Fitri terpaksa bersedia ikut tuan Tama sebagai jaminan hutang kedua orang tuanya yang tak mampu mwmbayar 100 juta. Dia rela meski bandit tua itu membawanya ke kota asalkan kedua orang tuanya terbebas dari jeratan hutang, dan bahkan pak Hasan di berikan uang lebih dari nominal hutang yang di pinjam, jika mereka bersedia menyerahkan Fitri kepada sang tuan tanah, si bandit tua yang beristri tiga. apakah Fitri di bawa ke kota untuk di jadikan istri yang ke 4 atau justru ada motif lain yang di inginkan oleh tuan Tama? yuk kepoin...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arish_girl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua tahun Silam
Arumi datang ke kemar Devan, wanita tua itu berniat ingin mengecek kondisi sang cucu.
"Devan, cucu nenek!" katanya begitu melihat Devan di atas kursi roda sedang memegang sebuah buku. "apa kabar, nak? bagaimana keadaanmu?" tanyanya.
"nenek, nenek di sini?" tanya Devan.
"iya, sayang. Kamu kelihatan bersih sekali. Sudah mandi?" Arumi memperhatikan kondisi cucunya.
"ini gara gara gadis konyol itu, nek. Nenek kan yang minta dia buat Devan?"
Arumi tersenyum penuh arti menatap cucunya. "nenek sangat menyukai cara kerjanya. Kau jauh lebih baik jika bersamanya."
"baik apanya, nek. Yang ada dia itu suka main paksa. Kemaren dia hampir buat Devan mati kedinginan di kamar mandi." gerutu Devan, mengadu bagaimana cara Fitri memperlakukan dirinya kemarin.
"tidak apa, nenek suka dia maksa kamu. Karena dengan cara seperti itu, maka kamu tidak akan gonta ganti perawat terus. Jarang ada orang yang mau mengurusmu karena sikapmu yang arogant. Tapi dia, sepertinya dia berani melawan kamu." Arumi terkekeh mendengar cerita cucunya.
"tapi Devan tak suka, nek?" keluh Devan.
"Dengarkan nenek, ya sayang. Kau adalah satu satunya pewaris di keluarga Wiratama. Jadi kau harus sembuh. Kau adalah harapan keluarga kita. Kau harus bersemangat, kau tidak boleh lemah."
Devan tertunduk, ada sebuah rasa yang takut ia ungkapkan pada sang nenek. Rasa bersalah yang sering orang lain tuding kepadanya karena di anggap telah menjadi penyebab kematian dari Surya Wiratama, putra satu satunya Wiratama. "tidak, nek. Devan memang pantas begini. Ini adalah hukuman untuk Devan karena menjadi penyebab dari papa dan mama meninggal dunia.“ sahutnya dengan linangan airmata.
"nak, itu adalah musibah. Kamu tidak bersalah. Dan itu juga bukan karena kamu. Semua sudah takdir dari Tuhan. Ingatlah, nak. Rejeki, Jodoh dan Maut, itu semua hanya Tuhan yang tau. Itu semua menjadi rahasia-Nya. Jadi berhentilah kamu menyalahkan dirimu sendiri." Arumi duduk berjongkok di samping Devan, tangannya menggenggam erat tangan Devan, cucunya.
***flashback on***
2 tahun silam, sewaktu Devan masih berumur 19 tahun, Saat merayakan kelulusan sekolah, Devan terlibat perkelahian siswa di sekolahnya. Dia yang saat itu masih labil, sangat sensitif dan arogansi. Harta dan Kekayaan orang tua selalu menjadi kebanggaan bagi Devan, sehingga ia suka bersikap yang semena mena terhadap temannya. Dan, di situlah perkelahian terjadi. Devan di bawa ke kantor polisi karena telah melakukan kekerasan pada temannya.
"pak polisi, sudah saya katakan, saya tidak bersalah. Dia yang memulai duluan. Dia yang menghina saya dan ngatain saya anak manja. Ya jangan salahkan saya lah, jika saya memukulnya. Punya mulut itu di jaga, jangan sembarangan menghina orang." ketus Devan sembari menunjuk ke arah temannya yang menjadi korban pukulannya.
"tidak, pak polisi. Dia yang mulai. Dia yang suka bikin ulah di kelas. Saya hanya memberinya peringatan agar tidak buat keributan di kelas, tapi dia tak Terima dan malah memukul saya." kata Temannya itu.
"Diam kamu. Jangan membalikkan fakta. lo yang mulai duluan!" bentak Devan.
"Lo yang duluan, lo!" sanggah temannya Devan.
"cukup! hentikan! Jangan buat keributan di sini. Kalian akan di berikan peringatan! Sebentar lagi kedua orang tua kalian akan datang. Bersiaplah! Kalian akan mendapatkan hukuman dari orang tua kalian, sekaligus denda." teriak Polisi itu, memecah kericuhan yang di buat oleh Devan dan temannya. "Kelulusan sekolah bukannya di buat perpisahan yang baik, ini malah berkelahi." keluh polisi itu.
Tak lama setelah itu, kedua orang tua dari dua anak itupun datang. Pak polisi itu memberikan wanti wanti dan denda kepada kedua orang tua masing-masing, kemudian mereka berdua di perbolehkan pulang.
"Devan, sampai kapan kamu akan berbuat ulah seperti ini terus, nak. Kenakalan kamu benar-benar di luar batas. Kau sudah membuat papa malu." pekik Arya sewaktu mereka sudah berada di dalam mobil. Raut wajah Arya terlihat begitu kusut, Ia yang waktu itu tengah sibuk bekerja di kantor mendapatkan telepon dari kepolisian untuk menjemput Devan yang tercatat telah membuat ulah.
"mas, sudahlah! Jangan di ributkan lagi. Kita bicarakan ini di rumah saja." Sinta menolak sang suami yang menceramahi putra mereka di dalam mobil.
"Sinta, ini semua gara gara kamu yang terlalu memanjakan dia. Itu akibatnya kamu selalu menuruti apa yang dia inginkan, dan kamu selalu membela dia di saat dia melakukan kesalahan. Akhirnya kenakalan nya jadi tak terkendali." sungut Aryan kesal. Rasa lelah seakan menambah bumbu pada kondisi kemarahan yang membuncah di kepalanya. Arya yang sebelumnya tak pernah membentak dan berkata nada tinggi kepada istrinya kini ia melewati batas kesabaran itu, sehingga membuat Sinta terpancing ikut marah.
"Kok malah jadi aku yang salah. Mas, sudahlah! Jangan di perbesar lagi. Jangan buat aku ikutan kesal." Sinta jadi uring uringan saat suaminya malah menyalahkan dirinya.
"Lalu, aku harus menyalahkan siapa? Memang buktinya Devan jadi begini karena didikan darimu yang selalu memanjakannya. Seharusnya Devan itu menjadi anak yang bertanggung jawab, dia kan sudah besar. Dan sebentar lagi dia akan kuliah. Tapi, lihatlah. Malah buat ulah." Arya kesal. Matanya memerah. Pandangannya lurus ke depan. Tangannya menarik pedal dengan kuat. Pria itu melampiaskan kekesalan dan kemarahannya dengan mengendarai mobil dengan sekencang kencangnya, kecepatan mobil di atas rata rata.
"Maafin Devan, pa, ma. Devan janji tak akan nakal lagi. Papa dan mama jangan lagi bertengkar." Devan menyahut dari kursi belakang.
"anak tak berguna, bisanya hanya merepotkan orang tua. Taunya hanya bikin malu saja." pekik Arya.
"cukup, mas. Jangan bicara seperti itu. aku tau Devan bersalah, tapi tak seharusnya kita sebagai orang tua menasehati anak kita dengan kata kata kasar seperti itu." Sinta tak Terima.
"Memang kenyataannya begitu. Dia tak berguna, bukannya bikin orang tua bangga malah bikin malu." Amarah Arya membuncah, hingga tanpa sadar, ia telah menaikkan kecepatan mobilnya. Sebuah Truk di pertigaan jalan tiba-tiba melintas, membuat Arya tak bisa mengendalikan mobilnya dengan cepat. Posisi yang terlalu dekat membuat rem yang ia injak tak bisa mengendalikan mobil.
"mas Awas....!!" Pekik Sinta saat menyadari mobil mereka melaju menuju truk tronton yang ada dii depannya.
Dan..... Brakk....
Mobil itupun menghantam kuat bagian tengah truk tronton, sehingga bagian depan mobil yang di bawa Arya terjepit ke bawah truk besar itu. Kecelakaan maut pun tak bisa terhindarkan. Aryan dan istrinya tewas seketika di tempat sementara Devan, yang duduk di bagian belakang terjepit. Tapi, Devan bisa di selamatkan hanya saja di kedua kakinya tidak bisa di gunakan. Devan mengalami kelumpuhan.
Sejak kejadian itu, Devan mengutuk dirinya sendiri karena menjadi penyebab tewasnya kedua orang tuanya. Devan yang sebelumnya adalah anak yang aktif, kini dia menjadi pemurung. Devan lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar. Hanya kursi roda yang menjad teman sejatinya, dan buku buku yang selalu menemani hari harinya. Selain itu pula, Devan tak memiliki semangat hidup. Bahkan Devan jarang mandi. Ia hanya duduk di atas kursi roda sambil menatap jalanan dari atas balkon kamarnya.
***flashback off***
"Devan, jangan kau siksa dirimu dengan perasaan bersalah itu. Kamu harus bangkit, buat kedua orang tua kamu bangga kepadamu, nak." kata Arumi.
Tanpa di sadari, perbincangan antara nenek dan cucunya itu terdengar oleh Fitri yang berada di ambang pintu. Dengan langkah gontai, gadis itu pun mendekati kedua majikannya itu.
"apa yang dikatakan nyonya Arumi itu benar. Tuan Devan harus buktikan pada kedua orang tua tuan. Karena mereka di sana pasti akan senang dan bahagia saat melihat putra mereka sukses."
Arumi dan Devan sama sama menoleh.
"lu nguping pembicaraan kami, ya?" Devan bersungut-sungut.