Di atas bukit di tengah hutan, lebih kurang lima kilo meter jarak nya dari kampung.Terdengar sayup-sayup untaian suara yang berbunyi melantun kan seperti mantra jika di lihat dari dekat, ternyata dua orang pemuda berumur tujuh belas tahun paling tinggi, dihadapan orang itu tergeletak sebuah foto dan lengkap dengan nasi kuning serta lilin dan kemenyan.
Sesekali mengepul asap kemenyan yang dia bakar dari korek api, untuk mengasapi sebuah benda yang dia genggam di tangan kanan.
Jika di perhatikan dari dekat sebuah benda dari jeruk purut yang telah di keringkan, di lubang dua buah untuk memasukan benang tujuh warna.
Menurut perkataan cerita para orang-orang tua terdahulu, ini yang di namakan Gasing Jeruk Purut, keganasan nya hampir sama dengan gasing tengkorak tapi gasing jeruk purut hanya satu kegunaan nya saja, tidak sama dengan gasing tengkorak,
Gasing tengkorak bisa di gunakan menurut kehendak pemakai nya dan memiliki berbagai mantra pesuruh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MAHLEILI YUYI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5. Klewang Pandore
Setiap negeri malam itu, dengan ciri-ciri yang sama, di Negeri Kalimuntiang senja hari lewat nya, tapi di negeri hilir mereka beritakan juga senja hari lewat nya, dan terus ke hilir, juga lewat nya senja hari itu juga.
Jadi berita itu terasa tak masuk akal, lalu Ibu Tuganggo serta bantuan orang negeri kalimuntiang, mencari kebenaran cerita itu, sebab Tuganggo hanya Anak tunggal bagi ibu nya. Dengan bantuan para pembawa perahu. Menurut cerita dari segala negeri hulu, hutan itu lewat nya juga sore hari, waktu akan matahari tenggelam.
Setelah kejadian itu, lebih kurang empat tahun setelah berita menggempar kan itu terjadi, Tuganggo itu kembali ke negeri kalimuntiang, dengan tubuh yang sangat kurus pucat pasi, pipi cekung tinggal kulit pembalut tulang, dengan penutup aurat ala kadar nya, sehingga orang kampung berlarian saat jumpa dengan nya.
Sehingga dia meresahkan warga, tapi naluri keibuan, dan tali batin tidak bisa di bohongi bahwa itu Tuganggo anak nya, lalu ibu nya menjemput Tuganggo yang sedang merenung tidak jauh dari rumah sawah warga Kalimuntiang. Dia di temani para warga dan segala tetua, jika Tuganggo melakukan sesuatu yang tidak di ingin kan, pada Bundo Kanduang mereka.
Tatapan mata pertama laki-laki yang merenung itu, benar memancar kan mata kesedihan dengan berkaca-kaca. Tidak lama setelah itu, mata nya berubah merah menyala teredam, semua orang mundur ketakutan.
"Tuganggo apa benar kamu Nak!?". Tanya ibu itu dengan aliran Air mata.
Laki-laki itu tertegun di sertai bingung, seperti dia pernah mendengar nama itu. Lalu dia menatap perempuan di hadapan nya dengan tenang, dengan tatapan tajam seakan ingin menerkam lalu dia tertawa sambil mengucap sesuatu.
"Ha ha ha ha aku, aku Tambun Jati, pemilik alam ini, siapa yang tidak mau ikut perintah ku, dia harus mati". Ucap Laki-laki itu tertawa.
"Apa yang membuat mu tersesat hingga sejauh ini?". Tanya wanita di hadapan nya.
"Alam ini milik ku, buatan ku, kalian numpang". Ucap Tuganggo dengan tatapan setajam pedang, pada seluruh warga yang berada di situ.
"Setan rendahan seperti mu, mengapa memakai jasad putra ku". Ucap Ibu Tuganggo, dengan deraian air mata.
Lalu Tuganggo menyerang wanita itu dengan ganas, untung seorang tetua adat, dia termasuk yang di segani karena dia guru silat, dengan secepat kilat menangkis serangan Tuganggo.
Terjadi perkelahian sengit antara tetua itu dengan Tuganggo, kelebihan Tuganggo tidak mempan oleh pukulan atau senjata apa pun, tapi jika silat dia tidak bisa sedikit pun, dan guru silat ini kelebihan menyerang dan mengelak.
Tuganggo tidak ubah seperti bola oleh guru silat itu. Terpelanting kesana-kemari, tapi Tuganggo tidak melemah sedikit pun baik tenaga dan kekuatan nya. Dia terus menyerang, tidak ada luka sedikit pun di tubuh nya.
Sehingga guru silat itu telah lelah dan capek, karena musuh tidak lumpuh juga. Dengan secepat kilat dia menerkam guru silat itu, sehingga kedua tangan nya, mencekik guru silat yang telah lemah itu.
Di saat hampir tetua itu kehilangan nafas nya, tiba-tiba hadir juga seseorang membantu dengan tangkas.
"Plaaaaak!". suara tamparan pipi Tuganggo oleh tetua silat yang membantu menolong.
Sehingga cengkeraman tangan nya pada tetua silat yang pertama terlepas. Sehingga tetua yang di cekik Tuganggo tadi langsung berdiri dan menjauh dari tempat perkelahian.
Ayunan tangan tetua itu, begitu indah lembut dan gemulai, bagaikan peri sedang menari, tapi gemulai tangan nya, bisa membengkok kan baja setebal lima sepuluh senti, setiap gerakan nya mengandung spritual yang tinggi, menyimpan kekuatan batin yang mengalir.
Langkah demi langkah dia praktek kan, seperti tarian dari sorga, menyatu dengan alam, sejalan dengan unsur para elemen kehidupan, lambaian tangan nya seperti menyimpan syair dan puisi rahasia, ibarat menyimpan teka-teki, sehingga musuh tidak bisa menebak pergerakan nya.
Lincah mata nya, melebihi elang, seperti kincir angin yang berputar, mengandung kewaspadaan tinggi, mata nya lincah membaca pergerakan musuh, jika seandai nya rambut bisa menyerang, tidak lolos dari pandangan nya, bisa menangkap peluru senapan, dan bisa meraih anak panah, seakan gerakan nya, bisa menggenggam angin.
Lincah seperti kucing, dan tenang seperti kura-kura, waspada seperti harimau, tatapannya lembut membelah gunung, tatapan tajam nya, membaca niat hati, kelihatan nyata dia berdiri dalam lingkaran kebatinan nya, seakan alam dalam pengendalian batin nya. Seakan tidak ada lagi yang akan menembus kecuali Sang Pencipta Sendiri.
Dia adalah Dubalang suku Antan Kayo yang bergelar, Klewang Pandore. Dia juga guru silek dan guru ngaji anak-anak, dan menjabat sebagai Dubalang dalam suku nya.
Tiba-tiba Tuganggo menyerang.
"Plaak!!". Sehingga Tuganggo terlempar, karena di pipi nya, mendarat tangan Klewang Pandore.
Tuganggo berdiri lagi, Dia langsung menyerang.
"Buuk!!". Tuganggo terpelanting lagi, lutut Klewang Pandore mendarat di rusuk kiri nya. Klewang Pandore tidak pernah menyerang, dia hanya bertahan menunggu musuh, sebab dari tadi telah dia baca, musuh nya tidak murni manusia.
Setiap Pukulan Klewang Pandore, mengandung Ayat-ayat suci, setiap Pukulan nya mendarat di tubuh Tuganggo, meninggal kan bekas lebam.
Tuganggo tidak berhenti menyerang, kelihatan nya, dia telah mulai merasakan sakit, kadang dia berteriak, hingga tepi sawah itu penuh oleh penduduk negeri Kalimuntiang, menonton jalan pertarungan guru besar ke tiga mereka ini.
Tuganggo tidak menyerah, dia terus menyerang, setiap dia menyerang dia terpelanting, seluruh tubuh nya telah merah lebam. Napas nya telah mulai sesak, ibu nya hanya menonton dari jauh, dengan linangan air mata dengan tubuh lemah gemulai, tapi dia di topang oleh beberapa orang perempuan, agar Bundo Kanduang mereka tidak jatuh.
Tiba-tiba Tuganggo menyerang lagi.
"Plak! Plak!, Plak, plak!".
"Buk!!".
"Aaaaakhhh!!". Suara Tuganggo berteriak, dia terlempar hampir dua puluh meter, dan menabrak satu batang pohon di tepi sawah itu.
Dia lalu berdiri, sambil memegang dada nya dengan sebelah tangan, lalu dia berlari ke arah hutan Ilir Negeri Kalimuntiang, dengan langkah tertatih-tatih serta mulut nya mengeluarkan darah.
Lalu para warga ingin mengejar nya, namun langkah mereka terhenti, karena larangan Klewang Pandore. Sejak saat itu, masarakat takut melakukan aktivitas, karena takut pada Tuganggo.
Sejak kejadian itu, warga tidak tenang lagi, apa lagi ternak mereka, banyak yang mati, seperti darah nya telah di hisap, kambing, ayam, kerbau dan sapi serta anjing. Setiap bangkai ternak mereka ada luka bekas gigitan manusia di leher nya, hampir semua ternak yang mati, bangkai nya seperti itu, cuma yang dia ambil darah nya saja.
Sejak kejadian