Tamparan, pukulan, serta hinaan sudah seperti makanan sehari-hari untuk Anita, namun tak sedikitpun ia mengeluh atas perlakuan sang suami.
Dituduh menggugurkan anak sendiri, membuat Arsenio gelap mata terhadap istrinya. Perlahan dia berubah sikap, siksaan demi siksaan Arsen lakukan demi membalas rasa sakit di hatinya.
Anita menerima dengan lapang dada, menganggap penyiksaan itu adalah sebuah bentuk cinta sang suami kepadanya.
Hingga akhirnya Anita mengetahui pengkhianatan Arsenio yang membuatnya memilih diam dan tak lagi mempedulikan sang suami.
Follow Instragramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali Mekar
Senja mulai merayap perlahan di ufuk barat saat suara deru mobil terdengar dari arah depan rumah. Anita yang tengah duduk di sofa, dengan semangkuk kecil berisi potongan buah pir di pangkuannya, segera menoleh ke arah jendela. Ia mengenali suara mesin itu. Tanpa menunggu lebih lama, ia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan perlahan menuju pintu. Hatinya berdebar, bukan karena sesuatu yang menakutkan, melainkan karena perasaan hangat yang kembali ia rasakan sejak beberapa waktu terakhir.
Pintu rumah terbuka, dan di ambang pintu berdirilah Arsen, suaminya, dengan satu tangan membawa kantong belanja berisi beberapa buah. Wajahnya terlihat lelah, namun senyum tipis yang menghiasi bibirnya seolah menghapus penat itu.
“Aku pulang,” ucap Arsen pelan.
Anita tersenyum sambil membuka lebih lebar pintu rumah mereka. “Selamat datang, pih.”
Arsen masuk ke dalam rumah, meletakkan sepatu kerjanya di rak dekat pintu, lalu berjalan ke arah dapur. Ia membuka kantong belanja dan mengeluarkan beberapa butir anggur merah segar, lalu menyodorkannya kepada Anita yang mengikutinya dari belakang.
“Ini anggurnya,” kata Arsen sambil menyerahkan sekotak kecil berisi buah kesukaan istrinya itu. “Dan ini,” tambahnya sambil mengeluarkan kotak kecil dari apotek, “obat mual untuk ibu hamil. Tadi aku mampir ke apotek sebelum pulang.”
Anita menatap kedua barang itu sejenak sebelum akhirnya mengambilnya perlahan. Senyum di wajahnya semakin melebar, namun ada sorot mata haru didalam nya. Ia tidak menyangka bahwa Arsen akan sepenuh ini memperhatikannya, apalagi sejak masa-masa sulit beberapa hari terakhir. Perlakuan ini—meski tampak sederhana—membawa arti besar baginya.
“Terima kasih, pih. Padahal mualnya sudah mulai reda” ujar Anita dengan suara nyaris berbisik.
Arsen mengangguk sambil membuka botol air mineral dari kulkas dan menaruh obat mual itu di dekatnya. “Nanti kalau kamu merasa tidak nyaman, minum saja satu tablet. Tapi jangan terlalu sering juga, ya? Hanya kalau memang perlu.”
Anita mengangguk sambil memandangi suaminya yang kini tengah menggulung lengan kemeja kerjanya.
“Kamu mau aku siapkan air hangat untuk mandi, pih?” tawar Anita spontan, seperti yang biasa ia lakukan sebelum hubungan mereka terasa renggang.
Namun Arsen menggeleng pelan. “Tidak usah, kamu istirahat saja. Duduk yang nyaman di sofa dan makan anggurnya. Aku bisa siapkan sendiri air mandinya.”
Anita terdiam sesaat, lalu perlahan kembali ke ruang tengah sambil membawa kotak anggur yang baru saja diterimanya. Ia duduk kembali di sofa, mengusap perutnya yang masih rata, dan memakan satu per satu butir anggur dengan hati yang tenang. Arsen, sementara itu, berjalan menuju lantai atas untuk membersihkan diri.
Sementara Arsen sedang mandir, Anita memandangi ruang tengah mereka yang kini terasa hangat. Tak ada obrolan panjang, tak ada pelukan atau kata cinta yang terucap dengan dramatis, namun kehadiran Arsen—yang kini mulai berubah—sudah cukup membuat Anita merasa bahwa cintanya tak sia-sia diperjuangkan.
Beberapa menit kemudian, Arsen keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah dan pakaian santai. Ia duduk di sebelah Anita, mengambil satu butir anggur dari kotak dan memakannya sambil tersenyum kecil.
“Rasanya manis,” katanya singkat.
Anita mengangguk. “Papih pintar pilih anggurnya” balasnya pelan.
Mereka pun duduk bersebelahan dalam diam yang nyaman. Televisi menyala pelan menayangkan berita sore, namun perhatian mereka tidak benar-benar tertuju ke sana. Hanya kehadiran satu sama lain yang menjadi pusat dunia mereka saat itu.
***
Cahaya lampu gantung di ruang makan menyinari meja yang telah tertata rapi. Uap hangat dari semangkuk sup ayam memenuhi udara, menambah kehangatan suasana malam itu. Di sekeliling meja makan, Arsen dan Anita duduk berhadapan. Tak ada suara televisi atau dentingan alat makan yang tergesa. Hanya obrolan ringan dan sesekali tawa kecil yang mengalir di antara suapan hangat.
“Aku senang papih bisa pulang lebih cepat hari ini,” ujar Anita sembari menaruh sendoknya perlahan ke dalam mangkuk.
Arsen menatap istrinya dengan mata yang tenang. “Sejujurnya aku tidak tenang membiarkan kamu dirumah sendirian”
Anita tersenyum. Ia tahu, perubahan ini tidak datang tiba-tiba. Ada banyak hal yang telah mereka lewati, dan kini perlahan keduanya sedang belajar kembali—membangun rumah tangga mereka dari keping-keping yang sempat tercecer.
Setelah beberapa saat terdiam, Anita memandang Arsen lebih serius. Ia meremas ujung serbet di pangkuannya sebelum akhirnya membuka suara.
“Pih, aku mau bicara sesuatu.”
Arsen mengangkat wajahnya, mendengarkan dengan penuh perhatian. “Apa itu?”
Anita menarik napas dalam, lalu mengembuskannya pelan. “Besok aku ingin kerja. Mungkin hanya beberapa jam sehari, dan tidak setiap hari. Tapi aku merasa sudah cukup kuat sekarang. Mualku sudah jauh berkurang, tenagaku juga mulai stabil.”
Wajah Arsen berubah sedikit. Ia meletakkan sendoknya, menatap Anita dengan sorot khawatir. “Kamu yakin? Kehamilanmu masih muda, Anita. Aku takut kamu kelelahan atau terjadi sesuatu yang tak diinginkan.”
“Aku mengerti kekhawatiran kamu, pih” balas Anita lembut. “Tapi aku tidak akan memaksakan diri. Aku janji, jika merasa tidak enak badan sedikit saja, aku akan langsung pulang. Lagipula, pekerjaanku di ruko tidak berat. Hanya mengawasi, mencatat, dan memberi sedikit arahan pada staf. Tidak akan ada kegiatan fisik yang melelahkan.”
Arsen terlihat berpikir sejenak. Tangannya terlipat di atas meja, dan matanya menatap kosong ke arah piringnya yang masih setengah penuh. Anita menunggu dengan sabar. Ia tahu, suaminya bukan tidak mendukung, hanya terlalu melindungi—terutama setelah kehamilan ini membawa mereka pada harapan yang sangat besar.
Setelah beberapa detik yang terasa cukup lama, Arsen akhirnya menoleh kembali ke arah istrinya.
“Baiklah,” ujarnya perlahan. “Tapi dengan satu syarat.”
Anita menegakkan tubuhnya, harapan tumbuh di matanya. “Apa itu?”
“Aku yang akan mengantar kamu ke ruko setiap hari kamu bekerja. Dan aku juga yang akan menyuruh bawahanku untuk menjemput kamu pulang. Aku tidak ingin kamu naik kendaraan umum atau menyetir sendiri. Tidak ada tawar-menawar untuk yang satu ini.”
Anita tertawa kecil, merasa lega dan tersentuh pada saat yang bersamaan. “Aku setuju. Bahkan aku senang jika papih yang mengantar dan menjemput. Rasanya seperti masa-masa awal pernikahan dulu.”
Arsen tersenyum tipis. “Makanya aku tidak mau melakukan kelalaian sedikitpun”
Mereka kembali melanjutkan makan malam itu dengan hati yang jauh lebih ringan. Tidak ada beban, tidak ada jarak yang terasa. Malam itu, bagi mereka berdua, bukan sekadar soal keputusan untuk kembali bekerja. Tapi tentang harapan. Tentang cinta yang perlahan disirami kembali, setelah nyaris layu dalam diam dan jarak yang tercipta. Dan bagi Arsen, mungkin ini adalah bentuk permintaan maaf yang tak terucap, yang kini ia tunjukkan lewat tindakan kecil namun penuh makna.
tinggal Takdir yg menentukan..
dan bagaimana respon dr yg menjalani setiap takdir nya tsb 👍
jagain dari jauh, doain yang terbaik buat Anita...
maaf y thor gak salah judul y
🤭