Teror pemburu kepala semakin merajalela! Beberapa warga kembali ditemukan meninggal dalam kondisi yang sangat mengenaskan.
Setelah dilakukan penyelidikan lebih mendalam, ternyata semuanya berkaitan dengan masalalu yang kelam.
Max, selaku detektif yang bertugas, berusaha menguak segala tabir kebenaran. Bahkan, orang tercintanya turut menjadi korban.
Bersama dengan para tim terpercaya, Max berusaha meringkus pelaku. Semua penuh akan misteri, penuh akan teka-teki.
Dapatkah Max dan para anggotanya menguak segala kebenaran dan menangkap telak sang pelaku? Atau ... mereka justru malah akan menjadi korban selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TPK5
Bab 5: Tahun yang Berat
“Clara,” panggil Max dengan suara serak. “Aku butuh daftar semua orang yang ada di sekitar Anna sebelum dia meninggal. Teman, rekan kerja, siapa saja.”
Clara mengangguk. “Aku sudah mulai menyelidiki dan menyusunnya. Tapi Max —” Ia menatap Max dengan hati-hati, “ini berarti pelakunya bisa saja seseorang yang kita kenal.”
Max terdiam. Ia tahu kemungkinan itu, tapi ia belum siap menghadapinya. Bagaimanapun juga, ia harus menemukan kebenarannya.
Pagi itu, Max duduk termenung di ruang kerjanya. Semua petunjuk yang mereka temukan sejauh ini tergeletak di meja. Kancing kemeja, foto buram, jejak sepatu—semuanya terasa seperti potongan puzzle yang belum bisa ia gabungkan.
Ia mengambil kancing itu, memutarnya di antara jari-jarinya. Ada sesuatu yang familiar tentang kancing itu, tapi, ia tidak bisa mengingat di mana ia pernah melihat benda mungil ini sebelumnya. Pikiran itu terus mengganggunya, seperti sebuah teka-teki yang menolak untuk dipecahkan.
Suasana yang sempat hening akhirnya pecah oleh derit pintu, Jessie masuk ke dalam ruangan. Langkah lambannya menghampiri Max.
"Max, maaf, dua hari ini aku tidak enak badan. Padahal pekerjaan kita sedang menumpuk. — Kamu baik-baik saja kan, Max?" Jemari lentik Jessie mencengkram lembut bahu Max, membuat pria itu menoleh.
"Bagaimana kondisi mu sekarang, Jess?" Max balik bertanya.
"Sudah lebih baik," jawab Jessie seraya tersenyum.
"Baguslah, berarti kamu sudah bisa melanjutkan tugas mu, kan?" Tanya Max datar, membuat dada Jessie bergetar.
'Serius, di depan ku ini Max? —Max yang selalu bertutur kata lembut dan tak pernah lupa tersenyum pada ku?' batinnya tak percaya.
"Kamu bisa bertanya pada Clara untuk perkembangan kasus ini, aku sedang ada keperluan," ujar Max datar.
Max berdiri, mengambil jaketnya, lalu bergegas keluar. Ia harus memeriksa sesuatu. Namun, sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, ponselnya berdering. Nama Liam muncul di layar.
“Liam?” jawab Max, suaranya penuh kecurigaan.
“Max,” suara Liam terdengar tenang, tapi ada sesuatu yang beda di dalamnya. “Kita perlu bicara.”
Max terdiam sejenak, mencoba membaca maksud di balik nada suara Liam. “Tentang apa?”
Liam tertawa kecil, tapi, tidak ada kehangatan dalam tawa itu. “Tentang Anna. Dan tentang apa yang sebenarnya terjadi.”
Max menggenggam erat ponselnya. “Ayo kita bertemu.”
Sementara itu, di ruangan kerja Max, Jessie berdiri di sisi meja. Beberapa barang bukti tergeletak di atas sana, Jessie memeriksa satu persatu. Namun, tiba-tiba, matanya terpaku di satu benda. Wajahnya mendadak tegang, jantungnya berdetak kencang. Dia menyambar kancing kemeja dengan tangan bergetar.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Max duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer yang penuh dengan laporan kasus. Matanya merah, bukan hanya karena kurang tidur, tapi juga karena air mata yang terus ia tahan. Foto Anna terpajang di sudut meja, tersenyum lembut seperti biasa. Senyum itu kini hanya tinggal kenangan.
Dia menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa sakit yang terus menghantuinya. Setiap kali ia menutup mata, bayangan wajah Anna muncul, bersama pertanyaan yang tak pernah terjawab: siapa yang tega melakukan ini?
Ia memejamkan mata, mencoba mengingat kembali percakapannya dengan Liam.
“Atas dasar apa kau menuduh ku, Max?”
“Apa aku perlu dasar? — Kau orang terakhir yang ditemui Anna!”
“Ya, benar. Seharusnya, aku lah orang yang ditemuinya malam itu. Namun, sayang sekali, bukan aku orangnya.”
“Jangan bicara omong kos—”
“Gelagat Anna sedikit aneh, dia terlihat murung sebelum kematiannya. Saat aku bertanya apa yang terjadi, dia justru membentak ku. Malam itu, kami memang janji akan bertemu. Namun, aku membatalkannya karena ada pasien darurat.” Liam mengeluarkan ponselnya dan menyodorkan pada Max.
“Itu riwayat percakapan kami. Saat aku membatalkannya, Anna tidak keberatan. Jadi ... berhentilah menuduh ku, Max. Bukan kau saja yang kehilangan, tapi, aku ... aku juga!” lanjut Liam dengan raut sedih.
“Kau kira ... kau bisa membodohi ku dengan riwayat pesan ini? Pasti kau merekayasanya kan?! Kau berselingkuh darinya, —iya kan?!” jerit Max.
“Astagaaa ...,” lirih Liam. “Selingkuh? — Bahkan setelah kematian Anna, aku tak yakin akan bisa menikah dengan wanita manapun!” Bulir bening menetes dari sudut mata Liam.
Max menggebrak meja, ia sangat muak melihat air mata pria itu.
Suara gedoran pintu menarik Max kembali ke masa kini. Ia menatap ke arah pintu yang terbuka.
“Bos!” Suara Ethan, hacker muda nan tampan memecah keheningan. Pemuda itu berdiri di pintu dengan laptop di tangan. “Gue nemuin sesuatu.”
Max mengangkat wajahnya, mencoba fokus. “Apa?”
Ethan masuk, meletakkan laptopnya di meja Max. “Gue lagi ngulik data dari CCTV di sekitar lokasi kejadian. Ada satu orang yang gerak-geriknya mencurigakan. Nih, liat.”
Max menatap layar. Video itu menunjukkan seorang pria dengan jaket hitam berjalan cepat di trotoar, hanya beberapa meter dari tempat Anna ditemukan. Wajahnya tertutup topi dan masker, tapi gerak-geriknya memang terlihat aneh.
“Lo yakin ini ada hubungannya?” tanya Max, suaranya datar.
Ethan mengangguk. “Gue belum bisa pastiin, tapi feeling gue bilang orang ini nggak bersih. Gue bakal coba lacak dia lewat rekaman lain.”
Max mengangguk pelan. “Lakuin apa yang lo bisa, Ethan. Gue nggak mau ada yang terlewat.”
Ethan tersenyum tipis. “Santai aja, Bos. Gue nggak bakal ngecewain lo.”
Setelah Ethan pergi, Max kembali menatap layar komputernya. Tapi pikirannya melayang. Dia tahu Ethan bekerja sangat keras, sama seperti dirinya. Tapi, semakin banyak bukti yang mereka kumpulkan, semakin banyak pula pertanyaan yang muncul. Dan jawaban terasa semakin jauh.
---
Hari ini, Liam datang ke kantor polisi untuk memenuhi prosedur penyelidikan. Serangkaian pertanyaan mulai diajukan. Didampingi alat pendeteksi kebohongan, Liam menjawab dengan tenang.
Setelah menjalani penyelidikan sesuai prosedur, Liam dinyatakan tak bersalah. Di balik kaca yang menjadi pembatas ruangan interogasi, Max yang sedari tadi turut menyaksikan jalan penyelidikan, kini mengepalkan erat jemarinya.
Pria itu lekas keluar saat Liam keluar dari ruangan. Ia menghampiri Liam, Jessie mengekor di belakangnya.
“Kau pikir, kau sudah bebas dari penyelidikan? Aku akan membuktikan bahwa kau bersalah!” Max mengguncang bahu Liam.
Jessie berusaha melerai keduanya. Sembari menyampirkan rambut ke belakang telinga, ia menatap Liam lembut. "Pulanglah, Liam. Terimakasih karena sudah mau bekerjasama dalam penyelidikan ini." Jessie mengulum senyuman.
Liam dan Max saling beradu tatap. Hari ini hubungan keduanya, persahabatan yang telah lama terjalin, benar-benar telah renggang.
---
Malam hari, di rumahnya, Jessie duduk sendirian di kamar tidur. Ia menggigit ujung kukunya hingga patah. Matanya menatap lurus ke atas meja, menatap sebuah kemeja merah muda.
Berjam-jam ia memutar otak, akhirnya ia sudah mengambil sebuah keputusan. Jessie berdiri, mendekat ke arah meja dan menyambar kemeja merah muda. Lalu, ia segera keluar dari kamar, menuju ke tempat pembakaran sampah yang ada di depan rumah.
“Kenapa aku jadi begini?” gumamnya pada diri sendiri. “Aku mencintai Liam. Tapi, ini benar-benar ... salah.”
Jessie menggeleng, “Nggak, aku nggak salah!"
Tanpa ragu, Jessie membakar kemeja merah muda miliknya. Lalu, dengan langkah terburu-buru, ia segera kembali masuk ke dalam rumah. Tanpa ia sadari, di ujung jalanan gelap, seseorang memperhatikan gerak-geriknya.
*
*
*
kembali kasih Kaka...🥰🥰
w a d uuuuuuhhhhh Bellaaaaa....
jadi inspirasi kalau di dunia nyata besok ada yg jahat² lagi mulutnya, siapkan jarum bius😅🤣😂.
tapi sayangku aku takut jarum suntik😅