Kalian Bisa Dukung aku di link ini :
https://saweria.co/KatsumiFerisu
Seorang pengguna roh legendaris, yang sepanjang hidupnya hanya mengenal darah dan pertempuran, akhirnya merasa jenuh dengan peperangan tanpa akhir. Dengan hati yang hancur dan jiwa yang letih, ia memutuskan mengakhiri hidupnya, berharap menemukan kedamaian abadi. Namun, takdir justru mempermainkannya—ia terlahir kembali sebagai Ferisu Von Velmoria, pangeran ketiga Kerajaan Velmoria.
Di dunia di mana setiap orang memiliki kesempatan untuk menjalin kontrak dengan roh, Ferisu justru dikenal sebagai "Pangeran Sampah." Tidak ada roh yang mau menjawab panggilannya. Dipandang sebagai aib keluarga kerajaan, ia menjalani hidup dalam kemalasan dan menerima ejekan tanpa perlawanan.
Tetapi saat ia masuk ke Akademi Astralis, tempat di mana para ahli roh belajar tentang sihir, teknik, dan cara bertarung dengan roh, sebuah tempat terbaik untuk menciptakan para ahli. Di sana Ferisu mengalami serangkaian peristiwa hingga akhirnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Katsumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 4 : Pertunangan
Lima Tahun Kemudian
Pagi itu, hiruk-pikuk istana Velmoria telah dimulai. Para pelayan berlarian ke sana ke mari, sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk rapat keluarga kerajaan yang penting. Namun di salah satu sudut istana, sebuah kamar tetap hening, meskipun kegaduhan terdengar jelas dari luar.
Seorang pelayan berdiri panik di depan tempat tidur, mencoba membangunkan penghuninya yang masih terbaring dengan santai.
"Ferisu-sama! Ferisu-sama! Bangunlah, ini sudah pagi!" serunya, mengguncang tubuh pemuda yang berselimut tebal.
Ferisu Von Velmoria, sang pangeran ketiga kerajaan, hanya meringkuk lebih dalam di bawah selimutnya. Rambut hitamnya yang berantakan menutupi sebagian wajahnya, sementara mata ungu gelapnya tetap terpejam, tidak peduli pada dunia.
"Lima menit lagi..." gumamnya pelan dengan suara serak.
Pelayan itu menghela napas panjang, setengah putus asa. "Ferisu-sama, ini bukan waktunya bermalas-malasan! Raja telah meminta Anda untuk datang! Anda harus segera bersiap!"
Ferisu mengintip dengan satu mata yang setengah terbuka. "Jam berapa sekarang?" tanyanya, suaranya penuh rasa malas.
"Sudah jam delapan pagi, Ferisu-sama!" Pelayan itu hampir kehabisan kesabaran.
Dengan santainya, Ferisu kembali menarik selimutnya. "Jam delapan masih terlalu pagi untuk urusan tidak penting. Aku akan bangun jam sepuluh."
Pelayan itu mendengus frustrasi. "Kalau begini terus, saya akan memanggil Verina-sama!" ancamnya, suaranya lebih keras.
Mata Ferisu langsung terbuka lebar, dan ia mendesah panjang. "Sudah terlambat," katanya lesu, matanya menatap pintu kamar yang perlahan terbuka.
Verina Von Velmoria, kakak perempuan tertuanya, muncul dengan langkah anggun namun tegas. Rambut peraknya yang panjang tergerai sempurna, sementara mata birunya memancarkan ketegasan dan wibawa seorang putri. Aura dingin dan otoritasnya memenuhi ruangan, membuat pelayan yang tadi lantang bicara kini mundur dengan hormat.
"Adikku yang pemalas," ucap Verina dengan nada lembut namun mengandung ancaman tersembunyi. "Kali ini aku sendiri yang akan membawamu."
Ferisu, yang biasanya tenang, langsung meloncat dari tempat tidur dengan kepanikan yang jelas. "Tidak, tunggu! Aku bisa pergi sendiri! Tidak perlu tamparan pagi hari, Kak!"
Namun, Verina hanya tersenyum kecil, senyuman yang lebih menyeramkan daripada tatapan dinginnya. "Oh, aku hanya memastikan kau benar-benar bangun."
Ferisu segera berlari ke arah jendela, berniat melompat keluar seperti yang sering dilakukannya untuk melarikan diri. Tapi kali ini, ia terkejut karena mendapati jendelanya telah terkunci dengan sihir.
"Apa?! Kau bahkan mengunci jendelaku?!" pekiknya frustrasi.
"Tentu saja," jawab Verina santai, mengayunkan tangannya. Cahaya biru berkilauan muncul dari ujung jarinya, dan dengan satu gerakan, tirai jendela terbuka paksa, memperlihatkan pemandangan taman istana yang indah. "Jika kau pikir aku tidak mempersiapkan ini, kau sangat meremehkanku, Ferisu."
Ferisu melirik pintu kamar, lalu jendela yang tak mungkin dilewati. Ia mencoba melarikan diri, tapi Verina sudah lebih dulu bergerak, menangkap kerah bajunya dengan cekatan.
"Berhenti kabur!" Verina menariknya kembali dengan mudah, meskipun Ferisu meronta-ronta.
"Argh, kakak! Ini kekerasan! Aku akan mengadu pada Ayah!" seru Ferisu, mencoba melepaskan diri.
Verina menatapnya dengan tajam, lalu melayangkan tamparan ringan ke pipinya.
Plak!
"Berhenti merengek seperti anak kecil," ucap Verina dengan tenang, meski ada ancaman dingin di balik kata-katanya.
Ferisu memegangi pipinya yang perih, menatap kakaknya dengan kesal. "Kau benar-benar iblis dalam wujud manusia!"
Verina mengabaikannya dan menarik Ferisu keluar dari kamar, menyeretnya melewati koridor istana.
Di sepanjang jalan, para pelayan hanya bisa menunduk, berusaha tidak tertawa melihat pangeran ketiga yang diperlakukan seperti anak kecil.
"Ayo cepat! Kita tidak boleh terlambat," kata Verina sambil terus menyeret adiknya.
Ferisu menghela napas panjang, menyerah pada nasibnya. "Kenapa hidupku seperti ini...?" gumamnya pelan, tapi Verina masih bisa mendengarnya.
"Karena kau terlalu malas untuk menjalani hidupmu dengan benar," jawab Verina tanpa menoleh.
Ferisu hanya menggerutu dalam hati, tahu bahwa melawan kakaknya hanya akan membuat keadaan semakin buruk.
Di Ruang Tamu Istana Velmoria
Raja Velmoria telah duduk dengan tenang di singgasananya, ditemani oleh Ratu di sisi kirinya. Di hadapan mereka, sepasang suami istri dengan pakaian bangsawan yang megah duduk dengan sopan. Bersama mereka, seorang gadis remaja dengan rambut perak yang halus duduk anggun, meskipun raut wajahnya terlihat tidak senang. Mereka adalah keluarga Duke—bangsawan dengan pengaruh besar di Velmoria.
Suasana ruangan terasa berat namun tetap dijaga formalitasnya. Hingga akhirnya, pintu ruangan terbuka, dan suara langkah berat terdengar.
"Maaf karena terlambat, Ayah," ucap Verina dengan nada dingin, menyeret Ferisu yang masih mengenakan baju tidur berwarna kusam. Rambutnya berantakan, matanya tampak malas, dan wajahnya mencerminkan keengganan berada di sana.
Raja Velmoria mengangguk, sebuah senyuman tipis menghiasi wajahnya. "Terima kasih, Verina. Kau benar-benar dapat diandalkan."
Ferisu mengerutkan kening. Ia sudah menduga sesuatu yang buruk sedang menunggunya di sini. "Ada apa, Ayah? Kenapa aku dipanggil ke ruangan ini sepagi ini?" tanyanya curiga.
Raja tersenyum misterius, membuat Ferisu merasa semakin gelisah. "Tak ada yang perlu dikhawatirkan, Ferisu. Duduklah dulu."
Dengan enggan, Ferisu berjalan ke tengah ruangan dan duduk di kursi di antara Raja dan Ratu. Ia menyandarkan tubuhnya dengan santai, meski tatapannya penuh kewaspadaan.
Raja menunjuk Ferisu dengan bangga. "Ini adalah putra bungsu kami, Pangeran Ketiga Kerajaan Velmoria, Ferisu Von Velmoria."
Namun, reaksi yang didapat jauh dari rasa hormat.
"Benar-benar persis seperti rumor..." gumam gadis berambut perak di kursi seberang, suaranya pelan namun cukup jelas untuk didengar semua orang di ruangan.
Duke, ayah gadis itu, langsung menegurnya. "Erica! Jaga kata-katamu!" Nada suaranya tegas, meskipun matanya menunjukkan rasa cemas.
Gadis bernama Erica itu hanya melirik ayahnya, lalu mengalihkan pandangannya tanpa sepatah kata. Sikapnya dingin, seolah tak tertarik dengan situasi di sekitarnya.
"Maafkan ketidaksopanan putriku, Yang Mulia," ujar Duke dengan nada penuh penyesalan, menundukkan kepalanya.
Namun Raja Velmoria hanya tertawa ringan. "Tak apa. Lagi pula, Ferisu tidak akan terlalu peduli dengan komentar seperti itu. Lihat saja."
Semua mata tertuju pada Ferisu. Pangeran ketiga itu sedang duduk santai, menyeruput teh dari cangkir porselennya dengan ekspresi bosan. Ia bahkan tidak bereaksi sedikit pun terhadap ucapan Erica.
"Hah...?" Duke hanya bisa tertawa kecil, tidak percaya dengan sikap acuh Ferisu. Di dalam hatinya, ia merasa dilema yang mendalam atas apa yang akan terjadi. Namun, sebagai pewaris perjanjian lama, ia tidak punya pilihan.
Setelah hening sejenak, Raja Velmoria akhirnya berbicara dengan nada serius. "Ferisu..."
Ferisu menoleh dengan enggan, masih memegang cangkir tehnya. "Apa lagi?"
Suasana ruangan menjadi semakin berat. Raja mulai menjelaskan sebuah perjanjian yang dibuat oleh Raja sebelumnya, yaitu kakek Ferisu, dengan Duke sebelumnya. Isi perjanjian itu adalah pertunangan antara Ferisu, Pangeran Ketiga Velmoria, dan Erica, putri Duke.
Setelah mendengar hal itu, Ferisu membeku di tempat. Ia memandangi Erica yang duduk berseberangan dengannya. Gadis itu menatap balik dengan jengkel, seolah pertunangan ini hanyalah lelucon yang mengganggunya.
Kemudian Ferisu mengalihkan pandangannya ke arah Raja. Wajahnya berubah, menunjukkan ketidaksetujuan yang jelas. "Tidak! Aku tidak akan setuju dengan ini!" serunya.
Raja memandangnya dengan tenang, seolah sudah memprediksi reaksi itu. Namun sebelum Raja sempat menjawab, Ferisu meletakkan cangkir tehnya dengan kasar ke meja dan bangkit dari kursinya.
"Aku akan bicara langsung dengan Kakek mengenai ini! Ini gila!" katanya dengan nada frustrasi, lalu berlari keluar dari ruangan tanpa menunggu jawaban.
Semua yang ada di ruangan hanya bisa terdiam sesaat, mendengar langkah kaki Ferisu yang menjauh.
"Hmm, seperti yang dibilang ayah," ujar Raja, lalu menyeruput tehnya dengan tenang, seolah insiden tadi tidak pernah terjadi.
Sementara itu, Erica hanya mendesah kecil, memalingkan wajahnya ke arah jendela. Dalam hatinya, ia berpikir bahwa pertunangan ini adalah hal terburuk dalam hidupnya.
Di sisi lain, Verina yang masih berdiri di belakang kursi Raja menggelengkan kepala. "Adik bungsuku itu memang tidak pernah berubah," gumamnya sambil memandang ke arah pintu yang ditinggalkan Ferisu.
raja sihir gitu lho 🤩