NovelToon NovelToon
Alone Together

Alone Together

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horror Thriller-Horror / Teen School/College / Romansa
Popularitas:318
Nilai: 5
Nama Author: Mara Rainey

Tujuh murid Seoryeong Academy terpaksa menjalani detention di hari libur setelah membuat onar di sekolah. Park Jiha, si cewek populer yang semua orang iri. Kim Taera, cewek beprestasi yang sempat jadi primadona namun berakhir difitnah dan dikucilkan. Jeon Junseok, murid bandel kesayangan Guru BK. Kim Haekyung, atlet kebanggaan yang selalu terlihat ceria. Min Yoohan, tukang tidur yang nyaris tidak pernah peduli. Serta Kim Namgil & Park Sojin, Ketua Kelas dan murid teladan yang diam-diam suka bolos demi mojok (pacaran).

Mereka mengira hanya perlu duduk diam beberapa jam, menunggu hukuman selesai. Tapi semua berubah saat seseorang mengunci mereka di gedung sekolah yang sepi.

Pintu dan jendela tak bisa dibuka. Cahaya mati. Telepon tak berfungsi. Dan kemudian… sesuatu mulai mengawasi mereka dari bayang-bayang. Tujuh bocah berisik terpaksa bekerja sama mencari jalan keluar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mara Rainey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 5 : I'm The Craziest Friend You've Ever Had

"Anak-anak, mohon perhatian sebentar."

Tujuh bocah ternganga ketika melihat Dongwon ssaem datang memeluk kotak kardus di tangannya.

"Ponsel kalian? Keluarkan! Sini semua!" perintahnya, berdiri tegak dengan aura penuh kuasa, seperti penagih utang yang tidak bisa ditawar.

Sejak kapan kotak kardus itu ada?!

Dengan tidak sabar, ia mengetuk-ngetukkan jari di tepi kardus. "Ayo, cepat! Pakai ponsel di rumah kalian saja. Gara-gara pintu sialan itu tiba-tiba rusak, aku tidak bisa mengawasi kalian dengan baik. Ingat, kalian sedang menjalani hukuman, bukan belajar kelompok! Tidak ada alasan untuk pakai teknologi di sini. Lagipula, delapan jam tanpa gadget tidak akan membuat dunia kiamat. Percayalah, dalam delapan jam, dunia masih tetap sama!"

Jiha merinding. Entah karena suaranya atau tatapannya yang terlalu seram.

Dengan tidak rela, Jiha mengeluarkan ponsel, dicemplungkan ke kotak. Pasrah sajalah.

Dongwon ssaem berpindah ke korban selanjutnya. Yoohan juga berat hati berpisah dengan ponselnya.

"Kalian ini kenapa lebay sekali sih?" Dongwon ssaem ngomel sambil menyita ponsel Haekyung dan Namgil. "Apa-apa itu jangan serba didramatisir! Semua barang-barang ini akan saya kembalikan nanti."

Bibir bawah Taera maju lima senti waktu menyetor ponselnya.

Begitu tiba giliran Sojin, ekspresi Dongwon ssaem berubah agak lunak sedikit. "Sojin, maaf ya. Saya tidak mau kamu menjadi contoh yang buruk bagi teman-temanmu."

Sojin menghela napas pasrah. Susah jadi murid teladan. Satu kali hukuman detensi, Sojin yakin hidupnya akan berubah dimulai dari sekarang.

YANG TERAKHIR... Dongwon ssaem melangkah dengan gerakan waspada, seolah dia bersiap masuk ke kandang raja rimba. Jeon Junseok effect menyebabkan sesak napas, pusing kepala, dan kejang-kejang. Mode macan buas Dongwon aktif.

Junseok menyembunyikan senyum dibalik bibir yang terkatup rapat, otaknya sibuk mengarang rencana.

"Ponselmu, Jeon." Dongwon ssaem mengguncang-guncang kardus di tangannya. Bunyi benturan ponsel bertemu dengan ponsel membuat Jiha ingin menangis meraung-raung.

Ponsel kesayangan diguncang-guncang! Bintik-bintik berlian di cassing mahal Jiha bisa rontok! Atau lebih parah, rontok dan dibuang Dongwon ssaem ke tong sampah dikira berlian tempelan biasa.

"Pak... maaf ponsel saya jangan di-"

"Jangan bilang kau tidak bawa!" Dongwon ssaem meletakkan kardus di meja Junseok, tepat di depannya. "Ponselmu. Masukkan ke situ. Sekarang. Kuhitung sampai tiga."

"Atau apa?" tantang Junseok.

"Berdiri!" perintah Dongwon ssaem. "Biar kugeledah!"

Junseok melotot terkejut sambil memeluk diri sendiri, persis perawan yang diminta melucuti pakaiannya, lalu dengan intonasi drama dia berkata. "Oppa kejam ih! Aku benar-benar tidak menyangka!"

"Jeon. Aku sudah muak denganmu. Berdiri sekarang supaya ini cepat selesai."

Jiha menoleh, melempar pelototan "Do it" ke Junseok. Ayolah! Banyak bacot!

Sesuatu terjadi. Keajaiban dimana Junseok mendengarkan dan mematuhi seseorang. Sehari-hari dia seperti kelinci yang senang melompat-lompat kesana kemari, membuat para pemburunya kalang kabut kesulitan berusaha mengejar dan menangkapnya. Namun, kali ini si kelinci pemberontak itu takluk, melompat-lompat mendekati kaki satu orang...

Sambil cemberut, Junseok merogoh ponselnya dari saku, lalu mencemplungkannya ke dalam kardus.

"Nah, gitu kek daritadi." Dongwon ssaem balik badan hendak kembali ke sarangnya lagi, membawa pergi ponsel-ponsel milik tujuh bocah itu, ketika samar-samar dia mendengar suara laknat bergumam. "Eat my..."

"Apa?" Dongwon ssaem berbalik cepat. Radar galaknya aktif. "Kau bilang apa barusan?"

Junseok memasang ekspresi congkak. "Kubilang... eat my..."

Pelototan Jiha berusaha menghentikan Junseok. Shut up! Shut up! Shut up!

Junseok si kepala batu justru sengaja mengeja dengan amat lambat. "Eaaaat... my... shooooorts..."

Dongwon ssaem menunjuknya tajam. "Baiklah. Sampai ketemu hari minggu!"

"Astaganaga! Terima kasih! Bapak baik banget deh!" Junseok berseru dengan nada gembira penuh sarkasme.

"Sampai ketemu hari minggu di minggu depannya lagi!" tambah Dongwon ssaem.

"Siapa takut! Lagian, kalender saya kosong setiap hari Minggu!" Junseok malah makin menyulut api di kawah gunung berapi.

Pfrttt. Jiha antara miris dan ingin ketawa.

"Bagus! Karena mulai bulan ini semua hari minggu di kalendermu akan terisi penuh!" ancam Dongwon ssaem. "Masih mau tambah? Silakan ngoceh terus! Dibandingkan hidup di penjara, kau lebih baik mendekam di sini!"

Junseok melipat tangan di dada. Mulut terkunci rapat.

"Kau sudah puas, Jeon?"

"Belum," sahut Junseok dengan gaya songong minta ampun.

"Hukuman untukmu adalah membantu petugas kebersihan setiap hari sabtu dan minggu. Masih mau lagi? Jadi hari sabtu dan minggu di kalendermu bisa kau isi dengan kegiatan yang bermanfaat."

"Soooo?" Mata besar Junseok melotot semakin nyolot, penuh provokasi.

"DUA BULAN! Masih mau lagi?" bentak Dongwon ssaem, wajahnya semakin memerah menahan emosi.

"Yeeeesss?" Junseok menjawabnya dengan ekspresi sok imut, kepalanya sedikit dimiringkan untuk efek dramatis.

"OKE!" Dongwon ssaem mengusap wajah, nyaris putus asa sendiri. "Satu bulan lagi! Selamat, Bung! Kau mendapatkannya lagi! Sekarang bagaimana perasaanmu? Masih mau tambah? Mau sekalian setahun?!"

Jiha melotot tajam, lalu berbisik penuh ancaman. "Jeon, are you nuts?! Stop it! Hentikan sekarang juga!"

"Kau sudah menyerah?" tanya Dongwon ssaem.

"Saya adalah orang yang pantang menyerah," ucap Junseok, bikin semua orang di ruangan itu ramai-ramai jengkel.

"Oh, bagus! Kau dapat satu bulan lagi!"

"You really think I give a shit?"

"Satu bulan lagi!" tandas Dongwon ssaem tanpa ampun. "Kau masih mau?"

Junseok mencolek-colek pundak Jiha. "Noona, tadi aku sudah dapat berapa?"

"Bodo amat!" Jiha ogah memalingkan kepala. "Hitung saja sendiri!"

"Lima bulan," jawab Sojin. "Sudah kuhitung baik-baik di kepalaku... totalnya lima."

Kelima jari-jari Dongwon ssaem mejeng di depan wajah Junseok. "Lima bulan. Ingat? You are mine, Jeon! For five months, young man! Five! I got you!" Dongwon ssaem meraih kardus dari meja dan bersiap pergi.

Bukannya terlihat menyesal, Junseok malah memasang ekspresi santai. "Aku sangat senang dan merasa terhormat."

Dongwon ssaem menatapnya lama, lalu menggeleng. "Kau mengatakan itu di hadapan senior-seniormu agar terlihat keren. Kau ingin membuat mereka percaya betapa hebatnya kau. Tak tergoyahkan! Berani melawan kami para guru, orang-orang dewasa yang kau anggap musuh bebuyutan. Kau pikir aku idiot? Cobalah jadi lebih berguna untuk dirimu sendiri, Jeon. Pakai waktumu untuk menghargai orang lain. Daripada berusaha setengah mati untuk membuat mereka terkesan. Kau tidak keren! Kau itu payah!"

Straight to the heart, beybeh! Straight to the heart!

Junseok bergeming.

"Coba... pakai sedikit nalarmu, mungkin setelah itu kau bisa berubah jadi lebih baik."

Junseok menunduk memandangi sepatunya. Tidak ada seorang pun yang berdiri untuk melindunginya sekarang. Jiha memilih menjadi pendengar. Dia berada di pihak Dongwon ssaem kali ini.

Park Jiha galau, di satu sisi ia merasa kasihan. Cowok seperti Junseok tidak mungkin sejak lahir langsung bajingan dan urakan seperti itu.

"Pelajaran untuk kalian semua yang ingin diterima oleh kelompok mayoritas dengan jalan keliru. Itulah mengapa saya benci sistem sosial yang kalian bentuk. Nah, jika kalian bosan, kalian boleh membantu Haerin ssaem menyusun buku-buku yang baru datang kemarin. Itu masih terbungkus rapi di dalam dos-dos di gudang penyimpanan. Pintunya sengaja tidak saya kunci."

Setelah menyampaikan pengumuman hukuman itu, Dongwon ssaem berbalik dan berjalan keluar, meninggalkan mereka dalam kebisuan.

Wow... tidak dikunci? Berarti mereka diundang ke sini bukan hanya untuk duduk mati gaya, tapi juga dipersiapkan menjadi petugas tata letak buku perpustakaan.

Tak apalah. Daripada cuma duduk-duduk.

"Dia sok tahu," gumam Junseok kurang pelan, jadi masih tertangkap telinga tajam Jiha.

Jiha mengernyit, menoleh cepat. "Hah? Sok tahu dari mana? Guru-guru sudah mengamati perilaku kita sejak pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini. Well, I'm sorry, mister. Kau terlalu menonjol di mata mereka."

"Aku tidak berusaha menarik perhatian. Aku cuma terlalu gampang terbawa emosi." Junseok mendadak curhat. Yoohan yang letak mejanya tepat di sebelah Jiha otomatis menyerap fakta menyedihkan itu. Dia hanya terlalu malas ikut nimbrung, buang-buang tenaga.

"Kalau begitu kontrol emosimu!" decak Jiha. "Tidak mudah memang jika pada dasarnya kau tipe emosian. Tapi sebaiknya belajar. Atau semua orang akan mengingatmu sebagai attention seeker. Seumur hidup! Percayalah, saat kau agak lebih tua nanti, bukan kenangan seperti itu yang kau inginkan agar diingat orang-orang. Itu jauh lebih buruk daripada berpura-pura sok misterius dan jual mahal."

Junseok bertopang dagu, matanya berbinar usil saat memandangi punggung kecil Jiha yang sebagian besar tertutup rambut lebatnya.

"Kayak Noona ya. Untung Noona cantik banget."

Tanpa bisa ditahan, seulas senyum muncul di wajah Jiha.

Astaga! Baru dipuji sedikit sudah melayang! Jiha buru-buru menggeleng. Tidak! Tidak boleh! Jangan jadi cewek lemah!

"Noona, kenapa belum punya pacar?"

Jiha menatapnya sekilas sebelum menjawab. "Kurasa kau sudah tahu jawabannya. Aku terkenal selektif. Padahal itu keliru. Cowok-cowok itu saja yang nggak berani maju, nggak punya nyali."

"Ah masa?"

"Yes."

"Tawaranku yang tadi masih berlaku, lho." Junseok menyeringai.

Ya ampun... dia serius? Eh? Dia serius?! Jiha kurang yakin. Ah, cuek dulu aja.

Tapi... tetap saja, ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. Haruskah dia menyindir langsung?

Akhirnya, Jiha tak bisa menahan diri. "Kenapa kau tiba-tiba mengubah keputusanmu? Plin-plan banget sih! Tadi kau kelihatan benci setengah mati melihatku."

Junseok menyandarkan kepalanya ke kursi, menatap langit-langit sejenak sebelum menjawab. "Aku nggak pernah membencimu, Noona. Justru aku penasaran. Sialnya, banyak banget yang mengincarmu. Entah kenapa aku jadi emosi… entah pada mereka atau pada Noona. Aku sampai sekarang masih bingung. Menurutmu?"

Jiha langsung gelagapan, wajahnya memerah. "Aku nggak tahu! Jangan tanya aku!"

Junseok tertawa, menikmati reaksi malu-malu si kucing imut di depannya.

Sementara itu, Taera yang melihat interaksi mereka malah makin antusias, menonton dengan ekspresi penuh hiburan seolah-olah sedang menyaksikan drama favorit di laptop.

"Usaha bagus untuk mengisi jadwal kosong di kalendermu, Jeon Junseok," komentar Haekyung santai. "Mungkin kalian bisa kencan sambil menyapu dedaunan kering."

Junseok menoleh dengan senyum ramah penuh sarkasme. "Seonbae, aku nggak tanya pendapatmu, jadi maaf, bisa diam dulu?"

Haekyung terkekeh. "Jiha, dia cuma mau menghiasi kalendernya supaya nggak kosong-kosong amat."

Junseok langsung meliriknya dengan senyum menawan. "Seonbae belum pernah ditikam selagi jogging?"

Haekyung baru mau membalas, tapi Taera lebih dulu menginterupsi.

"Sssst!" Taera menempelkan jari telunjuk ke bibirnya. "Aku lagi nonton. Jangan berisik!"

Haekyung melongo. "Nonton apaan? Mending nonton ketampananku."

"Sssst!"

"Iya deh, iya!" Haekyung akhirnya menyerah, kembali menghadap ke depan dengan wajah gondok karena dikacangin gebetannya.

Namgil, yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. "Jeon, sebelum mendekati anak orang, sebaiknya perbaiki dulu sikapmu."

Sindiran itu sukses mengacak-acak mood dan meniup jauh-jauh atmosfer romantis yang baru saja terbentuk di perpustakaan.

Jiha menghela napas panjang. "Nggak ada ponsel, dikelilingi tembok buku… kita bisa apa?"

"Membaca buku?" sahut Taera santai.

"Really? Itu saran terbaikmu?" Jiha mendengus skeptis.

"Makanya, sebelum melempar puding ke muka orang lain, pikir baik-baik!" Taera masih agak dendam.

Jiha menghela napas, perutnya langsung bergemuruh mengingat perbuatannya tempo hari. "Aku nggak sengaja," ucapnya, sebelum menunjuk ke arah Junseok. "Tujuanku dia. Bukan kau."

Ekspresi Junseok langsung berubah. Rengutan di wajah Junseok bertakhta, menggantikan perasaan berbunga-bunga.

"Daripada saling tunjuk menyalahkan, kenapa tidak langsung ke intinya? Minta maaf." Haekyung berbicara mewakili Taera. "Kau melempar puding ke kepala orang lain."

"Aku nggak sengaja!" Jiha membantah cepat. "Sumpah! Aku benar-benar nggak sengaja!"

"Sengaja atau tidak, kau sudah mempermalukan Taera di depan orang banyak." Haekyung mencondongkan tubuh, benar-benar menusuk Jiha tepat di mata. "Kau dan teman-temanmu yang senang mempermalukan orang, begitu cara kerja kalian. Permalukan lalu tinggalkan."

Wajah Jiha mengeras, dipenuhi ekspresi tak terima. "Aku nggak seperti mereka!"

"Kau berteman dengan mereka!" Intonasi Haekyung meninggi. "Kau lebih peduli sama kukumu sendiri sementara orang lain diinjak-injak di depanmu!"

"Woah... woah... easy, bro." Junseok buru-buru memotong sebelum Haekyung benar-benar melahap Jiha hidup-hidup. Ia melirik ke arah Haekyung dan Taera bergantian, lalu mengangkat alis. "Apa kalian pacaran?"

Tebakan yang nyaris benar. Haekyung terdiam. Taera salah tingkah.

Junseok manggut-manggut sok tahu. "Pantas... Seonbae pasti sudah menggasak cewek ini..."

Haekyung bangkit dari kursi hendak menyebrang ke sana. Pokoknya dia sudah panas, tinjunya sudah terkepal. Namgil lebih sigap menghalangi. "Kalau kalian mau ribut-ribut di sini, bayangkan hukuman apa lagi yang kalian terima."

Haekyung mengatur napasnya, menatap Junseok lekat-lekat sebelum berkata dengan nada dingin, "Aku cuma ingin bocah ini menunjukkan sedikit rasa hormat."

Kemudian, dia melirik Jiha. "Oh iya, ngomong-ngomong, kalian berdua serasi sekali."

Junseok menaikkan alis dengan senyum santai. Jiha, di sisi lain, langsung merasa panas, luar dan dalam.

"Sama-sama dari geng penindas, serasi kalau menikah. Si bajingan dan si tuan putri. Selamat! Congratulation!" lanjut Haekyung, nadanya sarkastik. Ia menunjuk Junseok. "Penindas..." lalu beralih ke Jiha. "...penindas. Kalian memang berjodoh."

Junseok menganggap itu sebagai pujian. Jiha? Tidak sama sekali.

Aku nggak pernah menindas siapa pun!

Beberapa perasaan datang sekaligus merasuki Taera, campur aduk. Perasaan benci dan amarah tumbuh. Selama ini dia diperlakukan tidak adil. Secuil kata "maafkan teman-temanku" terlalu berat rupanya untuk diucapkan bibir cantik Park Jiha. Gadis yang tidak pernah merasakan kesulitan seumur hidupnya.

"Kenapa kau bisa dihukum?" Malah ini yang keluar dari bibir Jiha.

Taera mendengus. Sejak kapan dia peduli. "Kenapa kau bertanya?"

"Berteman dengan seorang pengedar nggak otomatis bikin seseorang jadi pengedar juga," Junseok menyela, nada suaranya lebih serius dari biasanya. "Begitu juga dengan berteman dengan seorang penindas."

Terserahlah!

Haekyung duduk kembali, malas melanjutkan.

Pintu perpustakaan terbuka, muncul Dongwon ssaem membanting setumpuk kertas di meja paling depan, mejanya Jiha, membuat gadis itu melotot judes.

"Ini daftar buku-buku baru untuk perpustakaan," kata Dongwon ssaem. "Dos-dos yang ada di sana..." Dia menunjuk ke gudang penyimpanan yang letaknya di sudut, tempat kardus-kardus besar ditumpuk "...berisi buku-buku yang harus kalian susun sesuai abjad berdasarkan daftar ini. Kalau sudah selesai letakkan yang rapi pada meja kerja pustakawan. Kerjakan sampai selesai dan kalian bisa pulang lebih cepat. Jika tidak selesai, saya akan menahan kalian di sini sampai malam."

.

.

.

Gudang penyimpanan itu terang benderang, begitu terang, mereka terpaksa harus berkedip berkali-kali sambil menunggu mata mereka untuk terbiasa dengan sorotan cahaya putih yang menyebar dari lampu halogen besar di langit-langit.

Gudang ini baunya aneh. Apek... berdebu... dan aneh. Jangan lupakan fakta yang itu. Aneh.

Mana udaranya sangat panas. Perubahan suhu yang mencekik. Dari ruangan full AC bertemu gudang ini. Pengap! Tanpa aliran udara sama sekali.

Tatapan Jiha menjelajahi ruangan. "Aku benci tempat ini."

"Jangan pernah diucapkan di mulut kalau tidak suka." Yoohan memperingatkan.

Jiha mengernyit. "Kenapa?"

Cowok itu diam saja. Takut membuat Jiha paranoid.

Dibantu Yoohan, Jiha membongkar kardus-kardus buku. Yoohan naik ke kursi dan menurunkan kardus dari tumpukan paling atas.

Junseok mendatangi gudang penyimpanan buku dan berkas-berkas lama, berniat mengintip sedang apa si mungil. Namun begitu melihat suasana suram gudang ini, dia berhenti di pintu. Udara berbau menyengat menyapa indera penciuman.

Bau bangkai, pikir Junseok. Dia mengedarkan pandangan. Pelan-pelan matanya terbiasa dengan cahaya terang benderang. Obyek-obyek di ruangan itu mulai menampakkan bentuknya. Pengap sekali di dalam sini. Junseok terbatuk-batuk saat sikunya menyenggol sesuatu dan debu dari benda itu berterbangan.

Junseok tiba-tiba bersin-bersin sambil mengibas-ngibaskan tangan di depan hidungnya. "Banyak debu! Bau sekali. Bau sampah dan tikus mati!"

Jiha mengernyit. Ada yang janggal dengan ucapan itu. Sejak tadi memang ada bau pengap yang menusuk, khas ruangan lama yang jarang dibuka. Tapi sejauh yang dia cium, tidak ada aroma sampah, apalagi bau tikus mati.

"Jangan berisik!" ketus Yoohan. "Kalau nggak mau membantu, pergi sana!"

Sejak kapan Junseok patuh terhadap larangan? Baginya, peraturan ada untuk dilanggar.

Alih-alih turun tangan, dia justru bersandar santai di pintu, tangannya bersedekap, mengamati Jiha mengeluarkan buku hardcover satu per satu dari dalam kardus.

"Yoohan, kau mencium bau busuk?" Jiha bertanya pelan, sedikit waspada.

Cowok itu menggeleng. "Bau busuk? Maksudmu bau cat tembok yang sudah usang? Aku mencium bau itu."

Jiha melirik Junseok yang masih bersandar di pintu. Senyum sok misteriusnya malah membuatnya terlihat seperti ahjussi mesum yang baru bangun tidur.

"Ada apa? Kenapa bisik-bisik?" Junseok menatap mereka penuh minat.

Jiha langsung mendengus kesal melihat tampangnya yang menyebalkan. "Aku akan melaporkanmu ke Dongwon ssaem kalau kau nggak mau bantu kami."

Junseok mengangkat bahu santai. "Aku mau bantu kok."

Jiha sempat terkejut sebelum mendengar kelanjutannya.

"Asal kau beritahu dulu kenapa tadi pagi kau datang jalan kaki?"

Jiha terperangah. "Kau memata-mataiku?!"

"Kau kebanyakan nonton Law & Order, manis." Junseok mendengus geli. "Aku kebetulan melihatmu datang sendiri. Bukan diantar mobil mentereng seperti kemarin-kemarin. Dimana sopir klimis berpakaian rapi yang sering mengantarmu?"

Jiha tidak menjawab, sibuk mencocokkan judul-judul buku, pura-pura tidak mendengar.

"Ayolah!" Junseok maju tiga langkah. "Sesulit itu buat mengakui kau tidak sempurna?"

Jiha meradang mendengar ocehannya, sengaja dia banting kamus yang luar biasa berat ke lantai. Nyaris meremukkan jari-jari Yoohan yang kebetulan berada di sana. Untung gerakan refleks Yoohan bagus. Kalau tidak, bisa-bisa tangannya gepeng.

Junseok tertawa, membuat gadis itu semakin jengkel. "Jangan galak begitu. Kau bikin orang-orang semakin penasaran."

"Aku nggak tuh," gumam Yoohan datar, sama sekali tidak tertarik dengan drama yang terjadi di depannya.

"Jiha-sshi...?" Nada Junseok kedengaran membujuk. "Halooo? Kau dengar aku?"

Jiha sudah bertekad untuk tidak membuka mulut. Sekali tidak, tetap tidak!

Dia duduk di lantai sambil cemberut, membelakangi Junseok dan mulai menyortir buku-buku. Yoohan cuma bisa menggeleng tanpa berkata-kata. Malas ikut-ikutan.

Merasa gerah dicuekin, Junseok akhirnya bergerak mendekati Jiha. Ia duduk di belakang gadis itu, mengambil satu buku dari kardus yang sudah dibuka Yoohan, lalu mengulurkannya ke tangan Jiha. "Aku yang bongkar kardus, kau yang mendata, Yoohan hyung yang susun di meja," suaranya terlalu dekat dengan telinga Jiha, membuat gadis itu berjengit refleks. "Gimana?"

Jiha menatap buku yang diulurkan Junseok selama beberapa detik tanpa bereaksi, lalu akhirnya menghela napas dan mengambilnya.

Sumpah, aku nggak ngerti cowok ini.

Beberapa detik yang lalu, saat berdiri di pintu, dia mirip bajingan tengil. Sekarang? Seketika berubah jadi cowok paling pengertian. Maunya apa, sih? Heran.

Di luar sana, langit semakin gelap. Hujan turun lagi, membasahi bumi dengan ritme yang monoton. Sementara itu, tiga remaja di dalam ruangan terus bekerja, sibuk mengeluarkan buku-buku dari dalam kardus tanpa banyak bicara.

Namun, tiba-tiba—

Gedebuk!

Suara keras terdengar dari dalam ruangan.

Ketiganya berhenti. Mata mereka langsung saling bertemu, lalu bergerak mengawasi sekeliling.

"Bunyi apa itu tadi?" bisik Jiha, nyaris tak terdengar.

Hening.

Lalu, tanpa peringatan, buku tebal bersampul hijau tua tergelincir dari puncak rak terdekat dan jatuh ke lantai dengan suara berdebum keras.

Junseok menelan ludah. Cuma buku. Pasti cuma buku. Pergeseran rak atau sesuatu yang logis lainnya. Bukan aktivitas supernatural. Tidak ada yang aneh. Tidak ada yang gaib. Ini hanya kejadian biasa.

Dia terus mengulang sugesti itu di kepalanya, mencoba mengusir kemungkinan lain yang lebih menyeramkan.

Sementara itu, Yoohan yang sejak tadi duduk diam, akhirnya bangkit. Tatapannya berpindah ke dua orang di depannya yang mendadak membeku.

Tak ada yang bergerak.

Akhirnya, dengan santai, Yoohan melangkah mendekati buku hijau yang tergeletak di lantai. Ia memungutnya, meneliti sampulnya sejenak.

"Buku ini jatuh sendiri dari atas sana. Hmmm… biar kukembalikan."

Tanpa banyak pikir, Yoohan menjejalkan buku itu kembali ke rak—tanpa repot-repot melihat judulnya.

Berlagak tidak terjadi apa-apa, ia kembali ke tempatnya dan duduk bersila di lantai.

Tak lama, mereka mendengar bunyi gedebuk lagi.

Junseok sudah tahu bahkan sebelum menengok. Buku hijau sialan itu jatuh lagi. Hebatnya, dua orang itu hanya duduk dan tidak mengatakan apa-apa.

"Wuah," cetus Yoohan. "Itu buku yang sama yang tadi jatuh?"

Junseok tidak mungkin pura-pura tidak tahu. Mereka tidak bodoh.

Junseok mengangguk pelan.

"Baiklah," kata Jiha menghela napas dalam-dalam. "Apakah hanya perasaanku atau ini memang mengerikan?

"Bukan hanya perasaanmu, ini memang mengerikan." Yoohan blak-blakan mengaku.

Jeda yang menyusul kemudian terasa seperti jurang lebar yang menjerat Junseok di dasarnya. Ia berusaha mencari cara untuk keluar dari situasi ini, tapi otaknya terasa macet.

Yoohan bangkit, membungkuk untuk memungut buku yang tadi jatuh. "Sudahlah, mungkin buku ini kesepian karena nggak pernah dibaca. Ayo kita periksa dulu."

Yoohan meletakkan buku itu di pangkuannya. Jiha dan Junseok beringsut lebih dekat, penasaran melihatnya. Di bagian sampul, ada cap sekolah yang samar-samar mulai memudar. Yoohan menyusurkan jari-jari panjangnya pada huruf-huruf timbul yang sudah menua.

Saat lembar pertama dibuka, angka besar menyambut mereka.

"1960."

"Sembilan belas enam puluh," gumam Jiha.

"Sembilan belas enam puluh," Junseok latah mengulang. "Ini buku tahunan lama."

Yoohan mulai membalik halaman demi halaman, berisi foto hitam-putih para alumni. Masing-masing pas foto berbentuk persegi kecil, tersusun rapi dalam barisan.

"Lihat!" Jiha menunjuk salah satu foto. "Rambutnya digelung ke atas pakai gel pengeras."

"Jaman dulu kita bisa menyimpan pensil dalam gulungan rambut orang," seloroh Junseok. "Coba lihat kacamatanya, apa sih ini? Kacamata kucing? Kayak yang dipakai ibu-ibu di film kartun?"

"Cewek ini juga pakai!" Jiha tertawa menunjuk satu foto di bagian bawah halaman. "Menurut kalian, suatu hari nanti orang di masa depan yang lihat buku tahunan kita bakal tertawa karena dandanan kita kelihatan konyol?"

"Nggak mungkin," sergah Yoohan, membalik halaman berikutnya. "Orang bergaya paling aneh itu tahun lima puluhan dan enam puluhan. Juga tujuh puluhan. Dan sedikit di tahun delapan puluhan dan sembilan puluhan. Kita normal sekarang."

"Tapi orang-orang di tahun tujuh puluhan juga menganggap dandanan mereka lebih normal daripada yang di tahun enam puluhan," timpal Junseok.

Dan akhirnya, selama beberapa detik berikutnya, mereka bertiga sibuk menertawakan gaya rambut cewek-cewek dari zaman dulu.

"Lagi! Lagi!" Jiha bersemangat. "Aku masih ingin mengomentari rambut mereka."

"Kenapa semua cewek di sini rambutnya digulung?" komentar Junseok.

"Atau dikonde kayak sarang lebah," tambah Yoohan, terus membalik halaman. "Apa sih yang ada di otak mereka? Apakah cewek-cewek ini sengaja memasang kacamata kucing setiap pagi, menepuk-nepuk rambut sarang lebah mereka sampai rapi, lalu berpikir, ‘aduhai, aku cantik sekali’?"

Junseok tertawa sampai sakit perut. Padahal nggak selucu itu, tapi dia sukses tertawa lepas seolah-olah belum pernah tertawa sepanjang hidupnya.

"Bomi-aaah! Mana kacamatamu~" Jiha tiba-tiba meniru nada galak seorang ibu. "Jangan pernah lepas kacamata ini, paham? Pakai terus walaupun kau tidur! Pokoknya jangan pernah dilepas atau nggak ada pemuda rupawan yang mau ngajakmu kencan!"

Junseok tertawa sampai membungkuk 90 derajat. Tapi saat dia mengangkat pandangannya lagi—

Junseok membeku.

Ada seseorang berdiri di belakang Yoohan.

Bukan, bukan seseorang. Sosok yang menyerupai orang...

Wajah pucat mengintip dari atas bahu Yoohan, dengan sepasang mata gelap yang melotot lebar.

Tunggu dulu.

Satu detik yang lalu tidak ada siapa-siapa di sana. Detik berikutnya, ada.

Kejadiannya berlangsung dalam satu kejapan mata.

Junseok langsung hening, sunyi, tidak berani ketawa gila-gilaan seperti tadi. Walaupun Jiha dan Yoohan masih melanjutkan sepak terjangnya sebagai komentator fashion.

Junseok tidak mau menatap ke belakang punggung siapa-siapa. Pokoknya tidak mau!

"Ada apa?" tanya Jiha khawatir. "Kok tiba-tiba berhenti ketawa?"

Junseok membuka mulutnya untuk menjawab dengan jujur, sebelum dia menyadari itu suatu kesalahan. Bibirnya terkatup membentuk garis keras, dan yang keluar jawaban nyolot semacam ini menjawab singkat, "None of your goddamn fucking business!"

Alis Jiha berkerut dan bibirnya mengerut. "Kenapa kau harus selalu menjadi orang brengsek?"

Junseok segera menyesali perbuatannya, lebih menyesal lagi melihat cewek itu buru-buru keluar. Berpapasan dengan Haekyung di pintu.

Dak! Dak! Dak! Gedoran di pintu membuat Junseok menoleh kaget.

"Oi! Lelet! Malah ketawa-ketiwi! Mana buku-bukunya!?" tagih Haekyung tidak sabaran. "Kalau memang mau dibantu supaya cepat selesai ya bawa ke depan!"

.

.

.

Ternyata buku-bukunya mau disusun di perpustakaan pusat. Banyak lemari-lemari baru diantarkan kemarin sore, masih bau cat baru, belum bau debu. Karena tidak mungkin semuanya pergi ke sana, otomatis ada satu orang yang tinggal menjaga barang-barang di ruangan ini. Akhirnya tujuh orang itu melakukan suit gunting-batu-kertas. Apes, Sojin kalah melawan enam orang.

Di sinilah dia, ditinggalkan sendirian di dalam perpustakaan luas berisi lemari-lemari besar yang berdebu dan tumpukan buku-buku tua mencurigakan.

Belum ada sepuluh menit, Sojin berpaling. Sekilas tadi dia merasa ada yang berlari di antara celah-celah lemari.

Kali ini dia mendengar suara bisik-bisik.

Suara tawa cekikikan.

Kemudian suara bisik-bisik dan tawa cekikikan lain muncul di sudut belakang.

"Siapa di sana?" panggil Sojin.

Hening.

Dia membeku di tempat seolah-olah lumpuh. Tanpa sadar menahan napas. Udaranya tiba-tiba panas dan lembab. Bau apek cat tembok tua bercampur bau debu membuat kepalanya pusing.

Ditengah keheningan yang asing, dia tersentak kaget saat mendengar bunyi derit lemari kayu berayun terbuka.

Sekali lagi, dia mendengar suara bisikan, seseorang bergerak di belakangnya. Begitu dia menoleh, tidak ada siapa-siapa. Cuma tumpukan buku dan gulungan kertas.

Butuh beberapa detik bagi Sojin untuk menyadari apa yang membuat pintu lemari bergerak. Rupanya jendela pada dinding seberang telah dibiarkan terbuka beberapa inci. Hembusan angin melalui jendela pasti telah membuat lemari berayun terbuka. Ya, pasti begitu. Pasti gara-gara gesekan angin di permukaan gorden. Itu juga menjelaskan suara-suara lain yang dia dengar di dalam ruangan. Suara yang tadinya dia pikir suara bisik-bisik dan suara tawa manusia.

Siapa yang membiarkan jendela terbuka? Mungkin Dongwon ssaem.

Sojin tarik napas dalam-dalam dan membiarkannya keluar perlahan-lahan. Menunggu debaran jantungnya untuk kembali normal. Merasa sedikit bodoh, dia berjalan cepat ke jendela, berniat untuk menutupnya.

Gorden-gorden itu panjang dan tipis, berkibar di jendela membentuk sebuah gelembung yang melengkung seperti sayap. Ketika dia mendekat, gorden berhenti mengembang dan mendarat kembali ke tempat semula. Sojin menjulurkan sebelah tangan untuk menutup jendela.

"Lho?!" Dia tersentak kaget saat menyadari bahwa jendela itu tertutup rapat.

Bagaimana bisa gorden berkibar seperti itu dengan jendela tertutup? Sojin berdiri di sana untuk sementara waktu, memandangi kaca jendela dengan ekspresi tak percaya. Tidak mungkin angin. Jendela ini juga kelihatannya kedap udara.

Apa dia baru saja berhalusinasi membayangkan gorden-gorden itu bergerak?

Sojin sadar dia tidak cukup gila untuk berkhayal setinggi itu.

Bisik-bisik dan tawa cekikikan kembali terdengar dari balik lemari.

Sudah cukup! Habis sudah kesabarannya. Dia bergegas ke lemari dan membuka kedua pintunya lebar-lebar.

Bersih. Tak ada seorang pun di dalam sini.

.

.

Bersambung...

1
QueenRaa🌺
Keren banget ceritanya thorr✨️ Semangat up!!
Kalo berkenan boleh singgah ke "Pesan Masa Lalu" dan berikan ulasan di sana🤩
Mari saling mendukung🤗
Mara Rainey: siappp aku akan mampir. makasih juga lho udah berkenan mampir dan meninggalkan komentar serta vote. /Heart/
total 1 replies
QueenRaa🌺
satu kata untuk novel ini, SERU!
Rasanya kaya bener bener ada di sana dan ikut ngerasain apa yg tokoh tokohnya alami
Mara Rainey: Makasih bangett untuk reviewnya, aku akan berusaha lebih baik lagi dan lebih semangat lagi. senengg banget dikunjungin author favoritkuuu
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!