Asmaralda, seorang gadis buta yang penuh harapan menikah dengan seorang dokter. Suaminya berjanji kembali setelah bertemu dengan orang tua, tapi tidak kunjung datang. Penantian panjang membuat Asmaralda menghadapi kesulitan hidup, kekecewaan dan keraguan akan cinta sejati. Akankah Asmaralda menemukan kebahagiaan atau terjebak dalam kesepian ???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meindah88, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.35
Terlihat Abrisam berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan langkah yang semula berat namun perlahan dipenuhi semangat.
Wajahnya tampak kusam, mencerminkan kelelahan atau mungkin pergulatan batin yang baru saja dia lewati.
Namun, jauh di dalam dirinya ada sesuatu yang tumbuh sebuah perasaan harap, suatu keyakinan yang baru saja muncul. Sampai akhirnya langkahnya membawanya ke hadapan sang ibu, Rani.
Tatapan Rani yang semula tajam karena kekesalannya kini meredup menjadi lebih sayu, seperti sedang menunggu penjelasan.
“Kamu dari mana saja, Nak? Ayah sejak tadi menanyakanmu,” ucapnya dengan nada lirih. Abrisam menarik napas dalam-dalam, seakan mencoba menenangkan diri sebelum mengeluarkan kata-kata.
Ia mengusap dadanya pelan, lalu mengangkat kedua tangannya. Dalam hatinya, ia begitu sangat bersyukur.
“Alhamdulillah ya, Ma...” bibirnya kini tersungging menjadi senyuman lebar yang begitu tulus.
“Ini berita yang sangat bahagia.” imbuhnya lagi.
Dia tidak menjelaskan apa yang terjadi, tapi rasa syukur di wajahnya berkata lebih banyak dari seribu kata.
Deretan giginya yang kini terlihat dalam senyumannya seakan memberi isyarat bahwa sebuah kelegaan akhirnya menghampirinya. Ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya, sesuatu yang tidak hanya terlihat dari langkahnya yang mulai tegas tetapi juga dari pancaran matanya yang penuh harapan.
Baru saja ia masuk ke dalam ruangan tersebut, Mama Rani berpamitan dengan singkat,
" Mama ingin menemui dokter Alvaro dulu, ya." Ucapnya, lalu bergegas melangkah keluar tanpa menoleh lagi.
Abrisam hanya bisa menatap punggung ibunya, ia bisa melihat kekecewaan terpancar dari tatapan yang terasa begitu dingin dan jauh.
Dalam kebisuan, pikiran bercabang ke segala arah. Ia mencoba menyembunyikan kekalutan di hati, tetapi rasa cemas itu terlalu kuat, menghantam tanpa ampun.
Bagaskara, baru saja menelepon, suaranya terdengar berat saat menyampaikan kabar bahwa Hana, calon istrinya, kini sedang dirawat di rumah sakit.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa hal ini harus terjadi sekarang, ketika semuanya seharusnya mulai berjalan lancar?
Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di benak, namun tak satu pun yang mampu dipecahkan. Ia hanya berharap mereka bisa menemukan jalan keluar.
" Bagaimana Abi bisa tenang jika rasa takut dan khawatir terus membelenggu? Hana, gadis itu sudah seperti bagian dari keluarga kami. Tuhan, tolong beri kami kekuatan untuk melewati ini." lirihnya.
" Semoga Ayah cepat sembuh agar kami bisa pulang secepatnya. Saya tak ingin kehilangan wanitaku yang ke-dua kalinya dalam hidup saya lagi," gumam Abrisam dalam kesendirian. Matanya tertuju pada Ayahnya yang baru saja terjaga dari tidur. Dengan langkah pelan, ia mendekati sang Ayah, menyentuh tangan yang sudah mulai keriput itu dengan penuh kasih sayang.
" Apa kabar, Ayah?" suara Abrisam terdengar lembut.
David hanya tersenyum sambil menatap wajah putranya, belum mampu mengucapkan sepatah kata pun. Hanya dia dan Tuhan yang tahu apa yang menyebabkan kondisinya demikian.
"Ayah sudah baikan?" tanya Abrisam sekali lagi. "Iya," jawab David dengan suara lemah yang nyaris tak terdengar oleh Abrisam.
Mendengar suara ayahnya, Abrisam kembali bernafas lega, sempat khawatir karena ayahnya belum bisa berbicara, ternyata itu hanyalah kekhawatiran yang berlebihan.
"Kenapa Ayah menangis?" tanya Abrisam, melihat air mata David yang jatuh begitu saja. Tangan David yang lemah terangkat pelan, mengusap kepala Abrisam yang bingung menatapnya.
"Kenapa selama ini kamu tidak pernah jujur dengan kami?" ucap David dengan suara pelan. Abrisam, yang tak mengerti maksud ayahnya, semakin menatapnya dengan kebingungan. "Abi tidak mengerti apa yang Ayah katakan," ucapnya.
David hendak melanjutkan bicara, tetapi Mama Rani mendekat.
"Syukurlah Ayah sudah bangun. Baru saja saya bertemu dengan dokter."
Apa kata Dokter Alvaro, Ma?" tanya Abi dengan nada mendesak. Sebelum Mama Rani sempat menjawab, Rani tersenyum lembut.
"Sabar, sayang. Dengarkan Mama dulu," katanya, terhibur oleh kekhawatiran putranya.
" Beberapa hari lagi ayah diperbolehkan pulang oleh dokter."ucapnya.
"Ayah sudah tak sabar lagi ingin pulang, Ma. Rumah sakit ini rasanya seperti penjara. Katakan pada dokter kalau ayah tidak betah lagi di sini." ucap David.
David menghela napas panjang. Perasaan jenuh menghantam, menghitung hari yang terasa seperti bulan di tempat ini. Ia tahu, harus bersabar demi pemulihannya sendiri, tetapi otaknya seakan memberontak.
Rumah sakit ini terlalu sunyi, terlalu jauh dari kehidupan nyata di luar sana.
Ia ingin pulang, kembali ke Indonesia, bertemu dengan keluarga, merasakan hangatnya rumah, bukan sekadar berada di ruangan dingin dengan bau antiseptik yang menusuk hidung.
" Tidak baik menentang keputusan dokter, Ayah. Bagaimana kalau kondisi ayah belum terlalu pulih." ucap Abrisam membujuk.
""Berapa lama lagi Ayah harus bertahan di sini? Apakah ini belum cukup? Bukankah Ayah sudah merasa lebih baik? Lagipula, kamu kan dokter, Nak. Kamu bisa merawat Ayah di rumah," ucapnya dengan nada keras kepala.