Laras terbangun di tubuh wanita bernama Bunga. Bunga adalah seorang istri yang kerap disiksa suami dan keluarganya. Karna itu, Laras berniat membalaskan dendam atas penyiksaan yang selama ini dirasakan Bunga. Disisi lain, Laras berharap dia bisa kembali ke tubuhnya lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Elmu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wanitanya Aksa
Bosan.
Laras gak tahu, pekerjaan apa yang dilakukan Bunga selama dia di rumah. Kata bi Imah, Bunga tidak bekerja. Tapi emang dia gak bosan ya? Dirinya aja bosan loh, cuma berguling-guling di kasur, Scroll sosmed, ngelamun, lapar makan, terus tidur. Gitu doang, jelas aja dia bosen.
"Harusnya gue ke kampus gak sih?" gumamnya, membuang napas pelan. Menatap langit-langit atap. "Tapi nama gue aja gak kedaftar. Aneh. Padahal jelas-jelas gue kuliah disana."
Laras masih gak bisa memahami yang terjadi padanya. Kalau memang dia amnesia, kenapa ingatannya tentang Laras sejelas itu? Bahkan secuil memory tentang Bunga aja dia gak inget tuh. Tapi kalau dia memang Laras, kenapa identitasnya tidak ditemukan dimana-mana? Lokasi memorinya tepat. Tapi tidak dengan namanya. Aneh banget, kan?
"Bodo ah!"
Laras berjingkat. Mengganti posisinya menjadi duduk bersila. Mengambil ponselnya.
"Daripada gabut, mending gue ke kantor Aksa aja. Bosen di rumah mulu."
Tapi, dia aja gak tahu, dimana kantor Aksa. Selama disini, dia cuma pergi waktu mastiin jati dirinya, itu aja dianter Aksa. Sisanya cuma di rumah, rebahan.
"Tanya mamanya Aksa aja deh. Aksa kalau tahu gue mau kesana, palingan gak dibolehin. Dia kan cerewet."
Segera dia membuka kolom chatnya dengan mama Aksa. Mereka deket. Itu karna mamanya Aksa memang sayang sama dia. Beruntung sih, jadi dia masih bisa bernapas lega selama disini. Gak seperti kisah mertua-mertua yang lain, yang katanya nyeremin, mertuanya beda level cuy!
"Halo, Ma," sapanya, setelah telponnya diangkat.
"Halo, sayang. Ada hal penting ya? Tumben kamu yang telpon mama duluan."
Laras tertawa kecil. "Emang iya, Ma? Dulu juga kayak gitu?"
"Hem. Kamu itu gak telpon mama duluan, kalau bukan mama duluan yang nelpon."
Laras ber'o' ria. Gitu ya ...
"Em, gini, Ma. Mau tanya ...."
"Tanya apa, sayang?"
"Larr .... Em, maksudnya Bunga pengen kasih kejutan Aksa. Tapi gak tahu, alamat kantornya dimana. Hehe."
"Ah, wajar ya, kamu lupa. Ya udah, nanti mama kirimin alamatnya."
"Makasih, Ma ...."
"Sama-sama sayang. Omong-omong kamu kesana sendiri? Gak minta jemput Aksa aja?"
"Gak jadi kejutan dong, Ma. Haha."
"Haha. Iya juga. Kalau begitu mama kirim sopir dari rumah aja, ya."
"Eng ... Gak usah, Ma. Bunga naik taksi aja. Aman kok."
"Beneran, gak papa?"
"Gak papa, Ma."
"Ya sudahlah, terserah kamu, sayang. Hati-hati ya. Kalau kepalanya pusing lagi, langsung hubungi Aksa atau mama, Ya?"
"Siap, Ma."
Percakapan berlanjut membahas beberapa hal.
Setelah telpon diakhiri, mama Anin mengirim lokasi.
"Yes!" Laras bersorak. Segera meloncat dari ranjangnya, dan bersiap-siap.
.
.
"Makasih, Pak," ujarnya, mengulas senyum pada sopir taksi.
Netranya memandang lekat gedung tinggi di depannya. Dengan plakat besar tulisan nama perusahaan di atasnya.
"Hmm ... Pantes aja kaya. Perusahaannya aja sebesar ini," gumamnya, memuji. Sebelumnya kehidupannya juga sudah berkecukupan. Orang tuanya punya toko besar. Tapi ternyata masih kalah jauh derajatnya dibanding Aksa.
Laras mengangkat ransel bekal di tangannya. Tersenyum lebar. Rencananya dia mau sekalian makan siang bareng Aksa. Bahkan dia ikut bantu-bantu bi Imah membuat makanannya. Yah, meski cuma potong-potong wortel, seenggaknya ada campur tangannya disana.
Langkahnya mantap penuh percaya diri. Iya lah, orang-orang harus tahu, kalau dia istri dari boss besar disini. Sesekali sombong gak papa dong. Pokoknya yang paling keren itu dia. Semua mata menurutnya sedang menatap ke arahnya. Laras mengibaskan rambut panjang ala-ala model.
Brak!
Sial! Seseorang membuat khayalannya seketika buyar. Bahunya ditabrak dari belakang. Otomatis kakinya kesleo heels tingginya. Laras terjatuh.
"Aish, shit!" mulutnya reflek merutuk.
Dia makin kesal saat melihat orang yang menabraknya malah melenggang melewatinya begitu saja. Cuma melihatnya sekilas, setelah itu berlalu tanpa minta maaf. Gak ngerasa bersalah sama sekali.
"Woy!" panggilnya, kesal.
Wanita itu tidak menoleh. Sombong sekali. Karna kesal, Laras mengambil heelsnya. Melempar dan tepat sasaran
Bug!
Gadis itu menyeringai tipis. Sesuai dugaan, wanita itu menoleh. Wajahnya merah padam.
"Brengsek! Lo berani ngelemparin gue?!"
Laras terkekeh. Beranjak berdiri. Setelah sebelum itu mengambil heels sebelahnya. Balas menatap wanita itu dengan alis sebelah terangkat.
"Kenapa? Lo juga nabrak gue," sahutnya, santai.
Wanita itu menggeram. Berbalik ke arahnya. Laras santai saja, melipat tangannya di depan dada.
"Merunduk, cepat!"
Laras mengernyitkan dahi. "Gue? For what?"
"Lo gak ngerasa salah, hah?! Cepat! Atau gue panggilin Aksa!"
Sedetik Laras sempat mengernyitkan dahi. Aksa? Kenapa wanita ini bawa-bawa Aksa?
Namun setelahnya Laras ngakak. "Dih? Lo siapa? Lo yang nabrak gue duluan, gak minta maaf. Eh, giliran dibales malah playing fictim. Aneh."
"Sialan, lo, ya!"
Wanita itu hendak menjambak rambutnya, tapi Laras cekatan menahan tangannya. Sorotnya berubah tajam.
"Aaw! Lepasin, sialan!"
Laras menyeringai. "Kenapa? Sakit? Makanya, jangan cari perkara sama gue," ujarnya tajam. Menambah tarikannya pada rambut pirang wanita itu.
"Aaww! Awas lo, jal*ng! Gue bilangin Aksa!"
Aksa lagi. Huh!
"Lo pikir gue peduli. Gue gak takut sama Aksa."
"Lihat saja. Lo bakal dihukum Aksa!"
Laras mengerutkan dahi. Tawanya meledak. "Haha. Aneh lo. Lo siapa, sok-sok an ngaduin gue ke Ak ..."
"Apa yang kamu lakukan, Bunga!"
Mendengar suara berat itu, Laras reflek menoleh. Entah sejak kapan pria itu muncul. Berjarak sepuluh meter dari mereka. Sorot matanya tajam. Lebih tajam dari biasanya.
"Aksa ... Tolongin gue ... Hiks ... Dia tiba-tiba jambak gue, Aksa ...."
Laras terperangah. Apaan? Malah balikin fakta.
"Lepaskan tanganmu, Bunga!" titah Aksa tegas.
Laras malah menambah tarikannya, yang membuat wanita itu kembali menjerit. "Oh, ini maksud lo? Kenapa? Menyala ya rambutnya. Pengen ikut megang? Ini," Laras melangkah maju dengan masih menarik rambut wanita itu. Yang pastinya membuat wanita itu kembali menjerit-jerit kesakitan.
"Aku bilang, lepaskan Laras!"
Laras terkekeh. "Galak amat. Lagian dia jug ...."
Laras meringis. Aksa mencengkram tangannya kuat. Otomatis jambakannya terlepas.
"Keterlaluan kamu, Laras!" Aksa nampak marah. Kilat yang sebelumnya gak pernah dia lihat di mata pria itu.
"Apa sih! Lepas!" Laras memberontak. Tapi Aksa tidak melepaskannya. Tangannya terasa perih. Apalagi tenaga Aksa gak main-main. Dan sialnya, tenaganya mendadak melemas. Ulu hatinya nyeri. Seakan tidak terima dengan perlakuan Aksa yang terkesan membela wanita itu.
Matanya bersitatap dengan iris legam Aksa. Entah kenapa, dirasakannya matanya memanas. Ah, sial! Perasaan Bunga mendominasinya. Padahal, Laras sama sekali tak menginginkannya. Dia biasanya anti nangis.
"Sayang ...." rengekan wanita itu menginterupsi.
"Sakit ... Hiks ...."
Entah Laras harus berterimakasih atau memaki. Yang jelas, karna rengekan manja wanita itu, Aksa melepaskan cengkramannya. Perhatiannya teralih pada wanita yang terduduk di lantai. Penampilannya berantakan. Air matanya deras, seolah dialah korbannya.
Laras meringis. Tangannya merah, perih. Bekas cengkraman Aksa nampak. Pria itu sepertinya mengeluarkan tenaganya hanya untuk sekedar menahannya. Laras merutuk dalam hati.
"Ikut aku."
Laras mengangkat wajahnya. Aksa sudah di depan. Berjalan lebih dulu dengan memapah wanita gila itu. Laras terperangah, menggeleng tak percaya.
"Dia bahkan milih nolongin cewek gila itu daripada istrinya? Parah," decisnya. Laras makin memaki saat wanita itu menoleh mengejek padanya. Laras membalasnya dengan acungan jari tengah.
"Sialan. Dia cari masalah sama gue."
Laras mempercepat langkahnya. Menyusul.
.
.
Memang ada ya, suami yang lebih milih memperhatikan wanita lain dibandingkan istrinya sendiri. Padahal, istrinya juga terluka. Parahnya, sikapnya itu ditunjukkan terang-terangan di depan istrinya. Ah, sial! Nyatanya itu ada. Noh, di depan matanya sendiri. Dan nasibnya, dia jadi istri yang tersakiti. Merollingkan matanya jengah, Laras merutuki nasibnya.
"Aww! Sakit, sayang ...."