menikah dengan laki-laki yang masih mengutamakan keluarganya dibandingkan istri membuat Karina menjadi menantu yang sering tertindas.
Namun Karina tak mau hanya diam saja ketika dirinya ditindas oleh keluarga dari suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 5. keluarga toxic
Deru suara motor terdengar memasuki halaman rumah, menandakan bahwa Rudi telah tiba. Suara motor yang familiar itu membuat Karina menoleh ke arah pintu, menunggu kedatangan suaminya.
Rudi segera memasukkan motornya ke dalam rumah, kemudian menyetandarkan motornya di tempat yang biasa. Ia kemudian berjalan menuju ruang tamu, di mana Karina sedang duduk menonton televisi.
"Baru pulang, mas?" tanya Karina dengan nada yang santai, menoleh ke arah Rudi yang baru saja tiba. Rudi mengangguk dan menjawab, "Iya, ada sedikit masalah jadi terpaksa harus lembur." Ia berusaha untuk terlihat normal dan tidak menunjukkan perasaan bersalah.
"Aku siapkan air panas dulu untuk kamu mandi. Baru setelah mandi kamu makan," kata Karina dengan nada yang lembut dan perhatian.
Rudi menggelengkan kepala dan menjawab, "Tidak usah, aku sudah makan tadi. Kamu siapkan saja air panasnya."
Karina mengangguk dan berjalan menuju dapur untuk menyiapkan air panas, meninggalkan Rudi sendirian di ruang tamu. Rudi memilih menunggu di ruang tamu, duduk di sofa dengan mata yang terlihat lelah dan pikiran yang terlihat jauh.
Bu Marni, baru saja keluar dari kamarnya dan melihat Rudi duduk di ruang tamu. Ia terlihat sedikit heran dan penasaran dengan kedatangan Rudi yang terlambat. "Baru pulang jam segini, Rud?" tanyanya dengan nada yang penasaran.
Rudi mengangguk dan menjawab, "Iya, Bu. Hari ini ada lembur."
Bu Marni kemudian menatap sekeliling ruangan, mencari keberadaan Karina. "Istrimu mana? Suaminya pulang kok nggak disambut," katanya dengan nada yang sedikit menggurui.
Rudi tersenyum dan menjawab, "Lagi nyiapin air panas, Bu."
Bu Marni duduk di dekat Rudi, dengan wajah yang terlihat sedikit serius. "Rud, Ibu minta uang buat bayar SPP adik-adikmu."
Rudi menoleh ke arah Bu Marni, dengan mata yang terlihat sedikit lelah. "Berapa, Bu?" tanyanya.
Bu Marni menjawab dengan nada yang tegas, "500 ribu." Rudi menghela napas panjang, l merasa bahwa jumlah itu cukup besar.
"Iya, besok pagi ya, Bu," katanya dengan nada yang santai, namun terlihat sedikit berat. Bu Marni menganggukkan kepalanya, dengan wajah yang terlihat sedikit puas.
"Ekheeemm... Mas, airnya sudah siap," kata Karina dengan nada yang lembut, sebelum berlalu pergi menuju kamarnya dengan langkah yang santai.
Sekitar 15 menit kemudian, Rudi sudah selesai mandi dan masuk ke dalam kamar dengan wajah yang terlihat segar. Ia berjalan menuju tempat tidur dan duduk di atasnya dengan santai.
Karina kemudian berpaling ke arah Rudi dan berkata, "Mas, aku minta uang."
Rudi menoleh ke arah Karina dengan mata yang terlihat penasaran. "Buat apa?" tanyanya.
"Buat belanja sayur besok pagi," kata Karina dengan pelan. "Aku mintanya sekarang, biar besok pagi bisa langsung ke tukang sayur, tanpa bangunin kamu dulu untuk minta uang belanja."
Rudi duduk di pinggir tempat tidur dengan wajah yang terlihat santai, namun terlihat sedikit berpikir. Ia kemudian menoleh ke arah Karina dan berkata, "Karin, mas boleh minta tolong?"
Karina mengernyitkan keningnya, merasa penasaran dengan permintaan Rudi. "Minta tolong apa, mas?" tanyanya dengan nada penasaran
"Untuk besok pagi, belanja pakai uang satu juta yang aku beri waktu itu dulu ya," kata Rudi dengan nada yang santai, seolah-olah ingin mengingatkan Karina tentang uang yang telah diberikan sebelumnya.
Karina menatap Rudi dengan mata yang terlihat sedikit bingung. "Uang satu juta apa sih, mas? Uang itu sudah habis," katanya dengan nada yang santai, namun terlihat sedikit tidak yakin.
"Tadi ibu minta uang buat bayar SPP Rani dan Rina 500 ribu," ucap Rudi, Ia berhenti sejenak, seolah-olah ingin melihat reaksi Karina.
Karina menatap Rudi dengan mata yang terlihat penasaran. "Terus?"
"Aku tau kalau uang yang satu juta itu masih kan," kata Rudi dengan nada yang santai, namun terlihat berharap. "Jadi, tolong ya pakai uang itu dulu."
Karina menatap Rudi dengan mata yang terlihat m marah. "Mas! Aku nggak mau tau ya," katanya dengan nada yang terlihat kesal. "Kalau nggak ada uang buat beli sayur, besok aku nggak akan masak."
Rudi menghela napas berat, merasa kesal dan kehabisan pilihan. Ia mengeluarkan dompet dari saku celananya dan memberikan selembar uang pecahan lima puluh ribuan kepada Karina. Gerakannya terlihat sedikit terpaksa, namun juga menunjukkan bahwa ia tidak ingin bertengkar lebih lanjut dengan Karina.
"Nah, gitu dong, mas. Kamu itu jangan pelit-pelit sama istri. Padahal istrimu minta duit juga buat beli sayur, untuk makan satu keluarga."
Rudi mengangguk kepalanya, seolah-olah mengakui kesalahan. "Sudah dapat uang kan?" katanya dengan nada yang santai, namun terlihat sedikit berharap. "Kalau begitu mas minta jatah juga," tambahnya dengan senyum yang terlihat menakutkan bagi Karina.
Karina mengerti arah pembicaraan suaminya dan merasa pasrah. Ia tidak ingin menolak keinginan suaminya karena merasa bahwa itu adalah kewajibannya sebagai istri. Dengan hati yang berat, Karina memutuskan untuk menerima keinginan suaminya dan melanjutkan malam mereka dengan cara yang tidak perlu dibahas lebih lanjut.
****
Keesokan harinya, Karina bangun tidur dengan semangat dan langsung memulai rutinitas paginya. Ia mencuci muka dan gosok gigi dengan cepat, kemudian berpakaian dengan sederhana namun rapi. Setelah itu, ia berangkat untuk membeli sayuran segar di depan gang, tempat biasanya tukang sayur mangkal.
Sesampainya di sana, Karina melihat beberapa ibu-ibu lainnya sudah berada di tempat, sibuk memilih dan membeli sayuran segar. Suasana pagi yang cerah dan udara yang segar membuat Karina merasa lebih bersemangat.
"Pagi ibu-ibu," sapa Karina dengan senyum ramah, saat ia bergabung dengan ibu-ibu lainnya di depan tukang sayur. Ibu-ibu lainnya menjawab sapaan Karina dengan senyum dan sapaan yang sama ramahnya.
Karina memilih-milih sayuran yang segar dan berkualitas, memastikan bahwa ia mendapatkan yang terbaik untuk masakan hari ini. Setelah selesai memilih, ia meminta tukang sayur untuk menghitung total belanjaannya.
"Mang, aku udah ya," kata Karina dengan senyum ramah.
Tukang sayur mengangguk dan mulai menghitung total belanjaan Karina. "Saya hitung ya, neng," katanya sambil menghitung dengan cepat.
Setelah selesai menghitung, tukang sayur menyampaikan total belanjaan kepada Karina. "Total semuanya jadi 43 ribu, neng," katanya dengan senyum.
Karina mengangguk dan menyerahkan uang 50 ribu kepada tukang sayur. "Ini mang, uangnya," katanya dengan ramah.
Tukang sayur menerima uang tersebut dan mengembalikan uang kembalian kepada Karina. "Ini kembaliannya, neng," katanya dengan senyum.
Karina menerima uang kembalian dan berpamitan dengan tukang sayur serta ibu-ibu lainnya. "Mari ibu-ibu, saya duluan ya," katanya dengan senyum ramah sebelum berjalan pulang ke rumahnya.
Karina berjalan menuju rumahnya dengan langkah yang santai, menikmati udara pagi yang segar dan suasana yang tenang. Namun, saat ia tiba di belokan jalan, tiba-tiba ada yang memanggil namanya.
"Mbak Karina...." suara itu terdengar jelas dan familiar.
Karina menoleh ke arah suara tersebut, dan ternyata yang memanggilnya adalah Bu Dea, tetangganya yang baik dan ramah. Bu Dea berdiri di depan rumahnya, dengan senyum yang lebar dan mata yang bersahabat.
"Eh, Bu Dea," kata Karina dengan senyum, sambil berjalan mendekati Bu Dea. "Ada apa, Bu?" tanyanya dengan nada yang ramah dan penasaran.
Bu Dea memandang Karina dengan mata yang terlihat sedikit bingung, seolah-olah mencari kata-kata yang tepat untuk memulai percakapan. "Emt, ada yang ingin saya omongin sama mbak Karin," katanya dengan nada yang pelan, "Duh, gimana ya mulai ngomongnya, saya bingung mbak."
Karina menatap Bu Dea dengan mata yang terlihat penasaran, ingin tahu apa yang ingin dibicarakan oleh Bu Dea. "Memangnya mau ngomongin apa, Bu?" tanyanya dengan nada yang ramah dan ingin tahu.
Bu Dea mengambil napas dalam-dalam sebelum memulai ceritanya. "Jadi begini, mbak Karin," katanya dengan nada yang santai, "Kemarin itu, kan saya sama anak saya Ririn, pergi ke tempat makan yang baru buka di jalan xxxx." Bu Dea berhenti sejenak, seolah-olah ingin memastikan bahwa Karina memahami konteks ceritanya.
"Memang tempat itu sedang viral, mbak," lanjut Bu Dea, "Jadi banyak yang kesana." Bu Dea berhenti lagi, sebelum melanjutkan ceritanya dengan nada yang sedikit lebih pelan. "Tapi, pas disana saya nggak sengaja bertemu dengan mas Rudi."
Karina menatap Bu Dea dengan mata yang terlihat sedikit bingung, seolah-olah mencoba memahami apa yang dikatakan oleh Bu Dea. "Rudi, suami saya, Bu?" tanyanya dengan nada yang pelan, "Mungkin Bu Dea salah orang, soalnya kemarin mas Rudi itu lembur, Bu."
Bu Dea menggelengkan kepala, seolah-olah ingin memastikan bahwa ia tidak salah lihat. "Tapi sepertinya saya nggak mungkin salah lihat deh, mbak," katanya dengan nada yang santai, "Hla wong saya lihat mas Rudi dengan jelas banget kok." Bu Dea berhenti sejenak, sebelum melanjutkan ceritanya dengan nada yang sedikit lebih pelan.
"Memang sih, mas Rudi nggak lihat saya," lanjut Bu Dea, "Maaf ya, mbak Karin, saya lihat mas Rudi disana bersama wanita lain." Bu Dea berhenti lagi, sebelum melanjutkan ceritanya dengan nada yang sedikit lebih serius. "Mereka terlihat sangat mesra."
Karina terkejut mendengar ucapan Bu Dea, pasalnya memang kemarin suaminya pulang telat. pamitnya katanya lembur, tapi kenapa Bu Dea melihat Rudi ada ditempat makan dengan wanita lain.
Karina terkejut mendengar ucapan Bu Dea, pasalnya memang kemarin suaminya pulang telat. Ia merasa ada yang tidak beres, karena suaminya pamitnya katanya lembur, tapi kenapa Bu Dea melihat Rudi ada di tempat makan dengan wanita lain.
Karina menatap Bu Dea dengan mata yang terlihat penasaran dan sedikit khawatir. "Emt, maaf Bu Dea, kalau boleh tau jam berapa ya suami saya ditempat makan itu?" tanyanya dengan nada yang pelan dan hati-hati.
"Sekitar pukul 6 sore, mbak Karin." Bu Dea berhenti sejenak, sebelum melanjutkan, "Oh iya, saya juga punya foto mas Rudi saat disana."
Karina merasa ada yang tidak beres dan ingin melihat bukti yang dimiliki oleh Bu Dea. "Oh ya, boleh saya lihat fotonya Bu?" tanyanya dengan nada yang penasaran.
Bu Dea mengangguk dan berdiri untuk mengambil ponselnya. "Boleh mbak, sebentar ya saya ambil ponsel dulu," katanya dengan senyum yang ramah.
Bu Dea masuk ke dalam rumahnya untuk mengambil ponselnya, meninggalkan Karina yang penasaran menunggu di luar. Tak lama kemudian, Bu Dea sudah kembali keluar dengan membawa ponselnya, senyum ramah masih terukir di wajahnya.
Bu Dea mengotak-atik ponselnya dengan jari-jarinya yang lincah, mencari foto Rudi di galeri ponselnya. Setelah beberapa detik, Bu Dea menemukan foto yang dicarinya dan menyerahkannya kepada Karina.
"Nah, ini dia mbak, fotonya," kata Bu Dea sambil menyerahkan ponselnya kepada Karina, yang menerima ponsel tersebut dengan hati-hati dan penasaran.
Karina mengambil ponsel Bu Dea dan mengzoom foto yang ada di layar. Ia mengamati foto tersebut dengan teliti, dan semakin ia melihat, semakin besar kejutannya. Ternyata memang benar, itu adalah foto suaminya, Rudi. Bajunya pun juga sama persis dengan yang kemarin Rudi kenakan, tidak ada keraguan lagi.
Karina menggeser foto yang masih di zoom, tepat di wajah wanita yang bersama dengan Rudi. Ia menatap wajah wanita tersebut dengan mata yang terlihat kaget dan terkejut. Karina menutup mulutnya dengan satu tangan, seolah-olah ingin menutupi keterkejutannya.
Ternyata Karina cukup mengenal siapa wanita itu. Wanita tersebut tidak lain merupakan karyawan di tempatnya bekerja dulu, yang otomatis satu kerjaan dengan suaminya. Karina merasa seperti ditampar dengan kenyataan yang pahit. Ia tidak percaya bahwa suaminya bisa melakukan hal seperti ini.
"Maaf Bu Dea, boleh ibu kirimkan foto itu ke nomor saya?" tanya Karina dengan nada yang pelan dan sopan, masih terkejut dengan apa yang baru saja dilihatnya.
Bu Dea mengangguk dengan senyum ramah. "Boleh mbak Karin. Tapi saya tidak punya nomor mbak Karin," katanya dengan nada yang santai.
Karina segera mengambil ponselnya dan memberikan nomornya kepada Bu Dea. Bu Dea menerima nomor tersebut dan langsung mengirimkan foto yang dimaksud. Karina mendengar nada dering ponselnya, menandakan bahwa foto tersebut telah dikirimkan oleh Bu Dea.
****
Karina memutuskan untuk tidak bertindak terburu-buru dan lebih memilih untuk diam terlebih dahulu mengenai informasi yang diberikan oleh Bu Dea. Ia ingin mencari tahu lebih lanjut tentang kebenaran informasi tersebut sebelum melakukan tindakan apa pun.
Dengan pikiran yang masih terganggu oleh informasi tersebut, Karina berjalan menuju dapur untuk memulai aktivitas memasak. Ia telah merencanakan menu makan hari ini, yaitu gulai daun singkong, ikan cue goreng, dan sambal terasi. Karena waktunya sudah mepet, Karina harus bekerja cepat untuk menyelesaikan masakannya sebelum suaminya pulang.
Dengan tangan yang terampil, Karina mulai mempersiapkan bahan-bahan masakan dan memulai proses memasak. Ia berharap bahwa aktivitas memasak ini dapat membantu mengalihkan pikirannya dari informasi yang telah diberikan oleh Bu Dea.
Suara Rudi terdengar dari arah ruang makan, memecah kesunyian yang tercipta di dapur. "Karin, belum mateng ya sayurnya?" teriaknya dengan nada yang santai.
Karina menjawab dengan suara yang pelan, "Sudah mas, sebentar tinggal bawa kesana saja." Ia mengambil napas dalam-dalam, mempersiapkan diri untuk membawa masakan ke meja makan.
Dengan langkah yang terukur, Karina membawa satu-satu masakan dan menatanya di atas meja makan. Ia melihat sekeliling, ternyata semua orang sudah berkumpul di meja makan, menunggu masakan yang telah disiapkan oleh Karina.
Karina menghela napas berat, merasa ada yang tidak beres. Ia merasa seperti pembantu, bukan menantu, yang harus melayani keluarga suaminya. Perasaan ini membuatnya merasa sedikit terhina dan tidak dihargai.
Suasana di meja makan mulai memanas ketika Bu Marni mengkritik kemampuan memasaknya. "CK... Lama sekali kamu masaknya," kata Bu Marni dengan nada yang tidak puas.
Karina merasa sedikit terhina dan memutuskan untuk membela diri. "Aku memasak sendirian, Bu," katanya dengan nada yang santai. "Kalau tidak ingin lama, harusnya kalian itu bantuin dong."
Bu Marni tersenyum sinis dan menjawab, "Halah, orang biasanya juga sendirian. Jangan manja ya!" Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Kamu disini itu cuma..."
Karina memotong perkataan Bu Marni dan menjawab dengan nada yang tegas dan hormat. "Cuma menumpang dirumah ini, karena kebetulan dinikahi anak ibu kan?" Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Maaf ya Bu, aku masih menghormati ibu sebagai mertua. Jadi tolong, sebelum mulutku berucap yang tidak-tidak, alangkah lebih baik ibu juga menjaga ucapannya."
Suasana di meja makan menjadi semakin tegang ketika Rudi, yang merasa ibunya dibentak, menggebrak meja dengan keras. "Karina, jaga ucapanmu!" teriaknya dengan nada yang marah.
Karina menatap Rudi dengan mata yang terlihat sedih dan kecewa. "Kenapa sih mas, kamu itu selalu bela ibumu. Meskipun ibumu yang salah sekalipun," katanya dengan nada yang pelan dan sedih.
Rudi menjawab dengan nada yang tegas, "Ya, karena dia ibuku. Kamu wajib menghormatinya." Ia berdiri tegak, ingin menunjukkan bahwa ia tidak akan mengalah.
Karina tersenyum miris, ia merasa sedih dan kecewa. "Kamu terlalu jahat sama aku mas," katanya dengan nada yang sedih. "Aku rela jauh dari orang tuaku, bahkan aku rela tidak dianggap anak lagi oleh mereka. Semua itu hanya karena aku memilihmu mas."
Karina berhenti sejenak, sebelum melanjutkan dengan nada yang lebih keras. "Tapi apa yang aku dapatkan dari kamu dan keluargamu?" Ia menatap Rudi dengan mata yang terlihat sedih dan kecewa.
Rudi mencoba untuk menenangkan situasi dengan mengatakan, "Sudahlah Karin, kita mau sarapan. Jangan berdebat begitu." Namun, Karina sudah tidak bisa lagi menahan emosinya.
Dengan suara yang keras dan penuh emosi, Karina menjawab, "Kamu dan keluargamu memang benar-benar toxic, tau nggak?" Ia mengucapkan kata-kata tersebut dengan nada yang penuh kebencian dan kekecewaan.
Tanpa menunggu respons dari Rudi atau keluarganya, Karina berlari menuju kamarnya, meninggalkan suasana yang tegang dan tidak nyaman di meja makan. Pintu kamar Karina ditutup dengan keras, seolah-olah ingin menunjukkan bahwa ia sudah tidak bisa lagi menahan emosinya.
Bersambung...
lanjut Thor, penasaran!
wong data semua dari kamu