya karena aku kasihan melihat dia yang dulu begitu aku agungkan, sekarang terlihat begitu menyedihkan karena tidak bisa bahagia dengan pilihannya sendiri."

"Bagus kalau begitu," gumam Yasmin. "Berarti diagnosis saya benar. Kamu sudah hampir sembuh, Firman. Tinggal sedikit lagi."

Mereka kembali terdiam, namun kali ini ada kedekatan yang berbeda. Kesepakatan "Teman Level" yang tadinya terasa seperti kontrak kaku, kini mulai terasa seperti ikatan yang lebih dalam.

Namun, di dalam mobilnya, Sarah tidak berhenti menangis. Ia mengambil ponselnya dan menelepon seseorang.

"Halo... Rendy? Aku mau tanya sesuatu tentang cewek yang namanya Yasmin. Apa benar dia cuma teman Firman? Atau ada sesuatu yang mereka sembunyikan?"

Di sisi lain, Rendy yang sedang di kantor redaksi menghela napas panjang. "Sar, mending lo fokus sama pernikahan lo minggu depan. Jangan ganggu Firman lagi."

"Aku nggak akan membiarkan dia bahagia kalau aku menderita, Ren! Cari tahu siapa Yasmin sebenarnya. Pasti ada celah di antara mereka!"

Badai baru saja dimulai. Dan Yasmin tidak tahu bahwa masa lalunya sendiri, yang ia sembunyikan rapat-rapat dari Firman, mulai terancam akan terbongkar akibat rasa penasaran Sarah yang membabi buta.

Sarah mulai menyelidiki latar belakang Yasmin dan menemukan sebuah fakta mengejutkan: Yasmin ternyata pernah terlibat dalam sebuah kasus malpraktik yang hampir merusak karirnya di Surabaya sebelum dia pindah ke Samarinda. Sebuah rahasia yang Yasmin tutup rapat bahkan dari Firman. Bagaimana reaksi Firman saat Sarah menyebarkan berita ini ke kantor redaksinya? Akankah "Teman Level" ini tetap bertahan saat kejujuran yang mereka agungkan ternyata dinodai oleh sebuah rahasia besar?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!