Apa yang kamu lakukan jika kamu tahu bahwa kau sebenarnya hanya seonggok pena yang ditulis oleh seorang creator, apa yang kau lakukan jika duniamu hanya sebuah kertas dan pena.
inilah kisah Lu San seorang makhluk tertinggi yang menyadari bahwa dia hanyalah sebuah pena yang dikendalikan oleh sang creator.
Dari perjalananya yang awalnya karena bosan karena sendirian hingga dia bisa menembus domain reality bahkan true reality.
seseorang yang mendambakan kebebasan dan kekuatan, tapi apakah Lu San bisa mendapatkan kebebasan dan mencapai true reality yang bahkan sang creator sendiri tidak dapat menyentuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rumah pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19 – Memutus Sebab dan Akibat
Langkah pertama telah usai.
Waktu sudah terhenti, dan semesta kini melayang di dalam kekosongan.
Tak ada masa lalu, tak ada masa depan, hanya ‘sekarang’ yang abadi.
Namun, itu baru awal.
Di hadapan Lu San dan Ling Yue, tergantung Rantai Sebab Akibat—garis tak kasat mata yang membentang di seluruh ruang realitas, menghubungkan segala yang pernah terjadi dengan apa yang akan terjadi.
Rantai itu adalah tulang punggung dari eksistensi.
Dan langkah berikutnya adalah memutuskannya.
Mereka berdiri di sebuah altar raksasa, yang mengapung di tengah ruang yang sepenuhnya putih.
Di altar itu, melingkar Lingkaran Causalitas, sebuah formasi kuno yang dibuat dari simbol-simbol asal mula.
Di tengah-tengah lingkaran itu, berdiri Pohon Akibat, akar dan cabangnya melilit hingga mencapai langit yang tak berbatas.
Shen Xi melangkah pelan menuju pohon itu, matanya merah menyala.
“Tiap cabang adalah kemungkinan,” gumamnya.
“Tiap daun adalah akibat.”
Ling Yue menarik napas dalam.
“Jadi, kalau kita tebang...”
“Segalanya berhenti menjadi logis,” jawab Lu San.
Mereka saling bertukar pandang.
Tak ada lagi waktu untuk ragu.
Mereka sudah terlalu jauh.
Shen Xi mengeluarkan sebuah pena berwarna hitam legam, terbuat dari tulang kosong tanpa daging.
“Itu pena siapa?” tanya Ling Yue, alisnya berkerut.
Shen Xi tersenyum samar.
“Ini pena dari Editor Pertama. Ia sudah lama mati, tapi peninggalannya masih bisa digunakan.”
Lu San mendekat ke batang pohon, mengulurkan tangannya.
Namun, begitu telapak tangannya menyentuh kulit pohon, matanya bergetar.
Di balik kulit kasar itu, jutaan cerita hidup.
Teriakan orang-orang yang bergantung pada alur sebab akibat.
Bayangan mereka melintas di pikirannya.
Seorang ibu menyuapi anaknya, seorang petani menanam benih, seorang murid belajar dari guru...
Mereka semua hidup karena Sebab menciptakan Akibat.
“Apakah kau siap?” tanya Shen Xi, tatapannya penuh penantian.
Lu San mengepalkan tangan.
Ia sadar, tiap tindakan ini membawa konsekuensi yang ia sendiri mungkin belum sepenuhnya mengerti.
Namun, keputusan telah dibuat.
“Aku siap.”
Shen Xi menggoreskan pena itu ke udara, menulis:
“Sebab terputus.”
Aksara gelap itu melayang ke Pohon Akibat, dan dalam sekejap, cabang-cabangnya mulai mengering.
Daun-daunnya jatuh, dan batang pohon mulai retak.
Suara aneh terdengar—seperti simpul tali yang dipotong satu per satu.
Ling Yue merasakan dunia di sekitarnya melambat...
Atau mungkin, bukan melambat, melainkan kehilangan arah.
Sesuatu yang dilempar ke udara, tidak lagi jatuh.
Sesuatu yang terluka, tidak lagi berdarah.
Segalanya seperti... berhenti masuk akal.
Namun, meski semua tampak kacau, tidak ada kehancuran besar.
Hanya... kekosongan yang makin dalam.
Segalanya seperti boneka tanpa tali, masih ada di sana, tapi tanpa makna.
Lu San menghembuskan napas panjang.
“Langkah kedua selesai.”
Shen Xi menatap Pohon Akibat yang kini menjadi abu.
“Dua langkah lagi,” gumamnya.
Ling Yue memandang mereka berdua dengan tatapan sulit ditebak.
“Kalau kita lanjutin, semua yang kita tahu bakal lenyap.”
Lu San menoleh padanya.
“Dan itulah tujuan kita.”
Shen Xi menyeringai.
“Jangan ragu, Ling Yue. Kita sudah sepakat, bukan?”
Namun, Ling Yue diam.
Dalam pikirannya, keraguan mulai tumbuh.
Apakah benar langkah-langkah ini akan membawa kebebasan?
Ataukah mereka hanya menggantikan satu sangkar dengan sangkar lain?
Lu San berbalik, menatap ruang putih yang terbentang tak berujung.
Di kejauhan, samar-samar, terlihat sebuah titik hitam yang perlahan membesar.
Itu adalah Gerbang Benih Takdir.
“Langkah ketiga,” ucapnya pelan.
“Mari kita cabut akarnya.”
Mereka bertiga melangkah menuju gerbang itu, dengan dunia yang makin sunyi mengiringi langkah mereka.
--------
Bersambung......