Luna merupakan anak pertama Raihan Wicaksono yang berusia 23 tahun, dia bekerja pada di kantor swasta sebagai kepala divisi penjualan. Meskipun ayahnya adalah seorang Ahli Bioteknologi dia sama sekali tidak mewarisi bidang pekerjaan ayahnya.
Luna berkhayal bahwa dia ingin mempunyai suami yang di dapat dari rekanan ayahnya seperti kebanyakan film yang dia tonton, sampai pada akhirnya dia ikut ayahnya bekerja dan bertemulah Luna dengan Renzo anak dari rekan bisnis ayahnya. Usia mereka terpaut lebih dari 10 tahun, Luna langsung jatuh hati begitu melihat Renzo. Tapi tidak pada Renzo, dia sama sekali tidak tertarik pada Luna.
"Itu peringatan terakhirku, jika setelah ini kamu tetap keras kepala mendekatiku maka aku tidak akan menghentikannya. Aku akan membawa kamu masuk ke dalam hidupku dan kamu tidak akan bisa keluar lagi," ancaman dari Renzo.
Cegil satu ini nggak bisa di lawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YPS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1
"Aku sudah siap! Ayo kita berangkat." ucap Luna si gadis cantik dan manis.
Gadis itu sudah siap ikut ayahnya ke kantor dengan memakai setelan berwarna coklat muda di padukan dengan heels hitam dan tas hitam. Rambutnya terurai panjang yang membuatnya semakin menawan.
"Kamu bukannya harus berangkat ke kantor hari ini, kenapa harus ikut papa?" Raihan Wicaksono, seorang Ahli Bioteknologi Farmasi ternama.
"Pa, siapa tahu jodohku memang ada di kantor Papa. Seperti di film-film yang sering aku tonton itu, tiba-tiba berjodoh dengan rekan bisnis Papa. Aku ikut ya hari ini, please?" rengek Luna pada ayahnya, walau usianya sudah 23 tahun tapi dia selalu di manja oleh kedua orang tuanya.
"Tapi kan kamu kerja di kantor orang lain, mana bisa seenaknya libur begini hanya karena ingin ikut papa kerja. Seperti anak kecil saja," Raihan mencoba menolak permintaan Luna.
"Ayolah, Pa. Sekali saja, mumpung papa lagi di sini,"
Raihan tertawa kecil melihat perilaku anak pertamanya itu. Dia tidak bisa menolak, akhirnya memilih menyetujui permintaan sang anak sambil mengulurkan tangannya yang siap di genggam oleh Luna.
Luna si gadis periang itu keluar dari rumah melambaikan tangan pada Ibunya, Dewi dan adiknya, Difan.
"Hati-hati di jalan!" seru Dewi sambil tersenyum hangat. Wanita itu memandang dengan penuh kasih ketika suami dan putrinya berjalan menuju mobil.
.
Sepanjang perjalanan, ia sibuk memoles lipstik tipis di cermin kecilnya. Raihan melirik sekilas dan menggeleng pelan, tapi senyumnya tak lepas dari wajahnya.
"Luna, kamu tahu, di kantor papa tidak ada pria muda yang sebaya denganmu. Jangan terlalu berharap seperti di film-film, ya," ujar Raihan setengah bercanda.
"Kalau ada yang lebih tua dari aku, kenapa tidak? Siapa tahu justru itu takdirku," jawab Luna sambil terkikik, membuat Raihan menghela napas panjang.
"Ada kakek-kakek seperti Papa kamu mau?" goda Raihan, Luna tidak menjawab hanya bisa mengerucutkan bibir mungilnya.
.
.
NeoLife BioTech Solutions
Gedung tinggi yang megah dengan desain modern itu berdiri kokoh di pusat kota. Begitu masuk ke dalam, ia disambut oleh interior yang tak kalah mengesankan.
Luna menggandeng lengan ayahnya, berjalan melewati lorong-lorong panjang menuju ruang pertemuan. Dalam hatinya, ia merasa berdebar. Entah karena suasana yang megah atau bayangan bertemu seseorang yang spesial, Luna tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.
Ketika mereka memasuki ruangan, Adrian Kim William langsung berdiri menyambut. Pria paruh baya itu memiliki aura wibawa yang kuat. Tubuhnya tegap, matanya tajam, dan sikapnya ramah meskipun terlihat sangat formal.
"Raihan, akhirnya kita bertemu lagi," sapa Adrian sambil menjabat tangan Raihan dengan erat.
"Adrian, ini putri saya, Luna," kata Raihan sambil memperkenalkan.
Adrian menatap Luna dengan senyum tipis. "Senang bertemu denganmu, Luna. Dulu saya pernah bertemu denganmu saat usiamu mungkin baru 8 tahun," ujarnya.
Luna hanya tersenyum malu. Sebelum sempat menjawab, pintu ruangan kembali terbuka, dan seorang pria tinggi masuk.
Pria itu tampak sangat berbeda dari Adrian. Tinggi, ramping, dengan kulit putih bersih dan rambut hitam yang rapi. Wajahnya tampan seperti aktor korea favorit Luna, tetapi sorot matanya dingin, seolah tak peduli dengan siapa pun di ruangan itu.
"Renzo, ini Pak Raihan Wicaksono, mitra bisnis kita dan putrinya, Luna," kata Adrian sambil memperkenalkan.
Renzo hanya menunduk sedikit sebagai tanda salam, tanpa menyodorkan tangan atau menunjukkan senyum. Tatapannya hanya singkat mengarah ke Luna lalu kembali pada ayahnya.
"Senang bertemu Anda," katanya singkat, nada suaranya datar tanpa emosi.
Luna merasa jantungnya berdebar. Ia tidak tahu apakah itu karena kagum atau merasa ditantang oleh sikap dingin Renzo. Namun, satu hal yang pasti ia ingin mengenal pria ini lebih jauh.
.
.
Selama Adrian dan Raihan meeting membahas kerja sama mereka kedepan, terlihat hanya Renzo yang memperhatikan dengan baik seraya sesekali memberikan pendapat.
Sedangkan Luna hanya diam tenang di kursinya, sesekali dia memandang Renzo yang sama sekali tidak melirik ke arahnya. Membuatnya semakin penasaran bukan?
"Cuekin aja terus, kamu pasti bakal jadi pacarku sebentar lagi," batin Luna.
Rapat pembahasan mengenai Adrian yang akan menginvestasikan uangnya di perusahaan Raihan berjalan dengan baik. Dia mempercayakan Raihan dapat mengelola uangnya dengan benar, kini obrolan mereka berlanjut ke obrolan santai.
Renzo izin meninggalkan ruangan, dia keluar berjalan ke arah smooking area yang ada di ujung lorong. Ruangan terbuka dengan kursi-kursi kayu menambah nuansa menenangkan.
.
Luna bergegas akan beranjak dari kursinya, namun Raihan mencegahnya dengan satu tangan. Pandangan Raihan tetap tertuju pada Adrian, seolah dia tahu apa yang akan dilakukan anaknya.
"Luna," bisik Raihan dengan nada peringatan.
Namun, Luna dengan senyum kecil yang penuh kepolosan namun licik, menunduk sedikit ke arah ayahnya. "Papa, aku cuma ingin memastikan tamu kita nyaman. Itu tidak salah, kan?"
Raihan menghela napas panjang, tahu bahwa anak sulungnya tidak akan mudah ditahan. Dia melonggarkan genggamannya. Luna tersenyum penuh kemenangan dan segera melangkah keluar ruangan dengan hati-hati.
.
Ketika ia sampai di balkon, pintunya sedikit terbuka dan aroma tembakau samar tercium di udara. Di sana, Renzo berdiri dengan punggung menghadap ke arahnya.
Dia merogoh kantongnya mengambil satu batang rokok, Dia mengangkat rokok itu ke bibirnya, menghisapnya dalam-dalam, lalu melepaskan asap perlahan. Kepulan asap membentuk pola samar sebelum menghilang, seperti pikirannya yang berputar tanpa arah.
"Hai, Pak Renzo." suara lembut Luna memecahkan lamunan Renzo.
Renzo melirik sekilas ke arah pantulan kaca di depannya. Ia bisa melihat sosok Luna berdiri canggung di ambang pintu. "Ada apa?" tanyanya datar, sambil mengambil hisapan terakhir dari rokoknya.
"Senang bisa berkenalan dengan Anda, sepertinya sebentar lagi meeting selesai. Papa memintaku memanggilmu, karena kita akan makan siang bersama,"
Renzo tidak langsung menjawab. Ia memadamkan rokok di asbak dengan gerakan perlahan, seolah sengaja mengambil waktu. Kemudian, ia berbalik, menatap Luna dengan matanya yang dingin namun penuh intensitas.
Renzo mendekat, jarak di antara mereka semakin kecil. "Lucu," gumamnya sambil menyeringai kecil.
Pipi Luna memerah, jantungnya berdegup kencang. Rasanya ia ingin jungkir balik jika bisa saat itu juga, namun dia berusaha tenang.
Renzo menatapnya lebih lama, seolah mencoba membaca apa yang ada di balik senyum Luna. Lalu, dengan nada rendah, ia berkata, "Berhati-hatilah, Luna. Rasa ingin tahu kadang bisa membawamu ke tempat yang tidak kau inginkan."
Tanpa menunggu tanggapan, Renzo berjalan melewatinya, meninggalkan Luna yang masih berdiri di tempatnya. Dalam hati, Luna merasa campuran antara penasaran, takut, dan tertantang.
"Sial, dia terlalu tampan untuk aku abaikan," batin Luna berteriak kegirangan.