Kelanjutan dari Kurebut Suami Kakak Tiriku, kisah ini mengikuti Rei Alexander, anak angkat Adara dan Zayn, yang ternyata adalah keturunan bangsawan. Saat berusia 17 tahun, ia harus menikah dengan Hana Evangeline, gadis cantik dan ceria yang sudah ditentukan sejak kecil.
Di sekolah, mereka bertingkah seperti orang asing, tetapi di rumah, mereka harus hidup sebagai suami istri muda. Rei yang dingin dan Hana yang cerewet terus berselisih, hingga rahasia keluarga dan masa lalu mulai mengancam pernikahan mereka.
Bisakah mereka bertahan dalam pernikahan yang dimulai tanpa cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. BERDUA DI TAMAN
"Ehem, ehem." Deheman Hana membuat langkah lari Rei terhenti seketika. Tubuh Rei yang sudah dilumuri keringat membuatnya tampak semakin seksi dan menawan di tengah udara pagi yang masih dingin. Ia berdiri dengan napas yang sedikit memburu, pertanda sudah cukup lama ia berlari menyusuri jalanan pagi itu. Hari memang masih gelap, namun di ujung cakrawala mulai terlihat semburat cahaya, tanda-tanda fajar akan segera menyingsing.
Perlahan, Hana melangkah mendekatinya, wajahnya masih terlihat mengantuk dengan piyama tidur yang masih ia kenakan. Di tangannya, ia membawa segelas teh hangat. "Ini," ucapnya singkat, menyodorkan gelas itu ke arah Rei, seolah sebuah perhatian kecil namun hangat yang ia sematkan dalam kesederhanaan pagi hari itu.
Rei sedikit terdiam saat melihat gelas teh yang disodorkan Hana. Pandangannya sejenak tertuju pada tangan Hana yang menggenggam gelas itu dengan hangat. Namun tanpa banyak kata, ia akhirnya menerimanya juga dan langsung meneguk habis isinya dalam sekali minum. Teh hangat itu sedikit meredakan napasnya yang masih memburu. Setelahnya, Rei menyerahkan kembali gelas kosong itu kepada Hana, yang menerimanya dengan tenang, tanpa banyak bicara juga.
Beberapa saat kemudian, Rei melangkah menuju bangku putih yang terletak di sudut taman kecil mereka. Ia duduk perlahan, membiarkan tubuhnya bersandar santai setelah aktivitas larinya. Hana, yang masih berdiri sambil memegang gelas kosong, memutuskan untuk ikut duduk di sampingnya. Gerakannya pelan dan hati-hati, seolah masih diliputi rasa canggung yang tak bisa ia sembunyikan. Bukan karena jarak di antara mereka, melainkan karena kepribadian Rei yang selalu dingin dan sulit ditebak. Ekspresinya datar, nyaris tanpa emosi, membuat Hana selalu bertanya-tanya apa yang sebenarnya dipikirkan pria itu.
Pagi tadi, dari balik jendela kamar mereka, Hana sempat melihat sosok Rei yang tengah berlari menyusuri jalan taman. Udara yang masih dingin tidak menyurutkan semangat Rei untuk berolahraga. Sementara dirinya sendiri tidak bisa kembali tidur setelah terbangun terlalu pagi. Alih-alih berdiam diri di tempat tidur, Hana memutuskan untuk turun dan menghampirinya sambil membawa segelas teh hangat—sekadar menyapa dan memberi sedikit kehangatan di tengah pagi yang sunyi.
"Kau selalu berlari pagi seperti ini setiap akhir pekan?" tanya Hana, memecah keheningan yang sempat menggantung di antara mereka. Seperti biasanya, dialah yang lebih dulu membuka percakapan, karena memang begitulah dirinya—selalu lebih ekspresif, lebih terbuka, dan tak betah berlama-lama dalam suasana diam.
Rei mengangguk pelan tanpa menoleh, pandangannya masih lurus menatap ke depan, menatap rerumputan yang mulai basah oleh embun pagi. "Kenapa bangun cepat?" tanyanya kemudian, setelah beberapa saat hening kembali menyelimuti mereka.
Hana melirik ke arahnya, matanya berbinar pelan. "Aku nggak bisa tidur lagi," jawabnya jujur. "Aku terbangun karena sadar kau tidak ada di ranjangmu. Aku kira kau sedang di kamar mandi, tapi setelah kulihat ke luar jendela, ternyata kau sedang berlari. Jadi, ya, kupikir… kenapa tidak sekalian ikut menyapamu?" Ia tersenyum kecil sebelum melanjutkan, "Untuk ke depannya, ajak aku juga, ya. Kita bisa lari keliling komplek bersama. Pasti seru, kan?" ujarnya panjang, diselingi sedikit tawa cengesan khas dirinya yang memang dikenal sebagai sosok yang ceria dan banyak bicara.
Rei menoleh sedikit, lalu tersenyum tipis dan tertawa singkat—sebuah respons yang cukup langka dari pria sependiam dirinya. Namun tawa itu, walau sebentar, sudah cukup membuat Hana merasa lega dan senang.
"Pekan ini… kau akan ke mana?" tanya Rei lagi setelah hening beberapa detik, suaranya terdengar datar namun ada sedikit nada penasaran yang tersembunyi di baliknya.
Hana terdiam sejenak, pikirannya berkelana pada pesan yang baru saja ia terima beberapa hari lalu. Kakeknya mengirim kabar, memintanya untuk datang mengunjunginya akhir pekan ini. Namun entah kenapa, semangat itu tak muncul. Ia justru merasa malas, bahkan berat untuk sekadar membalas pesan tersebut.
"Aku disuruh menemui Kakek," ucapnya akhirnya, dengan nada malas dan datar. "Tapi aku menolak."
Rei menoleh sedikit, alisnya mengernyit tipis. "Kenapa?" tanyanya singkat, suaranya tetap tenang seperti biasa.
"Malas saja," jawab Hana dengan acuh, bahunya terangkat seolah tak mau ambil pusing. Tak ada penjelasan lebih lanjut, karena memang itulah yang ia rasakan—malas, tanpa alasan yang jelas.
Rei menatapnya beberapa detik sebelum kembali mengalihkan pandangannya ke depan. Kali ini Hana yang berbalik bertanya. "Kalau kau sendiri?" ucapnya, matanya menatap wajah Rei dari samping. "Kenapa kau tidak pernah lagi balik ke tempat kakekmu?"
Pertanyaan itu membuat Rei diam sesaat. Ia menarik napas pelan, seolah sedang menyusun kalimat yang akan diucapkannya. "Sejak aku menyetujui apa yang dia inginkan dariku… agar aku bisa tetap bersama Mama dan Papa," jawabnya perlahan, suaranya mulai terdengar lebih dalam, "aku merasa aku sudah tidak ada hubungan lagi dengan mereka semua."
Nada suaranya dingin, tapi Hana bisa menangkap luka yang tersembunyi di balik kalimat itu. Ia mengangguk pelan, mencoba memahami isi hati pria di sampingnya. "Kau terlihat jelas… sangat terpaksa menerima pernikahan ini, ya?" ucapnya pelan, pandangannya tertuju pada ekspresi Rei yang terasa hampa meski tenang.
"Memang begitu kenyataannya," sahut Rei datar, tak membantah sedikit pun.
Hana menarik napas dan menatapnya lebih lama. Lalu, seperti mencoba mencairkan suasana, Rei menoleh padanya sambil menyunggingkan sedikit senyum menggoda. "Memangnya kau juga tidak terpaksa? Emm, atau sebenarnya kau sudah mengenalku diam-diam, lalu melihatku tampan dan langsung ingin menikah denganku?"
Nada suaranya terdengar lebih ringan, namun tetap saja membuat Hana langsung menggeleng cepat, pipinya sedikit memerah karena tidak terima dengan godaan itu. "Mana ada!" serunya dengan nada tinggi. "Aku bahkan tidak pernah melihatmu sebelumnya. Aku menerima perjodohan ini karena… ya, tidak ada alasannya. Hidupku memang selalu seperti ini. Sedari kecil, semuanya sudah diatur. Aku hanya menjalani saja," ucapnya, diakhiri dengan senyum tipis yang terasa begitu palsu.
Rei memperhatikan senyum itu dengan seksama, bisa dengan mudah menangkap getir yang tersembunyi di baliknya. Ia kembali menarik napas panjang, lebih berat dari sebelumnya. Dalam hati, ia tahu—jika saja waktu itu ia tidak melarikan diri dari kerajaan kakeknya di masa kecilnya, mungkin nasibnya akan sama persis seperti Hana. Terjebak dalam sistem yang mengatur segalanya, bahkan hingga ke hal paling pribadi seperti pernikahan.