Jika ada yang bertanya apa yang membuatku menyesal dalam menjalankan rumah tangga? maka akan aku jawab, yaitu melakukan poligami atas dasar kemauan dari orang tua yang menginginkan cucu laki-laki. Hingga membuat istri dan anakku perlahan pergi dari kehidupanku. Andai saja aku tidak melakukan poligami, mungkin anak dan istriku masih bersamaku hingga maut memisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2 DOSA YANG DISEMBUNYIKAN
Sejak percakapan pagi itu, aku tahu ada sesuatu yang berubah dalam rumah tanggaku. Aisyah tidak lagi menjadi istri yang hangat seperti dulu, dan ibuku tetap bersikeras dengan keinginannya.
Hari itu, setelah pulang kerja, aku mampir ke rumah orang tuaku. Seperti yang sudah kuduga, begitu aku duduk di ruang tamu, ibuku langsung membicarakan topik yang sama.
“Reza, kamu sudah menjalan hubungan dengan Laras,kan?” tanyanya tanpa basa-basi.
Aku menghela napas berat. “Bu, ini belum saatnya…”
“Belum saatnya bagaimana?” Ibuku mengerutkan kening. “Kamu sendiri yang bilang kalau Aisyah sudah mengizinkan. Lalu, kenapa masih menunda? Atau jangan-jangan… kamu mulai ragu?”
Aku terdiam. Ragu? Ya, aku memang ragu. Sejak melihat perubahan Aisyah, aku mulai bertanya-tanya apakah keputusan ini benar.
“Kamu itu laki-laki, Reza. Jangan terlalu banyak pakai perasaan,” lanjut ibuku dengan nada tegas. “Orang tua mana yang tidak ingin cucu laki-laki? Ibu hanya ingin memastikan nama keluarga kita tetap ada. Apa itu salah? Lagi pula kamu sudah ada wanita lain kan? Jadi cepat menikahlah dengan Laras!"
Aku menekan pelipisku, merasa semakin tertekan. “Bu, tolong jangan terburu-buru untuk menikahi Laras, lagi pula aku sudah punya dua anak perempuan yang luar biasa. Kenapa harus laki-laki?”
Ibuku menatapku seolah aku baru saja mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal. “Karena kamu anak laki-laki satu-satunya di keluarga ini! Ibu dan Ayah ingin ada penerus. Apa kamu tidak kasihan melihat ayahmu yang selalu berharap?”
Aku diam. Ini bukan pertama kalinya aku mendengar alasan itu.
“Pokoknya, Ibu tidak mau tahu. Kamu harus segera menikah dengan Laras secepatnya,” lanjutnya. “Kalau kamu terus menunda, Ibu sendiri yang menikahkan kalian berdua di KUA!"
Aku tersentak. “Bu, jangan lakukan itu!”
“Lalu kapan? Ibu sudah cukup sabar menunggu!” Ibuku bersikeras.
Aku menghela napas panjang. “Beri aku waktu, Bu…”
Ibuku menatapku tajam. “Jangan terlalu lama. Aisyah sudah bukan masalah lagi. Dia sudah mengizinkan, artinya kamu bebas melangkah.”
Aku ingin membantah, ingin mengatakan bahwa Aisyah memang mengizinkan, tapi hatinya jelas sudah tidak ada untukku lagi. Tapi aku tahu, ibuku tidak akan peduli.
Bagi ibu, yang terpenting adalah nama keluarga. Bukan perasaan istriku, bukan keharmonisan rumah tanggaku.
Dan di saat itu, aku mulai bertanya-tanya… apakah aku benar-benar masih memiliki kendali atas hidupku sendiri?
...****************...
Aku duduk di dalam mobil, menatap kosong ke depan. Kata-kata ibuku masih terngiang di kepalaku—perintah untuk segera menikah lagi, untuk mendapatkan anak laki-laki.
Seharusnya aku merasa tertekan. Seharusnya aku bingung. Tapi yang ada justru perasaan lain.
Karena kenyataannya, aku sudah memiliki seseorang.
Wanita yang selama ini menjadi tempatku berbagi keluh kesah. Wanita yang selalu memberiku perhatian lebih ketika aku merasa Aisyah mulai menjauh. Wanita yang, sejujurnya, sudah lebih dulu ada sebelum ibu dan ayahku menuntutku berpoligami.
Namanya Laras.
Aku mengenalnya sejak beberapa bulan lalu melalui salah satu rekan bisnis. Awalnya, aku hanya menganggapnya sebagai teman bicara. Tapi entah bagaimana, aku mulai nyaman dengannya. Laras selalu bisa mengerti keluhanku, selalu menenangkanku saat aku merasa tertekan dengan sikap dingin Aisyah.
Tanpa kusadari, aku telah melangkah terlalu jauh.
Aku sudah melanggar kepercayaan Aisyah bahkan sebelum aku meminta izinnya.
Ketika ibu dan ayah menuntutku untuk menikah lagi, aku tidak perlu berpikir lama. Aku sudah memiliki pilihan, seseorang yang bisa memenuhi keinginan mereka. Seseorang yang tidak akan menolakku seperti Aisyah.
Aku tahu ini salah. Aku tahu, dalam hati kecilku, aku sudah mengkhianati Aisyah.
Tapi aku terus meyakinkan diri sendiri.
“Aisyah juga yang membuat jarak lebih dulu,” bisikku dalam hati. “Dia yang berubah lebih dulu… Aku hanya mencari tempat yang bisa menerimaku.”
Aku meraih ponsel dan mengetik pesan.
Reza: Laras, aku ingin bertemu.
Tak butuh waktu lama, jawabannya masuk.
Laras: Aku selalu ada untukmu, Mas. Katakan di mana, aku pasti datang.
Aku menarik napas panjang.
Mungkin, dengan Laras, aku bisa mendapatkan apa yang tidak lagi bisa kudapatkan dari Aisyah. Perhatian, kehangatan… dan tentu saja, anak laki-laki yang diinginkan keluargaku.
Aku menyalakan mesin mobil, melaju menuju pertemuan yang seharusnya tidak pernah terjadi jika aku masih setia pada pernikahanku.
Aku memilih sebuah kafe yang cukup tenang di sudut kota, tempat yang tidak terlalu mencolok tetapi nyaman untuk berbicara. Begitu aku masuk, Laras sudah ada di sana, duduk di sudut dengan secangkir kopi di depannya.
Dia tersenyum saat melihatku datang. Senyum yang selalu terasa menenangkan, berbeda dengan tatapan dingin yang kini sering kudapatkan dari Aisyah.
Aku duduk di depannya, menghela napas panjang sebelum berbicara.
“Ada apa, Mas? Sepertinya wajahmu lelah sekali,” tanya Laras lembut, menatapku dengan penuh perhatian.
Aku menggenggam cangkir kopi yang baru saja diantarkan oleh pelayan, mencoba menenangkan pikiranku. “Ibu semakin menekan. Dia ingin aku segera menikah lagi.”
Laras menatapku tanpa ekspresi terkejut. “Dan itu artinya…?”
Aku menatapnya dalam-dalam. “Aku ingin kamu yang menjadi istri keduaku.”
Ada sedikit kilatan di matanya, seolah dia sudah menduga ini akan terjadi. Dia meletakkan sendok kecilnya ke atas tatakan cangkir, lalu bersandar di kursinya.
“Aisyah sudah mengizinkan?” tanyanya hati-hati.
Aku mengangguk. “Ya… secara teknis, dia mengizinkan. Tapi sejak saat itu, dia berubah. Dia jadi lebih dingin, lebih jauh.”
Laras tersenyum tipis. “Wajar, Mas. Perempuan mana yang tidak sakit hati kalau suaminya ingin menikah lagi? Tapi… kalau dia sudah mengizinkan, itu artinya Mas bebas melangkah.”
Aku menatapnya. “Kamu tidak keberatan, kan?”
Laras menyesap kopinya sebelum menjawab, “Mas tahu jawabannya. Aku sudah siap untuk ini sejak awal.”
Jawabannya membuatku sedikit lega, meskipun ada bagian dalam diriku yang masih dihantui rasa bersalah.
“Mas…” Laras mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. “Kalau memang Mas ingin segera menikah, kapan rencananya?”
Aku terdiam.
Ibu tentu ingin ini terjadi secepat mungkin. Aku bisa saja langsung mengurus semuanya dalam beberapa bulan ke depan. Tapi… entah kenapa, ada sesuatu yang menahanku.
Mungkin karena aku tahu, ketika aku benar-benar melangkah ke jenjang itu, maka aku dan Aisyah tidak akan pernah bisa kembali seperti dulu lagi.
Tapi bukankah sejak aku mulai dekat dengan Laras, aku memang sudah mengkhianati Aisyah?
Aku menarik napas panjang. “Secepatnya.”
Laras tersenyum puas. “Baiklah, Mas. Aku akan menunggu.”
Dan di saat itu, aku tahu, jalan yang kupilih benar-benar tidak akan ada jalan kembali.
Setelah pertemuan dengan Laras, aku langsung pulang. Jalanan malam cukup lengang, tetapi pikiranku penuh dengan berbagai hal. Tentang keputusan yang sudah kuambil, tentang bagaimana Aisyah akan bereaksi jika ia tahu aku sebenarnya sudah menjalin hubungan dengan Laras bahkan sebelum meminta izinnya.
Aku menghela napas berat. Tidak, aku tidak boleh memikirkan hal itu sekarang. Yang terpenting, ibu dan ayah sudah setuju, dan Laras juga siap. Semuanya seharusnya berjalan lancar.
Tapi begitu aku sampai di rumah dan membuka pintu, perasaan aneh langsung menyelimutiku.
Sepi.
Tidak ada suara anak-anak yang biasanya berlarian di ruang tamu. Tidak ada suara Aisyah yang menyapaku dengan lembut. Tidak ada aroma masakan hangat seperti biasanya.
Aku mengernyit, meletakkan tas kerja di meja dekat pintu. “Aisyah?” panggilku, tapi tidak ada jawaban.
Aku melangkah masuk ke ruang keluarga. Lampunya sudah dimatikan, hanya tersisa temaram dari lampu kecil di sudut ruangan. Aku berjalan ke dapur—kosong.
Jantungku mulai berdegup lebih cepat. Aku bergegas menuju kamar tidur utama dan membuka pintunya.
Tidak ada siapa-siapa.
Reza menyesal seumur hidup, thor
terutama Reza yg menjadi wayang...
semangat Aisyah
kehidupan baru mu
akan datang