Gray adalah seorang anak yang telah kehilangan segalanya karena Organisasi jahat yang bernama Shadow Syndicate. Dia bahkan dijadikan Subjek Eksperimen yang mengerikan, namun dalam perjalanannya untuk menghentikan Organisasi tersebut, ia menemukan teman yang mengalami nasib sama sepertinya. Bagaimana perjalanan Gray untuk menjadi dewa dalam dunia fantasi yang dipenuhi bahaya dan kekuatan sihir ini akan berjalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
006 - Neraka (2)
"Menarik," gumam Jordan saat mengamati mereka bertiga.
Tetapi di antara mereka bertiga, Gray adalah yang paling brutal.
Ia tidak pernah menahan diri. Saat berlatih bertarung, ia akan terus menyerang tanpa henti, bahkan ketika lawannya sudah tidak bisa berdiri lagi. Saat belajar mengendalikan sihir, ia akan memaksakan tubuhnya sampai batas, meskipun itu berarti merusak dirinya sendiri.
Jordan memperhatikannya dengan penuh minat.
"Apa yang membuatmu terus berjuang?" tanya Jordan suatu hari saat melihat Gray yang babak belur tetapi masih mencoba berdiri.
Gray menatapnya dengan mata penuh kebencian.
"Tidak ada yang perlu dijelaskan padamu."
Jordan hanya tertawa.
"Bagus. Aku ingin melihat sejauh mana kau bisa bertahan, Gray."
Gray tidak menjawab. Ia hanya mengepalkan tangannya, merasakan energi kegelapan di dalam tubuhnya yang semakin kuat.
Hari itu, sesuatu dalam dirinya semakin matang.
Bukan hanya sihirnya.
Tapi niat membunuhnya.
Pelatihan terus berlanjut. Rasa sakit dan penderitaan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari Gray. Namun, di dalam dirinya, kebencian terhadap Jordan semakin membara, perlahan mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih berbahaya.
Jordan menyadari ini. Setiap hari, ia sengaja memprovokasi Gray, memukulnya lebih keras, memberinya hukuman lebih berat dibanding anak-anak lain. Jordan ingin melihat batasnya.
Tapi Gray tidak pernah menyerah. Setiap kali ia terjatuh, ia akan bangkit kembali. Luka-luka di tubuhnya semakin banyak, tetapi tatapannya tidak pernah kehilangan sinar penuh kebencian itu.
Jazul dan Serlina memperhatikan perubahan ini.
"Gray... kau baik-baik saja?" tanya Serlina suatu malam setelah pelatihan brutal selesai.
Gray menatapnya sekilas, lalu kembali berbaring. "Apa pedulimu?"
Serlina menggigit bibirnya. "Aku hanya... tidak ingin kau mati sia-sia."
Gray tertawa kecil. "Aku tidak akan mati. Tidak sampai aku membunuhnya."
Serlina terdiam. Ia bisa merasakan intensitas kebencian dalam suara Gray.
Jazul, yang duduk di sudut ruangan, ikut berbicara. "Kau benar-benar berpikir bisa membunuh Jordan?"
Gray menoleh ke arahnya. "Cepat atau lambat, ya."
Jazul menghela napas. "Gila. Kau benar-benar gila."
Gray tidak menjawab. Ia menutup matanya, membiarkan pikirannya dipenuhi bayangan Jordan.
Suatu hari nanti, ia akan menghancurkan pria itu.
Dengan kedua tangannya sendiri.
---
Jordan berdiri di depan anak-anak yang tersisa setelah pelatihan brutalnya. Wajahnya tanpa ekspresi, seolah-olah mereka bukan manusia, melainkan sekadar angka dalam percobaannya.
“Pelatihan kalian selesai,” katanya dengan suara berat. “Sekarang saatnya ujian terakhir.”
Di belakangnya, sebuah portal raksasa berwarna hitam keunguan berputar perlahan, mengeluarkan aura mengerikan yang terasa seperti menghisap segalanya. Udara di sekitar portal itu bergetar, seolah-olah realitas sendiri tidak stabil di sekitarnya.
Jordan berjalan mendekat, menatap mereka satu per satu dengan mata tajamnya.
“Di balik portal ini adalah Abyss,” lanjutnya. “Kalian punya waktu 30 hari. Tidak ada aturan. Tidak ada bantuan. Hidup atau mati, itu urusan kalian.”
Beberapa anak langsung gemetar ketakutan, wajah mereka pucat. Mereka telah mengalami banyak hal di laboratorium ini, tapi ini adalah sesuatu yang jauh lebih mengerikan.
Jordan tersenyum tipis. “Selamat datang di tahap akhir eksperimen. Sekarang, masuk.”
Tanpa peringatan, dia mengangkat tangannya dan mengaktifkan sesuatu di dinding. Cahaya merah menyala, dan lantai di bawah anak-anak tiba-tiba terbuka. Mereka terjatuh ke dalam kehampaan, tersedot masuk ke portal tanpa bisa melawan.
Gray merasakan tubuhnya tertarik dengan kecepatan tinggi, seolah-olah dirinya dilempar ke tengah badai. Suara bergemuruh memenuhi kepalanya, lalu tiba-tiba semuanya menjadi hening.
Saat ia sadar kembali, kakinya sudah menyentuh tanah yang keras dan berpasir. Udara di sekitarnya terasa berat, seakan ada sesuatu yang menekan paru-parunya.
Dunia di depannya kelam. Langit berwarna merah tua, dengan matahari redup yang hampir tak memberikan cahaya. Angin bertiup lambat, membawa aroma busuk yang sulit dijelaskan.
Gray baru saja hendak mengamati sekelilingnya ketika ia mendengar suara geraman rendah dari belakang. Ia menoleh cepat—dan melihat lima monster besar dengan mata menyala merah, menatapnya dengan kelaparan.
Tubuh Gray menegang. Abyss baru saja dimulai, dan ia sudah berada dalam bahaya mematikan.
Gray menatap lima makhluk besar di depannya. Mereka berbentuk seperti kelabang raksasa, dengan tubuh hitam berkilap seperti baja dan puluhan kaki tajam yang mencakar tanah saat mereka bergerak. Mata merah mereka berkilauan dalam kegelapan, memancarkan niat membunuh yang jelas.
Tapi Gray tidak takut.
Darahnya mendidih, bukan karena ketakutan, tetapi karena dorongan untuk bertarung. Ini adalah ujian pertamanya di Abyss, dan ia tidak akan kalah.
Kelabang pertama menyerang, tubuhnya melesat cepat ke arahnya seperti cambuk raksasa. Gray segera mengangkat tangannya, energi gelap mulai berputar di sekelilingnya. Dalam sekejap, bayangan pekat membentuk dinding hitam di depannya.
BOOM!
Kelabang itu menabrak dinding energi, tetapi tidak mampu menembusnya. Gray mengambil kesempatan itu. Dengan cepat, dia mengalirkan lebih banyak energi ke tangannya, menciptakan bilah kegelapan yang tajam. Dengan satu tebasan, dia menyerang balik.
SLASH!
Potongan energi gelapnya melesat ke depan, menebas kaki-kaki kelabang itu. Makhluk itu mengeluarkan suara melengking dan jatuh ke tanah, menggeliat kesakitan.
Tapi Gray tidak punya waktu untuk merayakan. Empat kelabang lainnya sudah bergerak, mengepungnya dari berbagai arah.
Tanpa ragu, Gray mengangkat kedua tangannya. Bayangan mulai berkumpul, membentuk tangan raksasa dari kegelapan di belakangnya.
“Tinggal kalian berempat,” gumamnya pelan.
Kelabang kedua mencoba menyerangnya dari samping. Namun, tangan hitam raksasa itu langsung mencengkeram tubuhnya dan meremasnya dengan keras. Suara tulang retak terdengar, lalu kelabang itu terjatuh ke tanah, tak bergerak.
Dua lainnya menyerang bersamaan dari depan dan belakang. Gray melompat tinggi ke udara, menghindari serangan mereka dengan gesit. Saat berada di atas, ia mengumpulkan energi gelap di bawah kakinya dan menghentak udara, menciptakan dorongan yang membawanya melesat turun ke arah salah satu kelabang.
DUARR!
Ia mendarat dengan keras di punggung kelabang itu, energi gelapnya meledak dan menghancurkan bagian tubuh makhluk itu. Darah hitam menyembur ke mana-mana.
Kelabang terakhir menyadari bahaya dan berusaha melarikan diri. Namun, Gray tidak berniat membiarkannya pergi.
Dia mengangkat tangannya, membentuk tombak hitam panjang dari bayangan. Dengan akurasi tinggi, ia melemparkannya.
TUSSH!
Tombak itu menancap tepat di kepala kelabang terakhir. Makhluk itu berhenti bergerak, tubuhnya bergetar sebelum akhirnya jatuh ke tanah tanpa nyawa.
Gray berdiri di tengah tumpukan mayat kelabang raksasa. Napasnya sedikit memburu, tetapi tidak ada rasa gentar di wajahnya.
Dia baru saja tiba di Abyss, dan ini baru permulaan.
Gray menarik napas dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih terpacu setelah pertarungan. Darah kelabang hitam yang kental menggenangi tanah di sekelilingnya, mengeluarkan bau busuk yang menusuk hidung.
"Abyss, huh..." Gray bergumam pelan, mengamati sekelilingnya.
Dunia ini begitu berbeda. Langit di atasnya kelam, dengan cahaya matahari yang redup seperti senja yang tak pernah berakhir. Tanah di bawahnya kering dan retak, seolah-olah kehidupan telah lama mati di sini. Pepohonan kering berdiri seperti tangan-tangan kurus yang menjulur ke udara, tak memiliki daun sama sekali.