Setelah pernikahan yang penuh kekerasan, Violet meninggalkan segala yang lama dan memulai hidup baru sebagai Irish, seorang desainer berbakat yang membesarkan putrinya, Lumi Seraphina, sendirian. Namun, ketika Ethan, mantan suaminya, kembali mengancam hidup mereka, Irish terpaksa menyembunyikan Lumi darinya. Ia takut jika Ethan mengetahui keberadaan Lumi, pria itu akan merebut anaknya dan menghancurkan hidup mereka yang telah ia bangun. Dalam ketakutan akan kehilangan putrinya, Irish harus menghadapi kenyataan pahit dari masa lalunya yang kembali menghantui.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 4
Dion adalah tuan rumah di pesta ulang tahunnya, yang dihadiri oleh banyak tokoh besar dalam dunia bisnis. Di tengah kemewahan pesta itu, Dion berdiri penuh percaya diri, dikelilingi oleh sahabat lamanya, Ethan. Keduanya pernah berbagi masa muda saat kuliah bersama, sebelum jalan hidup membawa mereka ke arah yang berbeda. Dion menghabiskan beberapa tahun di luar negeri, dan baru tiga tahun belakangan ini ia kembali ke Kota Verdan.
Ethan kini menekuni bisnis properti, sementara Dion mengukir nama sebagai desainer perhiasan yang penuh semangat dan karisma.
Dengan gaya santai yang khas, Dion merangkul bahu Ethan, lalu tersenyum nakal. "Baru ditinggal sebentar, sudah kelihatan kehilangan," godanya tanpa sungkan.
Ethan hanya menatapnya dingin, tanpa berkata-kata, lalu menepis tangannya dengan gerakan tak sabar.
Dion pura-pura tersinggung, menghela napas panjang, lalu menepuk dadanya sendiri. "Wah, segitu cepatnya aku dilupakan," ujarnya dengan dramatis, membuat tawa kecil terdengar dari orang-orang di sekitar mereka.
Namun perhatian Dion segera teralihkan. Ia mencondongkan tubuh sedikit, menunjuk ke arah seorang wanita anggun yang berdiri di kejauhan.
"Lihat itu. Ada wanita cantik di sana. Menurutmu gimana?" tanyanya sambil menyeringai.
Ethan mengikuti arah yang ditunjukkan Dion. Seketika, ekspresinya mengeras. Ada kekakuan dalam sorot matanya saat mengenali sosok perempuan bergaun putih itu.
Dion tersenyum puas, belum menyadari perubahan suasana. "Bagaiman? Setuju kalau aku bilang dia cantik?"
Ethan menahan napas sejenak. Irish. Nama itu menggema dalam benaknya. Setelah perceraian mereka empat tahun lalu, perempuan itu menghilang tanpa kabar. Kini, tanpa peringatan, ia muncul kembali.
Tak tahu apa-apa, Dion melanjutkan dengan santai, "Eh, bukankah kamu pernah bilang mau kerja sama denganku di industri pakaian? Wanita di sampingnya wakil Direktur dari Perusahaan Garment Keluarga Handoko dia bekerja di sana. Aku sempat bertemu Direktur mereka waktu itu. ayo, kita sapa mereka."
Ethan mengernyitkan dahi. "Kenapa hanya wakil direktur yang datang?"
"Katanya Direktur mereka sedang sakit. Anaknya, anaknya, Erick juga katanya sakit juga, tapi, entahlah." Ucap Dion sambil mengangkat bahu.
"Adikku, bahkan sempat bilang dia mengidolakan si Erick itu."
Dion terus berbicara, meskipun Ethan lebih banyak tenggelam dalam pikirannya sendiri, matanya tak lepas dari sosok Irish.
Melihat Ethan diam, Dion kembali bergurau. "Apa jangan-jangan kamu juga tertarik padanya?" Dion menunjuk dengan tatapannya ke arah Irish.
Ethan tetap diam, hanya tatapannya yang semakin dalam.
Tak ingin berlama-lama, Dion akhirnya melangkah sendiri mendekati Irish dan Wakil Direktur Hendra dengan langkah santai.
"Direktur Dion!" sapa Wakil Direktur Hendra dengan ramah.
Irish, yang berdiri di sampingnya, ikut tersenyum. Ada sesuatu dalam tatapannya—sesuatu yang samar, yang menyentuh kenangan lama.
"Wakil Direktur Hendra, sudah lama tidak bertemu," kata Dion sambil tersenyum lebar, lalu menoleh ke arah Irish.
"Dan nona ini...?"
Irish membalas dengan senyum kecil, namun sorot matanya menyimpan sesuatu yang sulit dijelaskan. Sebuah bayangan masa lalu yang perlahan-lahan menyeretnya kembali ke dalam pusaran kenangan yang belum usai.
"Halo, Direktur Dion, saya Irish, desainer pakaian dari Perusahaan Garment Apparel mode," ucap Irish sambil tersenyum tipis dan menatap Dion.
"Irish..." Dion mengulang nama Irish perlahan, bibirnya melengkung dalam senyum penuh perhatian. Irish tahu betul maksud senyuman itu, pendekatan halus, namun ia tetap menjaga jarak. Ia hanya membalas dengan senyum sopan.
Tiba-tiba, Ethan mendekat dan memanggil, "Dion."
Dion menoleh, sedikit enggan, karena ia masih ingin berbicara lebih lama dengan Irish. "Ada apa?"
"Ada hal penting," jawab Ethan singkat, pandangan matanya serius.
Irish pun tersenyum sopan. "Saya tidak ingin mengganggu, Direktur Dion. Mungkin lain kali kita bisa berbincang lebih lanjut."
"Baiklah," ujar Dion, tampak sedikit kecewa, memandang kepergian Irish yang beranjak menjauh.
Begitu Irish hilang dari pandangan, Dion segera mengeluh, "Kenapa harus sekarang, Ethan? Aku sedang berbicara dengan wanita yang sangat menarik dan cantik."
Ethan hanya menatapnya sekilas.
"Dia bukan orang yang seharusnya kau dekati."
"Kenapa?" tanya Dion heran.
Ethan menghela napas, tidak ingin memperpanjang pembicaraan. "Dia akan sial jika di dekati pria sepertimu." Ujar Ethan.
Dion menaikkan alis. "Heh, itu salah, dia justru akan beruntung kalau mendapat pria sepertiku." Ucap Dion penuh percaya diri.
Ethan diam, wajahnya menunjukkan bahwa ia enggan meladeni kenarsisan sahabatnya itu.
"Atau jangan-jangan...." Dion menatap curiga pada Ethan.
"Apa?" tatap Ethan.
"Kau tertarik padanya?" Selidik Dion.
"Kurasa kau mabuk." Kata Ethan.
"Iya, itu mustahil, kau kan sangat mencintai istrimu." Ujar Dion.
Ethan hanya diam menahan gejolak perasaannya sendiri.
-------------
Malam telah larut. Lampu-lampu jalan kota yang redup memantulkan bayangan panjang di trotoar. Irish berjalan cepat, mantel putihnya berkibar tertiup angin dingin musim gugur.
Setibanya di apartemen kecilnya, ia menekan saklar lampu. Tidak ada cahaya. Hanya suara klik kosong. Ia menghela napas panjang.
"Astaga, aku lupa membayar listrik," gumamnya dengan getir.
Tanpa penerangan, Irish berjalan ke meja, melepaskan mantelnya, dan duduk dengan letih. Ia meraih map berisi desain-desainnya yang kini terasa sia-sia.
Masih terngiang jelas di telinganya kata-kata perpisahan dari atasannya:
"Maaf, Nona Irish. Desain kamu belum sesuai dengan arah baru perusahaan."
Ia mengeratkan genggaman pada map itu.
Semua kerja keras, lembur berhari-hari, semua terasa tak berarti.
Sejak saat itu, setiap surat lamaran yang ia kirim tidak pernah mendapat balasan.
"Apakah ini karena Ethan?" pikirnya getir. "Atau memang dunia ini terlalu sempit untuk orang sepertiku?"
Ia mengalihkan pandangannya ke meja kecil di sudut ruangan, di mana foto dia dan si mungil berdiri berdampingan, Vivi dan Nathan, si kembar kesayangannya.
"Vivi, Nathan... Mami tidak akan menyerah," bisiknya lirih, suara bergetar menahan emosi.
Tiba-tiba ponselnya berdering, mengusik keheningan malam.
Layar menampilkan nama Jessi .
Dengan napas berat, Irish mengangkat telepon itu.
"Mami!" seru Vivi ceria, diikuti suara Nathan yang tak kalah bersemangat.
Irish tersenyum lebar tanpa sadar.
"Sayang, bagaimana hari kalian?"
"Kami baik, Mami!" jawab Vivi cepat.
"Mami harus lihat gambar yang kami buat," tambah Nathan penuh semangat.
"Tentu saja, Mami tidak sabar ingin melihatnya," jawab Irish dengan suara lembut.
"Mami, besok datang ya! Jangan terlambat!" pinta Vivi manja.
"Iya, Mami janji tidak akan terlambat," Irish menahan rasa haru.
"Mami, bicara dengan mama Jessi sebentar ya," kata Nathan, menyerahkan ponsel kepada Jessi.
Suara lembut Jessi terdengar, "Irish, bagaimana kabarmu di sana?"
"Sejujurnya, tidak begitu baik," jawab Irish perlahan.
"Aku mungkin harus mengurangi uang bulanan untuk si kembar bulan ini."
Jessi terdiam sejenak, lalu berkata, "Tidak apa-apa, Irish. kitakan keluarga. Jangan pikirkan itu."
Irish merasa sedikit lega.
"Terima kasih, Jessi."
Irish menghela napas. "Aku bertemu dengannya hari ini. Tidak sengaja."
"Siapa?" tanya Jessi.
"Ethan?" tanya Jessi lagi, seolah menjawab pertanyaannya sendiri.
"Iya." sahut Irish pendek.
"Apa kamu masih memikirkan Ethan" tanya Jessi, suaranya hati-hati.
Jessi menggeram pelan. "Lupakan saja orang seperti itu. Fokuslah pada Vivi dan Nathan."
"Iya," jawab Irish pelan.
"Mereka adalah seluruh hidupku sekarang."
"Bagus. Oh ya, besok ibu mertuaku datang. kamu tahukan, Orangnya agak konservatif. Jika ada ucapan yang kurang menyenangkan, abaikan saja."
"Aku mengerti," jawab Irish dengan senyum kecil.
"Besok kita makan bersama. Aku akan masak makanan favoritmu," kata Jessi dengan nada bersemangat.
"Terima kasih, Jessi. Sampai besok," ucap Irish lembut sebelum menutup telepon.
------------
Pagi berikutnya, di bawah langit cerah, Irish berangkat ke kota Vandora dengan kereta cepat. Setelah perjalanan panjang, ia tiba di depan apartemen Jessi
Saat melangkah mendekat, matanya menangkap dua anak kecil duduk di taman kecil dekat gedung. Mereka tampak akrab baginya.
Irish mempercepat langkahnya.
"Hai, siapa yang mau makan es krim?"
Anak-anak itu menoleh.
"Mami!" seru Vivi sambil berlari ke arahnya, diikuti Nathan.
Irish membuka pelukannya lebar-lebar, menyambut kedua anaknya dengan tawa penuh kehangatan.
(BERSAMBUNG)
Visual, Irish saat ini.