Marsha Calloway terjebak dalam pernikahan yang seharusnya bukan miliknya—menggantikan kakaknya yang kabur demi menyelamatkan keluarga. Sean Harris, suaminya, pria kaya penuh misteri, memilihnya tanpa alasan yang jelas.
Namun, saat benih cinta mulai tumbuh, rahasia kelam terungkap. Dendam masa lalu, persaingan bisnis yang brutal, dan ancaman yang mengintai di setiap sudut menjadikan pernikahan mereka lebih berbahaya dari dugaan.
Siapa sebenarnya Sean? Dan apakah cinta cukup untuk bertahan ketika nyawa menjadi taruhan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayyun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Batas yang Tak Terlihat
Marsha duduk termenung di dalam mobil, matanya menatap kosong ke luar jendela saat mobil melaju meninggalkan Kampus. Ia masih tidak percaya bahwa pertemuannya dengan Vano gagal total.
Dua pria berbadan tegap yang ditugaskan Sean untuk menjaganya dengan tegas menolak permintaannya.
"Maaf, Bu. Kami mendapat instruksi jelas bahwa Anda tidak boleh bertemu dengan siapa pun di luar lingkungan kampus kecuali atas izin langsung dari Pak Sean ."
"Tapi ini cuma Vano, teman saya!" protes Marsha, wajahnya mulai memerah karena kesal.
Salah satu dari mereka tetap bersikap tenang. "Kami hanya menjalankan tugas, Bu. Jika Anda ingin bertemu dengan seseorang, Anda harus memberitahukan kepada Pak Sean terlebih dahulu."
Marsha benar-benar ingin membantah, tetapi ia tahu itu hanya akan sia-sia. Dengan berat hati, ia pasrah. Vano mungkin merasa aneh dengan kejadian ini, tapi Marsha belum siap memberikan jawaban.
Setelah sampai di rumah, Marsha berjalan lunglai menuju kamarnya. Ia membiarkan tubuhnya terhempas ke kasur, menghela napas panjang. Ia merasa terjebak. Dibatasi.
Tidak pernah sebelumnya ia merasa kehidupannya begitu terkekang seperti ini. Selama ini, pernikahan dengan Sean memang terasa seperti sangkar emas, tetapi sekarang? Ia benar-benar merasa seperti burung yang sayapnya dipotong.
Marsha menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan pikirannya. Lalu, sebuah ide terlintas di benaknya. Jika ia tidak bisa bertemu Vano, mungkin ia bisa berbicara dengan Evelyn.
Evelyn adalah sahabat kuliahnya yang selalu ceria dan penuh perhatian. Meski mereka jarang bertemu dirinya seperti dengan Vano, tetapi mungkin berbicara dengannya bisa membantu mengurangi stres yang terus menghimpitnya.
Tanpa berpikir panjang, Marsha meraih ponselnya dan menghubungi Evelyn. Suara ceria Evelyn langsung terdengar di seberang telepon.
"Marsha! Sudah lama tidak menghubungiku. Ada apa?"
Marsha tersenyum kecil. "Hai, Eve. Aku hanya ingin bertemu. Mungkin sekadar menghabiskan waktu, atau… aku mungkin ingin membicarakan sesuatu."
"Oh? Kamu terdengar sangat serius. Baiklah, kapan dan di mana?"
Marsha menatap jam dinding. "Bagaimana kalau sore ini? Kita bisa bertemu di kafe langganan kita."
"Setuju! Aku akan sampai di sana sebelum pukul empat. Jangan telat!"
Setelah menutup telepon, Marsha menghela napas lega. Setidaknya, ia masih bisa memiliki sedikit kebebasan untuk bertemu seseorang tanpa harus merasa seperti tahanan di rumahnya sendiri.
Di kafe yang telah mereka sepakati, ia memilih meja di sudut yang sedikit tersembunyi, berharap bisa berbicara dengan lebih leluasa tanpa takut ada yang menguping. Tak butuh waktu lama, Evelyn datang dengan wajah berseri seperti biasa.
"Marsha!" sapanya dengan suara ceria sebelum langsung duduk di hadapan Marsha.
Marsha tersenyum tipis. "Hai, Eve."
"Astaga, aku benar-benar merindukanmu! Kenapa tiba-tiba menghilang begitu saja? Aku dan yang lain mengira kamu pindah ke dimensi lain atau semacamnya."
Marsha tertawa kecil, tetapi matanya menyiratkan kelelahan. "Aku cuma… sibuk."
Evelyn menatapnya dengan ekspresi penasaran. "Sibuk dengan suamimu?" tanyanya menggoda.
Marsha tersentak, lalu menghela napas panjang. "Sesuatu seperti itu…"
Ekspresi Evelyn berubah serius. "Kamu baik-baik aja, Marsha? Aku tidak pernah melihatmu sekusut ini sebelumnya."
Marsha menatap cangkir kopinya yang masih utuh. Ia mempertimbangkan apakah ia harus menceritakan semuanya kepada Evelyn atau tidak. Namun, sebelum ia bisa mengambil keputusan, sesuatu di luar jendela kafe menarik perhatiannya. Marsha merasa jantungnya berdebar lebih kencang.
Sosok itu lagi. Berdiri di seberang jalan, menatap Marsha tajam, seakan mengawasinya dengan penuh maksud tersembunyi. Ia tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena orang itu mengenakan hoodie hitam dan masker. Tetapi yang jelas, ini bukan kebetulan.
Marsha mencoba untuk tetap tenang. Ia tidak ingin membuat Evelyn khawatir, tetapi pikirannya langsung melayang ke kejadian di kampus beberapa hari lalu. Apakah ini orang yang sama? Siapa dia? Mengapa ia terus mengawasinya?
"Marsha? Kamu baik-baik aja?" suara Evelyn membuyarkan lamunannya.
Marsha mengalihkan tatapannya kembali ke Evelyn dan tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.
"Aku baik-baik aja. Aku hanya merasa lelah," jawabnya, meski jelas itu adalah kebohongan.
Evelyn mengernyit, tetapi tidak mendesak lebih jauh. "Kalau kamu butuh teman bicara, aku selalu ada untukmu, oke?"
Marsha mengangguk. "Terima kasih, Eve. Aku sangat menghargainya."
Namun, pikirannya masih terus dipenuhi dengan sosok misterius itu. Siapakah dia? Dan apakah ini ada hubungannya dengan ancaman yang Sean hadapi? Yang jelas, ia tidak bisa hanya duduk diam dan berpura-pura semuanya baik-baik saja. Ia harus menemukan jawabannya. Sebelum semuanya menjadi semakin berbahaya.
...***...