Rosa kembali ke Bandung setelah enam tahun menghindari Papa dan Rama, Kakaknya. Selain kembali beradaptasi dengan sekolah baru dan menguatkan hatinya untuk bertemu Rama, Rosa yang kaku juga dikejutkan dengan kedatangan Angkasa. Kakak kelasnya yang adalah anggota geng motor.
Perasaannya dibuat campur aduk. Cinta pertamanya, kebenciannya pada Rama dan Papa, juga rasa kehilangan yang harus kembali dia rasakan.
Bagaimana Rosa yang sulit berekspresi menghadapi semuanya?
Apakah Rosa bisa melaluinya? Apakah Rosa bisa mengembalikan perasaan damainya?
Update setiap hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noey Ismii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Dimana Semuanya Menghilang
Pantai, 4 Januari
Dress pantai Mama berkelebat. Topi lebar untuk menghalau sinar matahari sudah ditali dengan kencang di bawah dagunya. Mata cokelat Mama menyipit, mencari di mana suami dan anak-anaknya bermain. Tanganya menggenggam keranjang berisi mainan. Satu set cetakan istana pasir yang biasa dibawa saat liburan ada di dalam keranjang.
Senyumnya terkembang saat melihat ketiga orang yang dicarinya sedang menggali pasir di tepi pantai. Langkah ringannya membawanya menuju ketiga orang itu. Orang-orang favoritnya sepanjang masa.
“Kok mama ditinggal?” suara lembut mama mendayu manja sambil ikut duduk di samping suaminya.
“Mama lama, sih,” jawab anak perempuannya. Anak perempuan dengan mata cokelat terang dan rambut cokelat gelap. Dia menekuni pasir di tangannya.
“Iya, nih Mah, kan kita udah pengen banget main,” ucap anak lelakinya yang sudah belepotan dengan pasir.
Suara tawa ringan Mama terdengar lembut di telinga mereka. “Oke, oke, anak-anak yang suka main, Mama udah bawain cetakan istananya. Silakan dilanjutkan mainnya,” kata Mama. Tangannya mengelus kedua kepala kecil di kanan kirinya.
Matanya beralih menatap suami di sampingnya. Senyumnya terkembang. “Makasih, Kang, udah nyuri waktu buat kita liburan.”
Tangan belepotan pasir Papa mencubit pipi Mama. “Aku harusnya minta maaf, anak-anak udah mau masuk sekolah, kita baru liburan,” jawabnya.
Mama segera menyapu pipinya yang jadi ikutan berpasir, “Gak apa-apa. Anak-anak tetep suka, aku juga seneng,” Mama memamerkan senyumnya. Kemudian menyandarkan kepalanya di bahu Papa.
Seketika Papa menghentikan tangannya yang sedang ikut menyekop pasir. Memberi kenyamanan pada wanita yang dicintainya itu agar bisa menyandar lebih leluasa. Tangan kirinya merangkul pundak Mama. Menepuk pelan lengan Mama.
“Kita berhenti aja, ya Kang?” Tanya Mama tiba-tiba.
Papa menunggu wanitanya melanjutkan kata-kata.
“Aku udah cukup bahagia. Lebih dari cukup, aku bahagia sekarang. Aku udah cukup dengan kita.”
Papa ikut menegakan badan saat Mama duduk dengan tegak. Menggeser duduknya jadi menghadap suaminya. Mama tersenyum, “Aku udah punya dua anak yang cantik dan ganteng, dan satu anak besar ini,” kata Mama mencubit pipi Papa.
Senyum Papa merekah, lalu mengangguk, “Aku ikut keputusan kamu, Sayang. Mau kita lanjutkan, atau kita stop sampai di sini. Aku gak akan memaksakan apapun sama kamu. Nyatanya aku juga sudah bahagia sekarang.”
Tangan Mama segera merangkul suaminya. “Makasih, Akang sayangku,” katanya dengan manja.
Papa tertawa, “Anything for you, My Love,” jawabnya.
“Terus sayangi aku, terus sayangi anak-anak cinta kita,” bisik Mama. Lalu melepaskan pelukannya. Matanya menatap langsung di dalam mata Papa. Kepala lelakinya itu mengangguk. Tangannya masih melingkar di punggung Mama.
“Ih, Mama sama Papa sayang-sayangan terus. Aku malu dong,” kata anak lelakinya.
Anak perempuan itu tersenyum, “Iya, Mama, malu,” dia membeo.
Anak laki-laki itu berdiri kemudian berlari. “Aku mau main air ya Ma?” tanyanya sambil berlari.
“Dek, ayo main air,” ajaknya.
“Istanaku belum selesai,” teriak anak perempuan.
Mama tertawa, “Hati-hati, Sayang,” katanya dengan teriakan jelas. “Rosa beneran gak ikut main air?” tanya Mama pada anak perempuannya.
“Istana aku belum selesai, Ma,” jawabnya. Dia menatap wanita di depannya sambil nyengir memamerkan gigi putihnya.
Tangan Mama terulur mengelus kepala Rosa, “Oke. Mama nemenin Rama dulu, kamu tinggal sama Papa dulu, ya,” kata Mama sambil berdiri untuk mengejar anak lelakinya.
Rosa kecil mengangguk.
“I love you,” bisik Mama sebelum berlari mengejar Rama.
Rosa menatap Mamanya yang berlalu. Melihat Mama yang mengejar-ngejar Rama. Kemudian bermain dengan ombak. Rosa tersenyum, matanya kembali fokus pada istana pasir di hadapannya.
Tangan Papa membantu mengisi ember istana Rosa. Gadis itu tersenyum berterima kasih.
Kemudian terdengar teriakan itu. Teriakan dari ibu-ibu yang juga bermain di bibir pantai. Papa mengangkat kepalanya. Mencari dua orang yang tadi sedang berlari-lari. Tapi tidak ditemukannya keduanya. Istrinya dan anak lelakinya.
Seorang penjaga pantai langsung berlari. Tangannya menekan tombol di ponselnya. Meminta bantuan.
Papa segera berdiri. “Rosa diam disini sampai Papa kembali. Jangan kemana-mana. Mengerti?” ucap Papa dengan tegas.
Rosa memandang Papanya yang tatapannya beralih ke kiri dan ke kanan. Gadis kecil itu tidak sempat menjawab, Papanya sudah berlari ke arah ombak.
“Istri dan anak laki-laki saya tidak terlihat, Pak,” katanya mendekati sang penjaga pantai.
Seorang ibu yang menggandeng anak perempuannya mendekati papa. “Itu yang kebawa ombak ibunya sama anaknya, Pak. Tadi tiba-tiba ombaknya bergulung, anaknya kebawa duluan. Terus ibunya nangkap tangannya, tapi kebawa juga,” jelasnya.
Jantung papa terasa berhenti seketika. Napasnya memburu. Tadi dia masih melihat keduanya disana. Tapi dalam sekejap sudah tak terlihat lagi. Semua doa diucapkan papa, memohon Tuhan bisa menyelamatkan keduanya.
“Pak, tolong, itu istri dan anak saya. Tolong, Pak,” Papa menggapai penjaga pantai.
Seorang lagi datang dan mencari-cari keberadaan keduanya. Satu orang sudah berlari ke antara karang-karang, sama berusaha mencari tanda-tanda dari gulungan ombak.
Mata lelaki itu menatap ke segala penjuru pantai. Kakinya sudah menyentuh ombak. Tetapi seorang penjaga pantai lainnya menangkapnya.
“Jangan gegabah, Pak, kita gak mau ada yang terbawa lagi,” katanya. Mencoba menenangkan pria yang sedang mencari itu.
“ADA!”
Satu suara itu menghidupkan api harapan Papa. Dia berlari menuju lelaki yang sedang mengambil tubuh kecil di antara karang.
Sang penjaga pantai melihat wanita yang menyerahkan anak lelakinya yang sudah berlumuran darah dan pasir. “Tunggu, Bu, pegangan erat ke karang,” ucap penjaga pantai.
Dia mengambil anak lelaki itu.
“Anak saya, anak saya dulu,” suara wanita itu lirih. Kehabisan napas.
Seorang penjaga pantai lainnya datang, menerima anak lelaki yang terkulai dengan darah mengucur dari pundak kirinya. Luka terbuka yang memerlihatkan bagian dalam tubuhnya.
Papa menatap nyalang dengan air matanya. “Rama, nak,” panggil Papa sambil menerima tubuh tak bergerak Rama. Kemudian kembali menatap penjaga pantai.
“Istri saya pak?”
“Tadi sudah terlihat, Pak, tapi kembali terbawa.”
Lelaki itu menggiring papa menjauhi pantai. “Kita selamatkan dulu anaknya, Pak, istri bapak sedang dicari.”
Papa hanya mengangguk, tak tahu bagaimana. Dia hanya mengikuti instruksi yang diberikan. Melangkah mengikuti lelaki penjaga pantai itu. Naik di motornya kemudian melaju kencang menuju fasilitas kesehatan terdekat.
Tak lama kemudian, beberapa orang membawa sesosok tubuh wanita. Seseorang mencoba memberikan CPR. Semenit, dua menit, sepuluh menit berlalu.
“Gak ada,” ucap seseorang.
Suara ambulance meraung-raung mendekat. Beberapa orang lainnya berlari membawa tandu. Memindahkan tubuh tak berdaya itu ke atasnya. Lalu kembali berlari membawanya. Rok basah itu berkelebat saat melewati gadis kecil yang menatap seluruh kejadian.
Sebuah topi pantai jatuh di depannya. Topi yang sama yang tadi dipakai mamanya.
Gadis itu berkedip. Tak ada ekspresi di matanya.
-o0o-
Mata cokelat terangnya terbuka, berkedip beberapa kali sambil menyesuaikan dengan cahaya di depannya. Dia berada di pelukan Papanya. Dia dalam mobil dengan sebuah peti di depannya. Suara meraung-raung dari luar mobil meyakinkannya bahwa dia berada di dalam ambulance.
Dia melirik Papanya yang menutup matanya. Sisa lelehan air mata tercetak di sepanjang garis pipinya. Hidung mancung Papanya terlihat memerah. Bibir Papa bergemetar. Antara tangis dan doa.
Rosa kecil kembali menatap peti. Kemudian mengedarkan pandangannya. Tapi dia tidak melihat siapapun lagi disana. Selain dia dan Papanya. Dia berkedip. Cahaya di matanya menghilang.
“Mama,” panggilnya.
“Papa, Mama ketinggalan,” katanya seperti tersadar. Dia memberontak di pelukan Papa. Papa mengeratkan pelukannya. “Papa, Mama mana? Mama ketinggalan. Ayo jemput dulu Mama. Aku mau ke Mamaaa,” katanya meraung.
Masih berusaha melepaskan diri dari Papa.
Tapi Papa makin erat memeganginya.
“Mama udah pulang,” kata Papanya lirih.
“Mau ke Mamaaa...” Rosa masih menangis.
Berteriak dan mencoba melepaskan diri.
“Aku mau Mamaaa!”
Papa masih memeluk anak perempuannya yang berusaha melepaskan diri.
“Mamaaa!”
“DIAM, ROSA!”
Suara Papanya membuat Rosa melonjak kaget, dia tidak pernah mendengar suara tajam itu dari papanya. Dia menghentikan tangisnya. Menghentikan teriakannya. Menghentikan berontaknya. Menghentikan semua keinginannya.
“Maaf, Rosa, maaf,” bisik Papa kemudian. Sambil memeluknya kembali. “Mama lagi pulang bareng sama kita, Sayang.” Katanya lagi.
Tapi Rosa tidak mendengarnya. Benaknya sudah penuh dengan pemikirannya.
Papa tidak menyayanginya. Papa marah padanya.
-o0o-