Kathleen tidak pernah menyangka bahwa rasa penasaran bisa menyeret hidupnya ke dalam bahaya besar!
Semua berawal dari kehadiran seorang cowok misterius di kelas barunya yang bernama William Anderson. Will memang selalu terkesan cuek, dingin, dan suka menyendiri. Namun, ia tidak sadar kalau sikap antisosialnya yang justru telah menarik perhatian dan membuat gadis itu terlanjur jatuh hati padanya.
Hingga suatu hari, rentetan peristiwa menakutkan pun mulai datang ketika Kathleen tak sengaja mengetahui rahasia siapa William sebenarnya.
Terjebak dalam rantai takdir yang mengerikan, membuat mereka berdua harus siap terlibat dalam pertarungan sesungguhnya. Tidak ada yang dapat mereka lakukan lagi, selain mengakhiri semua mimpi buruk ini sebelum terlambat!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rivelle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26 - Mereka datang.
-William-
Ternyata memang benar. Sekeras apapun mencoba, mata tetap tak akan bisa berbohong mengungkapkan isi hati seseorang. Menjauhi gadis itu mungkin adalah satu-satunya langkah terbaik yang dapat kulakukan untuk saat ini. Terlalu banyak rahasia yang tak bisa kuceritakan padanya, terutama alasan tentang mengapa aku melakukan semua ini. Ketahuilah, segalanya menjadi begitu rumit bagiku.
Sepulang sekolah tadi, aku meninggalkan mobilku di halaman parkir dan memutuskan untuk berjalan kaki, mengikuti gadis itu agar dapat memastikannya benar-benar aman. Ia melewatkan bus sekolah yang terakhir dan aku tidak mungkin membiarkannya berjalan sendirian di tengah lebatnya terpaan salju.
Di satu sisi, sebenarnya aku ingin sekali menggenggam tangan gadis itu, menyeka setetes air mata dari pipinya dan mengatakan bahwa aku juga tidak ingin berada jauh darinya. Tapi di sisi lain, aku takut kalau aku hanya akan menyeret hidupnya ke dalam bahaya besar. Ia tidak boleh terlibat lebih jauh, apalagi dalam masalah yang bukan seharusnya ia hadapi.
Sesaat berselang, kulihat ada sebuah mobil hitam yang datang dan berhenti di dekatnya. Seorang cowok berambut cokelat keemasan berlari keluar dengan langkah yang tergesa-gesa; Steve Durant—aku tidak tahu bocah berandal satu itu memang sungguhan menyukai Kathleen atau tidak. Selama ini ia kelihatannya tidak pernah serius dan itulah yang membuatku khawatir jika membiarkan Kathleen dekat-dekat dengannya.
Steve beberapa kali terlihat seperti menanyakan sesuatu. Aku tidak bisa mendengar apa yang sedang ia bicarakan. Tapi, ekspresi wajahnya kentara gusar ketika melihat gadis itu menangis. Ia lalu memberikan pelukan hangat untuk menenangkannya. Aku memalingkan wajah. Entah mengapa sulit menerima pemandangan tersebut.
Suasana kini menjadi tampak begitu lengang. Mereka berdua sudah beranjak pergi ketika udara mulai terasa lebih dingin tiga kali lipat. Aku pun segera merapatkan jaketku kembali dan bergegas hengkang sebelum salju turun semakin lebat.
Samar-samar, papan penunjuk jalan yang kulalui saat ini telah menunjukkan area Public Alley 432. Tinggal butuh waktu kurang lebih sepuluh menit lagi untuk sampai di Cambria St. Aku memutuskan untuk terus berjalan, menyusuri gang umum ini agar bisa cepat sampai di rumah.
Namun, sewaktu kakiku hendak melangkah lebih jauh—entah mungkin karena sugestiku saja yang berlebihan atau sekadar pantulan bayangan benda—sudut mataku tak sengaja menangkap siluet seseorang dari belakang. Padahal, sebelumnya sudah kupastikan tidak ada siapa-siapa lagi di sini selain diriku.
Awalnya, aku masih tak terlalu menghiraukan hal aneh tersebut—berpikir memang benaran ada orang lain yang sedang berjalan tidak jauh di belakangku. Akan tetapi, lama-kelamaan yang membuatku mulai terusik adalah kemunculan dari suara embusan napas berat yang terdengar seperti sedang mengitariku sejak tadi.
Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres dan instingku juga berkata demikian. Kumasukkan kedua tanganku ke dalam saku jaket lantas berjalan lebih cepat untuk keluar dari gang umum itu.
Jauh di depan sana mataku tiba-tiba melihat ada seseorang yang sedang berdiri menunduk di bawah sorot lampu jalan remang-remang. Ia mengenakan jubah hitam dengan panjang hingga menyentuh tanah. Orang itu tidak bergerak sama sekali. Sontak pupil mataku melebar, mengamatinya secara intens.
Sedetik kemudian, aku terkesiap dan buru-buru melangkah mundur waktu ia mendongak serta menyeringai lebar padaku. Aku kenal betul siapa dirinya. Ia adalah Dökkálfar, anak buah Zaphiele—makhluk bengis musuh bebuyutanku.
Sial! Sedang apa makhluk terkutuk itu berkeliaran bebas di sini?
Celakanya, aku baru sadar kalau mereka ternyata tidak datang sendirian. Salah satu sengaja mengalihkan perhatian sementara dua lainnya tiba-tiba menerjang dari arah yang berlawanan hingga membuat tubuhku terpelanting menghantam pembatas jalan.
Mereka terkekeh.
“Lama tidak berjumpa, Sobat!” sapa salah satu makhluk itu dengan suara sengau dan dalam.
“Uhh, Dasar lemah! Inikah yang dinamakan Ljósálfar, sang penjaga Pedang Egbertyne?” sambung yang lain mencela.
Aku menarik napas dalam-dalam lalu segera bangkit berdiri. “Cukup basa-basinya, Brengsek! Kalian mau apa dariku?”
Ia menyeringai, menunjukkan deretan gigi runcingnya. “Tentu saja, apa lagi kalau bukan Pedang Egbertyne? Benda yang paling kau jaga dengan segenap jiwa dan ragamu ....”
“Aku tidak memilikinya! Sudah berapa kali kubilang pada kalian?” sergahku waswas.
“Oh, ayolah. Aku tahu benar kalau kau itu tidak pandai berbohong, William. Jadi, cukup katakan saja padaku di mana keberadaannya sekarang. Setelah itu, aku berjanji tidak akan pernah mengganggu kau dan teman-temanmu lagi. Kalian bisa hidup aman damai selamanya.”
Aku mendengkus seraya menatapnya tajam. “Percuma saja kau coba membujukku. Aku bukan makhluk bodoh yang mudah tertipu seperti kalian!”
“Hei, percayalah. Aku tidak membual. Kau tahu sendiri, bukan? Perang itu melelahkan,” timpalnya yang masih berusaha memengaruhi.
“Ya, memang, tapi sayangnya aku juga tidak sudi berdamai dengan kalian. Lebih baik aku mati di medan perang daripada harus berlutut di hadapan para pecundang!”
“Wow! Jangan terburu-buru, Sobat. Santai saja. Kalau kau ingin pergi ke surga, kami bersedia mengantarmu dengan sangat senang hati.”
“Cih! Kau tidak perlu repot-repot karena akulah yang akan mengantar kalian semua ke jurang kematian sekarang juga!”
Mereka tertawa terbahak-bahak dengan ekspresi mengejek.
“Yeah, baiklah. Harus kuakui nyali kau besar juga. Tapi, mari kita lihat. Seberapa hebat kemampuanmu, Ljósálfar? Tanpa liontin itu, kau hanya seonggok daging yang tidak berguna, Bodoh!”
Ketiga makhluk itu serta-merta menghilang. Mereka semua berpencar dan bersembunyi di balik celah-celah kegelapan.
Terus terang saat ini aku memang tidak terlalu kuat untuk melawan anak buah Zaphiele. Bukan karena aku hanya sendirian, melainkan karena kekuatanku masih terikat dengan liontin yang sudah direbut oleh Steve. Tidak masalah berapa pun jumlah mereka. Asalkan liontin itu ada padaku, aku bisa menghabisi mereka semua sekaligus.
Kali ini aku hanya dapat melawan dengan senjata kecil yang selalu kubawa ke mana pun untuk berjaga-jaga. Setidaknya, tanganku tidak kosong. Sekilas kalau dilihat bentuknya memang seperti pena biasa. Namun, ketika penutupnya diputar, sebilah benda tajam akan langsung siap untuk menyerang. Pisau ini bukanlah pisau sembarangan. Aku bisa membuat mereka lenyap jika berhasil menancapkannya di bagian dada—jantung.
Salah satu dari mereka yang bertubuh kurus kemudian muncul, merangkak naik dari satu atap ke atap bangunan yang lain. Aku harus berwaspada karena dua lainnya masih belum terlihat lagi olehku.
“Halo, William!”
Aku segera menoleh ke arah di mana suara itu berasal. Makhluk itu melambaikan jemarinya yang ditumbuhi kuku-kuku tajam layaknya binatang buas. Ia menyeringai lalu menunjuk ke atas. Mataku langsung membelalak ketika melihat sesosok makhluk bertubuh kurus tadi melesat cepat ke arahku. Untung saja aku masih sempat menghindar darinya.
“Well, well, well, aku suka kelincahanmu.” Ia bertepuk tangan sembari berjalan ke belakang punggungku. “Kau memang cukup mumpuni dalam bertarung, tapi jangan senang dulu. Ini baru permulaan. Kita masih punya banyak kejutan lain yang menarik untukmu.”
Ketiga makhluk itu sekarang menampakkan dirinya masing-masing—satu bertubuh kurus dan dua sisanya bertubuh masif—mengelilingiku dari tiap sisi yang berbeda. Aku menggenggam erat kedua pisauku sambil coba menerka siapa yang akan menyerang lebih dulu.
Kukira mereka akan menyerang dari sisi kanan karena posisinya lebih dekat. Tapi nyatanya, perkiraanku salah. Makhluk bertubuh masif di depanku berhasil menerjang kembali. Ia menendangku hingga aku membentur tiang lampu jalan yang berjarak sepuluh meter dari tempatku berdiri. Badanku nyaris remuk. Rasanya seperti dihantam oleh mobil yang sedang melaju dengan kecepatan tinggi. Aku tidak tahu apakah tubuhku memang sedang lemah atau mereka yang sudah bertambah kuat.
Suara tawa puas pun terdengar menggema di telingaku. Makhluk bertubuh kurus tadi mendekat dan menyeretku ke hadapan dua teman bengisnya.
Ia mendekatkan wajah jeleknya padaku. Mata hitam legamnya menatapku dengan tatapan mengintimidasi. “Lihatlah! Melawan kami bertiga saja kau sudah kewalahan. Bagaimana kau bisa mengalahkan tuan kami yang agung?”
Aku tersenyum miring. “Katakan pada tuanmu yang agung itu, aku akan menghabisinya dengan tanganku sendiri!”
“Oh, benarkah? Jangan terlalu percaya diri, William. Nyawamu sekarang sudah ada di tangan kami. Jadi, bersiaplah. Akan kupastikan kau mati sia-sia malam ini!”