NovelToon NovelToon
Dokter Bar-Bar Kesayangan Mafia Tampan

Dokter Bar-Bar Kesayangan Mafia Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Crazy Rich/Konglomerat / Dokter Genius / Beda Usia / Roman-Angst Mafia
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: Seraphine E

Dibesarkan oleh kakeknya yang seorang dokter, Luna tumbuh dengan mimpi besar: menjadi dokter bedah jantung. Namun, hidupnya berubah pada malam hujan deras ketika seorang pria misterius muncul di ambang pintu klinik mereka, terluka parah. Meski pria itu menghilang tanpa jejak, kehadirannya meninggalkan bekas mendalam bagi Luna.

Kehilangan kakeknya karena serangan jantung, membuat Luna memilih untuk tinggal bersama pamannya daripada tinggal bersama ayah kandungnya sendiri yang dingin dan penuh intrik. Dianggap beban oleh ayah dan ibu tirinya, tak ada yang tahu bahwa Luna adalah seorang jenius yang telah mempelajari ilmu medis sejak kecil.

Saat Luna membuktikan dirinya dengan masuk ke universitas kedokteran terbaik, pria misterius itu kembali. Kehadirannya membawa rahasia gelap yang dapat menghancurkan atau menyelamatkan Luna. Dalam dunia penuh pengkhianatan dan mimpi, Luna harus memilih: bertahan dengan kekuatannya sendiri, atau percaya pada pria yang tak pernah ia lupakan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5 : Om Ganteng, menikah yuk!!!

Pagi itu, embun masih menggantung di rerumputan yang mengelilingi klinik kecil milik Antonius. Udara segar menyeruak, bercampur dengan aroma khas kayu basah dan bunga liar yang tumbuh di sekitar. Lucius duduk santai di bangku kayu di teras klinik, secangkir kopi panas di tangannya. Meski gerakannya belum sepenuhnya leluasa, dia sudah cukup sehat untuk menikmati rutinitas pagi yang, meskipun sederhana, memiliki pesonanya sendiri.

Namun, suasana damai itu segera dipecahkan oleh suara gaduh yang sangat akrab. Dari sudut matanya, Lucius melihat Rudolf berdiri di halaman dengan sapu di tangan, wajahnya memerah karena frustasi. Di depannya, Luna berdiri dengan tangan bersilang di dada, ekspresi penuh superioritas yang hanya dia yang bisa miliki.

"Kau pikir menyapu itu cuma soal menyentuh tanah dengan sapu?" tanya Luna dengan nada mencemooh, matanya menyipit seperti sedang menilai seorang murid yang gagal total dalam ujian dasar. "Lihat ini," katanya sambil merebut sapu dari tangan Rudolf. Dengan gerakan dramatis, Luna mulai menyapu, melakukannya dengan gaya yang sangat teatrikal—lengannya diayunkan lebar-lebar seperti seorang pesulap yang mencoba menghipnotis penonton.

Rudolf memandang dengan tatapan campuran antara takjub dan bingung. "Apa yang kau lakukan? Menyapu atau menari balet di halaman?"

Luna menghentikan gerakannya dan memutar badan dengan penuh gaya, mengarahkan ujung sapunya ke dada Rudolf seperti seorang ksatria yang baru saja menang duel. "Setidaknya aku tahu bagaimana membuat halaman ini bersih, tidak seperti kau, yang hanya membuat debu pindah dari satu sudut ke sudut lain!"

Rudolf mendesah keras, lalu merebut sapu itu kembali dengan ekspresi masam. "Dengar, gadis kecil," katanya, menekankan setiap kata seolah sedang berbicara kepada anak bandel. "Aku pernah bertahan dari serangan musuh bersenjata. Menyapu halaman bukanlah sesuatu yang bisa membuatku kewalahan."

"Hei pria tua," balas Luna cepat, matanya berkilat. "Terlihat jelas, menyapu halaman lebih sulit daripada mempertahankan egomu!"

Lucius yang sedari tadi menjadi penonton diam di teras tidak bisa menahan diri lagi. Dia tertawa terbahak-bahak, hampir menjatuhkan cangkir kopinya. Tangan yang tidak memegang cangkir memegangi perutnya, dan matanya berair karena tawa yang begitu lepas.

"Kalau kalian terus seperti ini, aku takut kalau nanti kalian malah akan menghancurkan halaman," katanya sambil menyeka air mata tawanya.

Luna dan Rudolf sama-sama menoleh dengan ekspresi tak percaya, seperti dua anak yang baru saja dimarahi oleh guru karena terlalu gaduh di kelas. Namun, alih-alih malu, keduanya justru saling menyalahkan.

"Ini salah dia!" kata mereka bersamaan, menunjuk satu sama lain dengan gerakan yang begitu sinkron sehingga Lucius tertawa lebih keras lagi.

Antonius muncul dari pintu dengan secangkir teh di tangannya, menatap mereka bertiga dengan alis terangkat. "Apa yang terjadi di sini?" tanyanya santai, meski jelas-jelas terbiasa dengan keonaran pagi seperti ini.

"Rudolf tidak tahu cara menyapu!" seru Luna.

"Luna terlalu perfeksionis!" Rudolf membalas dengan nada hampir merajuk.

Antonius menggeleng pelan sambil menyeruput tehnya. "Sejujurnya, aku tidak tahu apakah harus bangga karena halaman kita akan bersih sempurna, atau khawatir karena kalian berdua akan membuat pasien takut datang ke klinik."

Mendengar itu, Rudolf dan Luna akhirnya diam. Rudolf hanya mendengus sambil kembali menyapu, kali ini dengan gerakan lebih hati-hati namun masih terlihat kesal. Luna, di sisi lain, berdiri dengan tangan di pinggul, mengawasi seperti seorang jenderal yang memimpin pasukannya.

Lucius menggelengkan kepala sambil tertawa kecil, kembali menikmati kopinya.

Tak lama, suara langkah kaki Amelia yang riang terdengar mendekati teras klinik. Seperti biasa, ia datang dengan senyuman lebar, rambutnya yang dikuncir dua melambai seiring gerakannya. Namun, ada yang berbeda kali ini. Di tangannya, ia membawa sebuah kotak bekal berwarna merah muda dengan pita kecil menghias tutupnya.

Luna yang sedang mengikat tali sepatunya di depan pintu klinik hanya menatap temannya dengan dahi berkerut. "Apa itu?" tanyanya dengan nada curiga.

"Rahasia," jawab Amelia sambil mengedipkan sebelah matanya, lalu berjalan melewati Luna menuju Lucius, yang sedang duduk di kursi kayu di teras, membaca koran dengan tenang. Rudolf berdiri di dekatnya, mengelap debu dari sebuah meja kecil.

Tanpa basa-basi, Amelia meletakkan kotak bekal itu di atas meja di depan Lucius, membungkuk sedikit, dan berkata dengan nada yang manis namun penuh percaya diri. "Om, aku membuat makanan ini khusus untuk om. Bukti kalau aku bisa menjadi istri yang baik. Om ganteng, apa om mau menikah denganku?"

Hampir saja Lucius tersedak oleh udara sendiri. Dia menurunkan korannya perlahan, menatap Amelia dengan mata melebar, seolah baru saja mendengar sesuatu yang sama sekali di luar nalar. "M-maaf, apa?" katanya tergagap, wajahnya mencoba mempertahankan ketenangan meskipun telinganya mulai memerah.

Rudolf, yang awalnya sibuk dengan lapnya, berhenti di tengah gerakan dan menatap kejadian itu dengan mulut sedikit terbuka. Sementara itu, Luna memutar bola matanya dengan dramatis, ekspresi di wajahnya benar-benar mencerminkan "aku siapa, aku dimana?"

"Amelia," gumam Luna dengan nada datar sambil menutup pintu belakangnya dengan keras, "kau tahu dia itu satu setengah kali umurmu, kan?"

"Tapi dia ganteng!" jawab Amelia tanpa sedikit pun rasa malu. "Dan lihat ini, aku membuatkan bekal dengan penuh cinta. Pasti enak!"

Lucius menelan ludah, menatap kotak bekal itu dengan waspada seperti sedang menghadapi sebuah jebakan. "Ini... luar biasa," ujarnya hati-hati, mencoba memilih kata yang tidak akan memperparah situasi. "Tapi aku rasa aku terlalu tua untuk—"

"Sama sekali tidak!" Amelia memotong cepat sambil menyilangkan tangan di dada, matanya berbinar. "Cinta itu tidak kenal usia, om ganteng!"

Antonius, yang duduk disamping Lucius memandangi adegan itu dengan senyum kecil di wajahnya. "Anak muda memang penuh kejutan," katanya sambil terkekeh pelan. "Lucius, aku rasa kau baru saja mendapat lamaran paling unik pagi ini."

Luna menghela napas berat dan melipat tangannya di dada. "Amelia, serius, kau harus berhenti membaca novel roman murahan. Lihat apa yang kau lakukan sekarang. Lucius hampir pingsan karena malu."

Lucius akhirnya mengangkat tangannya, mencoba mengambil kendali situasi. "Amelia, terima kasih atas bekalnya, sungguh," katanya sambil memberikan senyuman yang terlihat canggung. "Tapi aku rasa... aku bukan pria yang tepat untukmu."

"Oh, jangan khawatir, om!" balas Amelia dengan ceria. "Aku punya banyak waktu untuk membuat om berubah pikiran."

Luna menatap langit, seolah meminta kesabaran dari semesta, sementara Rudolf akhirnya tertawa terbahak-bahak, suaranya bergema di halaman klinik. "Gadis kecil, aku suka keberanianmu," katanya sambil memukul pundak Lucius dengan lembut. "Tapi aku khawatir bosku ini terlalu kaku untuk menerima lamaran dadakan seperti itu."

Lucius memandang Rudolf dengan tajam, wajahnya masih memerah, sebelum mengalihkan perhatian ke kotak bekal itu. "Kalau begitu, aku akan mencobanya. Setidaknya aku tidak ingin mengecewakan kokinya."

Amelia tersenyum lebar, sementara Luna memutar tubuhnya menuju jalan. "Ayo, Amelia. Kita akan terlambat ke sekolah. Dan tolong, berhenti membuatku malu di depan penghuni klinik."

Amelia berlari mengejar Luna sambil melambai riang kepada Lucius. "Sampai jumpa, om ganteng!"

Lucius hanya bisa menghela napas panjang, sementara Antonius menahan tawa di balik cangkir tehnya.

1
dheey
bagussss luna!!!
Ratna Fika Ajah
Luar biasa
Nurwana
mo tanya thor... emang umur Luna dan Lucius berapa???
Seraphine: Perbedaan usia 8 tahun
Jadi waktu Luna masih SMA dia 18 tahun.
dan si Lucius ini ngempet dulu buat deketin Luna sampai si Luna lulus jadi dokter dulu, karena bab2 awal dia masih abege 🤣✌️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!