Dia meninggal tapi menghantui istri ku.
Ku genggam tangan Dias yang terasa dingin dan Bergetar. Wajahnya pucat pasi dengan keringat membasahi anak rambut di wajahnya. Mulutnya terbuka menahan sakit yang luar biasa, sekalinya menarik nafas darah mengucur dari luka mengangga di bagian ulu hati.
"Bertahanlah Dias." ucapku.
Dia menggeleng, menarik nafas yang tersengal-sengal, lalu berkata dengan susah payah. "Eva."
Tubuhnya yang menegang kini melemas seiring dengan hembusan nafas terakhir.
Aku tercekat memandangi wajah sahabat ku dengan rasa yang berkecamuk hebat.
Mengapa Dias menyebut nama istriku diakhir nafasnya?
Apa hubungannya kematian Dias dengan istriku, Eva?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dias Datang lagi...
Pagi yang mendung ini, Eva habiskan waktu hanya di dalam kamar. Menemani Seina bermain, makan lalu tertidur.
Barulah setelah sore, aku pulang dari bekerja, lalu ia mengajak seina keluar sebentar karena ada Mbok Yun juga sedang duduk bercerita dengan cucunya. Istriku itu melangkah menuju teras rumah mbok Yun.
"Mbok." panggilnya, rumah kami hampir tak berjarak, bahkan jika sedang hujan air yang mengucur dari atap akan jatuh pada titik yang sama. Selangkah dari teras rumahku, maka sudah berada di teras rumah mbok Yun.
"Seina, cucu Mbah Yun seng paling ayu...." mbok Yun langsung meraih Seina, menggendongnya dengan ria.
"Mbok, bagaimana keadaan saudarinya mbok Yun?" tanya Eva, melirik ke dalam rumah mbok Yun, tapi tak terlihat siapa-siapa.
"Oh, si Iyem." jawabnya, diapun melongok ke dalam rumah. "Kayaknya lagi mandi. Udah mendingan sih Mbak." jawab mbok Yun.
"Syukurlah." Eva berucap, lega.
"Nak Seno belum pulang?" tanya Mbok Yun, menimang Seina sambil melirik teras, tentulah kalau Seno sudah pulang, maka sepeda motornya akan terparkir di sana.
"Sudah Mbok, tapi ban motornya kempes tadi pas pulang dari pemakaman temannya yang kecelakaan, jadi di titip di bengkelnya Pak Imam." jawab Eva.
"Temennya kecelakaan? Dimana Mbak?" tanya mbok Yun lagi.
"Kurang tahu sih Mbok."
"Bilang Mas Seno hati-hati kalau pulang malam. Sekarang lagi banyak kasus menakutkan. Semalam itu juga ada kejadian yang menghebohkan mbak, di RT sebelah." Kata Mbok Yun dengan ekspresi serius.
"Kejadian apa Mbok?" tanya Eva penasaran, ia pun duduk di kursi teras, sementara Seina tampak anteng di gendong mbok Yun.
"Di tusuk Mbak." kata Mbok Yun, memelankan suaranya.
"Hah! Serius Mbok? Di tusuk kenapa? Apakah maling Mbok?" tanya Eva, dia jadi takut.
"Nggak Mbak, nggak ada yang hilang." bisik mbok Yun lagi, dia menoleh kiri kanan seperti takut ada orang yang mendengar, lalu melanjutkan lagi ceritanya. "Adikku itu langsung pulang karena takut Mbak, sebab yang meninggal itu adalah_"
"Yun."
Lagi sedang tegang-tegangnya, kedua wanita itu dibuat terkejut dengan suara yang tiba-tiba memanggil mbok Yun.
"Kamu Yem, ngagetin aja." ucap mbok Yun pun mengelus dada.
Eva melirik perempuan tua yang berdiri diambang pintu itu, baru saja mereka membicarakan dia, perempuan yang di panggil Yem itu tiba-tiba keluar dengan rambut rapi sudah di Sisir.
"Mbok, udah sehat?" tanya Eva ia melempar senyum kepadanya.
Namun perempuan itu malah mematung, bibirnya yang kisut itu kini semakin memucat, memandangi Eva seperti sedang mengingat sesuatu di kepalanya.
"Heh, Yem! Di tanya malah gak jawab." Mbok Yun menegur Adiknya yang diam dengan ekspresi tegang.
"Iya Mbak." jawabnya bahkan tak berkedip menatap wajah Eva.
Baik Eva, ataupun mbok Yun, keduanya tampak bingung dengan ekspresi Mbok Yem. Tapi ketika ditanya perempuan itu malah diam menggeleng.
Sempat menyimak beberapa kalimat obrolan mereka, akhirnya aku keluar bergabung. Sudah lama pula aku tidak mengobrol dengan tetangga. Terlalu sibuk bekerja, sering lembur agar kebutuhan anak istriku selalu tercukupi.
"Tuh, papanya Seina udah mandi." kata mbok Yun, Eva pun tersenyum melirik Seina yang langsung mengulurkan tangannya padaku.
Ku raih tubuh anak ku itu, lalu ke dekap dengan erat. Gadis kecilku ini seperti boneka kesayangan yang menghibur, karena di keluarga mbok Yun pun sudah tidak ada anak kecil, apalagi yang masih bayi.
"Ndak lembur Nak Seno?" tanya Mbok Yun.
"Tadinya mau lembur Mbok, tapi kepikiran Seina, takut kayak semalam." kata ku.
"Lho!" Seno melihat mbok Yem yang berdiri aneh, tampak pucat dan gelisah. "Mbok Yem?" panggil Seno.
Mbok Yem mengangguk, berusaha tersenyum meskipun wajahnya gugup, meremas kedua tangannya sendiri bergantian.
"Ya sudah, ini sudah sore. Mau Maghrib. Banyak nyamuk pula, sana masuk!" titah mbok Yun, menepuk pelan kaki Seina, gemas.
Istriku terkekeh melihatnya. "Mari mbok." pamit istriku pada tetangga kami.
Sempat ku lirik Mbok Yem, ternyata perempuan itu juga menatap ku dengan ekspresi entah. Tapi yang ku tangkap dia itu seperti sedang ketakutan.
Usai makan malam yang nikmat, istriku memasak makanan sederhana namun cukup memanjakan perutku.
Itulah yang ku suka, istriku bisa memanjakan perut, memanjakan mata, dan yang paling penting memuaskan ku di ranjang. Tak kan pernah menyesal aku menikah dengannya.
Malam ini ku buat istriku mendesah dan menjerit takluk padaku. Setelah semalam tak sempat menyentuhnya, malam ini ku tumpahkan segala kerinduan dengan hasrat menggila.
Tak ku lewatkan setiap inci tubuh mulus istri tercintaku, tak hanya area intim yang menjadi sasaran ku, bahkan lengan dan kaki tak luput dari gigitan mesra dari ku. Tak kan ku biarkan pudar tanda merah cinta itu di tubuh istriku, setiap malam aku memberi stempel kepemilikan itu sesuka hati.
"Maaassss......" rengekan panjang yang membuat ku meremang, hasratku semakin naik liar memacu keringat penuh nikmat. Tak kan ku hentikan meskipun dia memohon penuh damba.
Justru jeritan itu yang membuat aku merasa gagah dan tak terkalahkan, aku hanya ingin Eva memikirkan aku, hanya aku saja di dalam hati dan hidupnya.
"Aku mencintaimu istriku."
Ku peluk tubuh istriku erat, ku lihat wajahnya lelah tapi penuh kepuasan. Senyumnya samar dengan mata terpejam. Tangannya memeluk ku seperti tak mau lepas.
'Tak perlu di jawab kata cinta ku, Sayang. Pelukanmu sudah menjelaskan bahwa kau milikku.'
Dia tertidur nyenyak berbantalkan lengan hingga entah kapan, aku terbangun dan melihat dia tak ada lagi di sampingku.
Kretek.
Ku pertajam pendengaran ku yang terusik dengan suara pintu diotak-atik.
Ku sipitkan mata, melalui celah pintu yang setengah terbuka, menyesuaikan cahaya remang di luar kamar, ku lihat bayang seseorang berada di pintu depan.
"Sayang?" panggilku, ku angkat kepalaku, sambil meraba dimana terakhir aku melempar bajuku.
Tak terdengar jawaban, tapi bunyi pintu diotak-atik masih saja mengganggu.
Segera aku beranjak keluar, setelah memastikan Seina masih tertidur nyenyak.
Gelap, ku raba di dinding di samping pintu, hingga ku tekan saklar lampu ruang tamu.
Tak
Seketika ruangan menjadi terang, tapi mataku tertuju pada pintu depan, dimana istriku sedang mengotak-atik pintu yang terkunci.
"Dek!"
"Mas!"
"Kamu lagi ngapain Dek?"
"Mau buka pintu Mas, itu di luar ada Mas Dias dari tadi ngetuk-ngetuk rumahnya mbok Yun." jawabnya.
Aku terperangah mendengar ucapan Eva, ku tangkap tangannya yang sedang kesulitan membuka pintu itu. "Kamu mau ngapain?" kataku, tak penasaran aku pada apa yang di lihatnya, karena sudah pasti tidak ada apa-apa. Apakah istriku sedang bermimpi?
"Coba di buka dulu Mas. Aneh aja Mas Dias itu malah menahan pintu dari luar." katanya.
Ku sipitkan mata di lubang kunci, benar saja memang tak ada siapa-siapa. Dengan rasa was-was, ku tatap wajah istriku dan ku putar kenop pintu.
Klak, lalu berderitlah pintu kayu yang ku tarik perlahan.
Hening, hanya hembusan angin halus yang menyapa kulit hingga meremang bulu roma ku.
"Lha?" Ucap istriku, heran.
Lemas rasanya lututku melihat ekspresi Eva sedemikian. Dia melihat kesana kemari mencari keberadaan Dias, dan tentu saja dia tak akan menemukan Dias dimana-mana.
Apakah sebaiknya ku katakan saja, bahwa Dias sudah meninggal?
Lusia.. lusiapa siih, sampe seenaknya aja mau bunuh orang kek bunuh nyamuk 🦟/Slight/
Lusia.. lusialan emang 🤭🏃♀️🏃♀️🏃♀️
hais jd tegang nieh a1 bacanya