Ini bukan kisah istri yang terus-terusan disakiti, tetapi kisah tentang cinta terlambat seorang suami kepada istrinya.
Ini bukan kisah suami yang kejam dan pelakor penuh intrik di luar nalar kemanusiaan, tetapi kisah dilema tiga anak manusia.
Hangga telah memiliki Nata, kekasih pujaan hati yang sangat dicintainya. Namun, keadaan membuat Hangga harus menerima Harum sebagai istri pilihan ibundanya.
Hati, cinta dan dunia Hangga hanyalah untuk Nata, meskipun telah ada Harum di sisinya. Hingga kemudian, di usia 3 minggu pernikahannya, atas izin Harum, Hangga juga menikahi Nata.
Perlakuan tidak adil Hangga pada Harum membuat Harum berpikir untuk mundur sebagai istri pertama yang tidak dicintai. Saat itulah, Hangga baru menyadari bahwa ada benih-benih cinta yang mulai tumbuh kepada Harum.
Bagaimana jadinya jika Hangga justru mencintai Harum saat ia telah memutuskan untuk mendua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeni Eka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Sudah dua hari Harum kembali bekerja di kedai milik Bu Mirna cabang Tangerang. Beruntung, sahabatnya yang bernama Nina itu juga ikut di mutasi ke Tangerang.
Kehadiran gadis berjidat lebar itu ibarat tetesan air hujan yang menyiram hidup Harum yang gersang. Bukan lebay, tetapi memang begitu adanya.
Kehidupan pernikahannya bersama Hangga terasa kaku seperti kanebo kering. Hanya keheningan dan kebisuan yang sering terjadi di antara mereka.
Sampai saat ini, Hangga belum pernah menyentuhnya. Komunikasi di antara mereka juga naik turun. Sikap Hangga terkadang hangat, namun sesaat kemudian berubah menjadi dingin.
Harum tengah berkutat dengan pekerjaan di meja kerjanya. Mencatat transaksi keuangan dalam jurnal besar dan mengerjakan berbagai macam pembukuan kedai lainnya.
Tugasnya di kedai adalah mengurus administrasi keuangan kedai sekaligus merangkap sebagai kasir.
Bu Mirna mempercayakan keuangan kedai kepada Harum sudah sedari lama. Bahkan sebelum Harum dinikahi oleh putra sang pemilik kedai tersebut.
Setelah pekerjaannya sebagai staf akuntan dan staf admin rampung, ia pergi ke meja kasir.
“Rum, ada Mas Hangga loh,” bisik Nina antusias saat Harum baru duduk di kursi kasir.
“Mas Hangga ke sini? Di mana?” tanya Harum sembari mengedarkan pandangannya.
“Tuh di meja 27, sama teman-temannya.” Nina menunjuk meja paling pojok dekat pintu belakang kedai dengan ekor matanya.
“Oh.” Hanya kata ‘oh’ yang terucap dari bibir mungil Harum usai matanya menemukan sosok Hangga bersama dua orang pria yang kemungkinan adalah teman kerjanya.
“Kok cuma ‘oh’ sih.” Nina berdecak mendengar reaksi sahabatnya itu. “Kamu ‘kan istrinya, Rum. Harusnya kamu samperin sana, cium tangan sama suamimu yang ganteng itu. Terus nanti suamimu balas cium kening kamu. Kan so sweet jadinya,” cerocos gadis yang memakai jilbab ungu, senada dengan kaus seragam kedai yang juga berwarna ungu.
“Jangan keras-keras bicaranya, Nin! Nanti teman Mas Hangga bisa dengar,” cegah Harum yang juga memakai jilbab warna ungu sama seperti karyawan lainnya.
Dahi Nina mengerut mendengar ucapan Harum. “Maksudnya, Rum?”
“Jadi gini, Mas Hangga itu belum laporan ke kantornya bahwa dia sudah menikah. Jadi, teman-temannya juga memang enggak ada yang tahu kalau dia sudah menikah,” tutur Harum yang terdengar ragu.
“Kok gitu, Rum?” Nina kembali mengerutkan kening.
"Mungkin Mas Hangga ...." Harum jadi bingung sendiri mau beralasan apa.
“Tuh, ada tamu. Kamu layani dulu sana,” usir Harum sembari ekor matanya menunjuk dua orang remaja laki-laki dan perempuan yang baru masuk ke kedai. Beruntung kehadiran pengunjung itu bisa menyelamatkan Harum dari pertanyaan Nina.
Meski masih penasaran dengan ucapan Harum yang sudah bersahabat dengannya sejak di bangku SMP itu, Nina beranjak juga melayani tamu kedai yang datang.
Harum hanya tersenyum memandangi Nina yang mengayun langkah ceria menyambut tamu. Gadis itu memang selalu ceria.
“Mbak, ada air mineral?” tanya seorang pria berkacamata yang menghampiri Harum di meja kasir.
“Ada, Pak,” jawab Harum diiringi seulas senyum.
“Jangan panggil Bapak, dong! Saya masih muda loh. Belum menikah.” Pria dengan potongan rambut belah tengah ala Charlie ST 12 itu melayangkan protes pada Harum.
“Oh, iya. Maaf, Kak,” sahut Harum yang merasa tidak enak hati.
“Nah, begitu, lebih cocok.” Pria itu tersenyum lebar kepada Harum. “Oya, saya tambah pesanan air mineral dingin dua ya,” ucapnya lagi.
“Baik, Kak. Nanti akan diantar ke meja Kakak."
“Meja 27 ya,” ujar pria itu masih menampilkan senyum manisnya.
Harum mengangguk menanggapi ucapan pria tersebut. Meja yang dimaksud pria berkacamata dan rambut belah tengah itu adalah meja tempat Hangga duduk.
Pria yang memesan air mineral itu adalah salah satu dari dua pria yang duduk bersama Hangga. Setelah memesan tambahan pesanan, pria itu kembali ke mejanya. Tidak lupa, pria itu memberikan senyum manisnya kepada Harum sebelum kembali ke mejanya.
*
Nata : [Yang, gak jadi makan siang bareng]
Nata : [Diajak makan siang bareng sama teman-teman kerja. Gak enak kalau nolak]
Nata: [Maklum anak baru]
Tiga pesan dari Nata masuk ke ponsel Hangga, tepat sebelum Hangga beranjak dari meja kerjanya. Pria dengan rambut tebal hitam belah tepi itu menggerakkan lincah jarinya, membalas pesan sang kekasih tercinta.
Hangga : [Huh 😭]
Hangga : [Baik-baik jadi anak baru ya]
Hangga : [Padahal kangen 😘😘]
Tiga pesan yang dikirimkan oleh Hangga langsung dibalas oleh Nata yang masih dalam model online.
Nata : [I love U so]
Nata : [❤️❤️❤️]
Senyum Hangga terkembang sempurna mendapat balasan pesan tersebut. Entah sudah berapa kali kekasihnya itu mengucapkan kata cinta, namun tetap saja buncah bahagia selalu meletup di dada setiap kali mendengar ucapan cinta dari sang pujaan hati.
Hangga : [ Love U too]
Hangga : Emot love 11 buah
Usai membalas pesan, Hangga pergi ke musala untuk menunaikan kewajibannya. Setelah melaksanakan empat rakaat Zuhur, ia diajak oleh dua orang rekan kerjanya untuk makan siang bersama. Kedua temannya itu mengajak Hangga ke kedai sop duren.
Sebenarnya Hangga malas untuk makan di kedai yang berjarak tidak jauh dari kantornya itu, namun karena kedua teman Hangga itu tidak mengetahui bahwa kedai tersebut milik orangtuanya, akhirnya Hangga menurut saja.
“Gila ya, gue sering lewat sini belum pernah sekalipun masuk ke sini,” ujar Tono, pria berkumis tipis dengan tahi lalat di dagu sebelah kiri yang adalah salah seorang teman kerja Hangga. Kalau dilihat sekilas, Tono ini mirip Rano Karno dalam versi muda.
“Gue pernah sekali ke sini bareng cewek gue. Menunya lumayan enak kok,” timpal Andi, pria kurus berkacamata dengan potongan rambut belah tengah yang juga adalah teman kerja Hangga.
“Lo pernah ke sini, Bro?” tanya Tono melirik Hangga.
“Emm, gue ... belum. Baru ini sama kalian,” jawab Hangga berbohong, tapi tidak sepenuhnya bohong. Ia memang beberapa kali pernah datang ke kedai karena titah ibunya untuk mengurus suatu hal. Tetapi, kalau untuk makan bersama dengan membawa sang kekasih, Hangga sama sekali tidak pernah melakukannya.
Kecuali pada Nata, ia memang tidak pernah menceritakan kepada siapa pun jika kedai yang tengah laris itu adalah milik orangtuanya.
“Ayo, kita pesan menu, gue udah lapar banget nih,” kata Andi.
Pria berkacamata yang bernama Andi itu memanggil salah seorang pelayan yang baru selesai mengantarkan makanan di meja sebelah. Kemudian mereka bertiga memesan menu santap siang.
Sembari menunggu pesanan datang, ketiga pria itu berbincang santai. Mulai dari cerita Tono tentang keseruannya yang baru seminggu menjadi seorang ayah dan cerita Andi yang berniat melamar seorang wanita yang baru satu bulan dikenalnya.
“Gila lo, Ndi. Baru sebulan kenal udah main lamar aja. Memang seyakin itu lo sama dia?” celetuk Tono.
“Yakin enggak yakin sih, tapi gue memang udah pengen kawin. Enggak mau lama-lama jomblo ah, takut karatan,” kelakar Andi yang memecah tawa ketiganya.
Ketiga pria itu masih tergelak dalam tawa saat pelayan membawakan bermacam menu yang telah dipesan dan meletakkannya di atas meja. Usai menata hidangan, pelayan itu kembali ke tempatnya.
“Terus kalau lo kapan, Bro?” Tono bertanya pada Hangga usai menyedot jus sirsak yang segar dan menggoda.
“Emm, kapan apanya?” sahut Hangga yang saat perbincangan tadi tidak banyak bicara. Hanya menyimak sambil sesekali ikut tertawa.
“Kapan kawinnya?”
“Nikah dong jangan kawin,” protes Hangga.
“Jangan-jangan lo kawinnya udah, tapi nikahnya yang belum ya?” ledek Tono.
“Sembarangan.” Hangga meninju pelan lengan Tono.
Justru yang terjadi pada Hangga adalah sebaliknya, menikahnya sudah, kawinnya yang belum.
“Hahahaha. Bercanda, Bro. Gue percaya lu mah pria soleh idaman para wanita,” seloroh Tono sembari mengunyah roti bakar coklat pesanannya.
“Ini kok enggak ada air mineralnya,” ujar Andi yang baru menyuapkan sesendok sop daging ke mulutnya. “Sebentar ya, gue mau pesan air mineral dulu,” katanya sembari bangun dari posisi duduknya.
Andi pergi ke meja pemesanan, yang bersebelahan dengan meja kasir. Karena pelayan yang berjaga semuanya tampak sibuk, ia menghampiri perempuan yang duduk di meja kasir.
Perempuan yang tidak lain adalah Harum.
Setelah memesan air mineral, Andi kembali ke mejanya.
“Hai gaes, kayaknya gue enggak jadi buru-buru melamar cewek yang baru sebulan gue kenal itu deh,” ujar Andi setelah kembali ke mejanya.
“Lah, kenapa?" tanya Tono dengan dahi mengernyit. "Baru semenit udah berubah pikiran."
“Lihat deh cewek yang pakai kerudung ungu di sana,” ujar Andi sembari menunjuk meja kasir dengan dagunya.
“Yang mana, Bro? Banyak yang pakai kerudung ungu di sini,” sahut Tono mengikuti arah pandangan Andi. “Kayaknya pelayan di sini memang pakai kerudung ungu semua,” sambungnya.
“Yang di meja kasir,” sahut Andi. Pandangan pria itu tidak lepas dari sosok Harum di meja kasir.
Tono dan Hangga sontak melempar pandangan pada sosok perempuan cantik yang mengenakan gamis warna lilac dipadukan dengan kerudung warna ungu muda.
“Beuh, cantik banget. Mirip mantan gue.” Tono sontak berceletuk. Sementara Hangga tidak ikut berkomentar, namun pandangannya tertuju pada Harum yang tampak sibuk mengerjakan sesuatu.
“Hah, mantan lo yang mana?” timpal Andi.
“Citra Kirana,” sahut Tono.
Hangga masih menatap Harum dari tempatnya duduk. Kalau diperhatikan, Harum memang mirip Citra Kirana versi usia muda. Hidungnya yang mancung, bibirnya yang kecil, alisnya yang bagus, semuanya mirip. Yang membedakan itu warna kulit. Warna kulit Harum yang kuning langsat, terlihat lebih redup jika dibandingkan sang artis.
“Huh, ngimpi!” sorak Andi. “Eh, tapi bener sih. Dia cantik banget mirip Citra Kirana. Kayaknya gue harus minta nomor teleponnya deh,” seloroh Andri seraya bangun dari duduknya.
“Mau ke mana, Ndi?” Hangga mencekal lengan Andi.
“Mau minta nomor hape gadis itu,” jawab Andi santai.
“Jangan. Enggak boleh!” kata Hangga sedikit gugup.
“Lah, kenapa?” Andi menatap heran Hangga.
“Karena dia ... sudah bersuami,” sahut Hangga.
sungguh nikmat kn mas Hangga poligami itu 😈
yg bener nggak sadar diri
perempuan yang merendahkan diri sendiri demi cinta yg akhirnya di telan waktu