Dicintai Manager yang dingin secara tiba-tiba padahal tidak mau buka hati buat siapa pun? Lalu dihantui oleh teror masa lalu sang kakak, bagaimana perasaan Ayuni selama bekerja di tempat barunya? Terlebih ternyata Manager yang perhatian dengan Ayuni memiliki rahasia besar yang membuat Ayuni hancur saat gadis itu telah memberikan hatinya. Bahkan beberapa teror dan hal tidak terduga dari masa lalu yang tidak diketahui terus berdatangan untuk Ayuni.
Kira-kira bagaimana Ayuni akan menghadapi semua itu? Dan masa lalu apa yang membuat Ayuni di teror di tempat kerjanya? Apa ada hubungannya dengan sang kakak?
Ikuti ceritanya untuk temukan jawabannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yhunie Arthi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31. BERUBAH
...“Benar, mungkin seharusnya seperti ini....
...Tak saling sapa....
...Tak saling bicara....
...Tak juga bersikap ramah....
...Tak masalah jika cintaku salah...
...Asal kau tetap baik-baik saja.”...
Bantingan tumpukan kertas di hadapanku membuatku bungkam. Amarah terlihat jelas di wajahnya, menatapku seolah aku adalah hal paling menjijikan untuk dilihat. Jujur saja aku tidak mengerti kenapa aku mengalami situasi ini, padahal beberapa jam lalu aku masih baik-baik saja. Aku sudah menyelesaikan seluruh pekerjaanku, tumpukan kertas yang menggunung di mejaku telah kandas setelah berusaha keras tanpa henti menyelesaikannya karena terus bertambah setiap harinya sejak aku kembali bekerja.
Tapi sekarang, bukannya pujian atau sekedar menerima hasil pekerjaanku tanpa komentar, justru aku menerima amukan.
“Sebenernya apa yang kamu kerjain dari kemaren, hah?!” suara Bos Juna menggelegar dalam ruangan kedap suara ini, membuatku bergidik ngeri, “Saya suruh kamu revisi artikel-artikel ini dan terjemahin tapi kenapa banyak banget kesalahan yang nggak kamu koreksi? Kamu pikir kerjaan ini main-main apa?!”
Bibirku seolah lengket, tak ada satu pun ucapan yang keluar walau itu hanya untuk membela diri. Aku tidak mengerti dimana salahku, aku sudah mengerjakannya seperti biasa, dan melupakan waktu tidurku selama berhari-hari agar semua cepat selesai, tapi kenapa sekarang aku yang justru kena marah.
“Kamu perbaiki lagi, buang kalimat atau kata-kata yang nggak penting. Itu aja bisa kamu lakuin, kan?” tukasnya yang kembali menyerahkan seluruh tumpukan berkas itu kepadaku. Nyaris aku terjermbab ke belakang jika saja aku tidak menahan diri dengan tumpukan berkas yang sudah ada di tanganku tiba-tiba.
“Akan saya perbaiki lagi, permisi,” kataku, hanya itu yang sanggup keluar dari mulutku setelah sejak tadi bungkam.
“Seharusnya nggak kutawarkan kembali pekerjaan ini untuknya,” gerutu Bos Juna yang masih terdengar jelas di telingaku.
Rasanya aku ingin menangis saat ini juga. Bukan hanya karena dimarahi atas hal tidak jelas, tapi juga karena aku harus kembali mengulang pekerjaanku yang sanggup membuat mataku sakit. Tapi mau tidak mau aku juga harus melakukannya, tak ada alasan aku bisa melawan ucapan dari seorang atasan, terutama atasan yang begitu membenciku karena alasan pribadinya.
Mbak Dewi, Bobby, dan Andre menatapku dengan pandangan cemas. Mungkin mereka bisa melihat dengan jelas bagaimana ekspresiku sekarang, ditambah tumpukan berkas di tangan yang menjadi pusat perhatian mereka. Bukankah aku terlihat sangat menyedihkan?
“Itu bukannya udah lo kerjain kemaren?” tanya Andre yang sudah berdiri di belakangku dengan pandangan bingung.
“Kata Bos masih banyak yang salah dan harus dikerjain ulang lagi,” jawabku tak bersemangat sama sekali.
“Hah? Kok bisa? Lo udah berpuluh-puluh kali ngerjain hal ini tiap harinya, dan selama ini baik-baik saja. Nggak mungkin banget kalau lo buat kesalahan sebanyak ini,” ujarnya seraya menunjuk tumpukan berkas.
“Buktinya dikasihin lagi ke gue.”
“Kalau gitu gue bantu.” Tanpa menunggu jawabanku, Andre langsung mengambil setengah dari tumpukan kertas itu ke mejanya, tak peduli ketika aku protes kalau akan jadi masalah jika Bos Juna melihatnya.
“Nggak usah, Ndre. Lo juga masih ada kerjaan, ‘kan?” pintaku baik-baik setelah ia tidak mendengarkan nada lantangnku yang melarangnya.
“Gue nggak mau sampe lo ngelewatin makan siang lagi dan sampe pucet kayak beberapa hari kemaren cuma karena kerjaan ini,” katanya yang serius kali ini.
Tidak pernah aku bisa membantah ucapan Andre jika ia sudah memasang wajah serius seperti itu, maka tingkat serius Andre pantang untuk dilawan. Membuatku ingat kalau ia memang lebih tua dariku tiga tahun jika sudah memasang ekspresi tersebut.
Kukerjakan apa yang harus kukerjakan, tak ingin membuang waktu sampai mendapatkan masalah lagi. Mendapatkan amukan atasan pagi-pagi benar-benar memecah semangat yang sudah terkumpul. Dan itu mengingatkanku kalau aku bekerja di sini atas rasa kasihan dari orang yang menaruh kebenciannya pada kakakku. Hal itu selalu berhasil membuat mataku lembap jika memikirkannya, mengumpati diri sendiri karena bisa sampai jatuh cinta pada orang sekejam dirinya.
Andre tidak main-main dengan ucapannya untuk membantuku, bahkan ia nyaris mengerjakan seluruh berkas itu dengan cepat. Bertanya-tanya apakah ia Andre yang kukenal atau tidak. Ia memang cekatan dalam bekerja, tapi baru kali ini aku memerhatikan kalau ia luar biasa melakukan pekerjaannya. Mungkin karena hal inilah semua orang tetap menghormatinya walau terkadang ucapan dan tingkahnya sedikit gila.
“Ayuni, ikut saya ke ruang pemotretan dan jangan lupa bawa berkas itu,” kata Mbak Dewi setelah melihat pekerjaanku telah selesai.
Tanpa ragu kuikuti wanita itu, bertanya beberapa hal mengenai pemotretan untuk majalah minggu ini. Walau bukan pertama kalinya datang ke ruangan besar itu, tapi tetap saja aku tidak bisa menutupi rasa senang melihat bagaimana para model yang setengahnya adalah orang berkebangsaan lain berlenggak-lenggok dalam pose yang menurutku menawan.
Mbak Dewi bicara dengan fotografer di sana mengenai model pemotretan yang akan diambil untuk minggu ini. Bisa kulihat Putra—bagian perlengkapan—sibuk ke sana dan kemari memberikan barang yang dibutuhkan. Sesekali ia bicara dengan para model menggunakan bahasa inggris yang fasih ketika menyuruh mereka berganti pakaian yang telah ia bawa atas arahan sang fotografer, membuatku mengerutkan kening kalau pria itu ternyata lebih pintar dari penampilannya.
Beberapa kali kudapati Putra menatapku, seolah memikirkan sesuatu setiap kali ia beradu tatap denganku namun tidak pernah mengatakan apa pun. Kuabaikan saja dirinya. Mungkin ada beberapa rumor tentang diriku yang membuat sebagian orang penasaran.
Namun kesenanganku berubah saat kulihat Bos Juna masuk ke dalam ruangan bersama dengan Pak Gun. Setelah dimarahi pagi tadi, aku begitu enggan untuk melihatnya. Padahal baru saja kurasakan suasana hatiku mulai membaik.
“Ayuni, tolong ambil kopi-kopi itu dan bagikan ke staf yang lain,” suruh Mbak Dewi saat seorang OB membawa kopi dengan gelas plastik bertutup yang bisa kuduga beli di restoran cepat saji di depan gedung ini seperti yang biasa kubeli.
Buru-buru kulakukan apa yang Mbak Dewi suruh, tidak enak rasanya sejak tadi hanya berdiri dan memerhatikan. Bukan hal sulit melakukannya, toh aku juga beberapa kali membagikan kopi seperti ini ketika berada di sini. Setidaknya aku bisa kenal dengan karyawan lainnya yang tidak berada satu ruangan denganku, karena bisa saja aku harus berinteraksi dengan mereka demi pekerjaan nantinya.
“Akh!” pekik wanita di depanku saat aku tak sengaja menjatuhkan kopi panas di pakaiannya.
“Ma-maaf, saya nggak sengaja. Mbak nggak apa-apa?” tanyaku panik seraya membantu wanita itu membersihkan pakaiannya dari kopi yang sepertinya tidak tumpah terlalu banyak.
“Nggak apa-apa, kok. Nggak kena banyak, di lap air juga ilang. Kamu sendiri, tadi kena, kan?” Wanita itu justru khawatir dengan keadaanku padahal aku yang berbuat salah di sini, ternyata masih ada juga orang baik setelah kupikir aku akan kena amukan darinya.
“Saya nggak apa-apa, maaf ya mbak sekali lagi,” kataku lagi penuh sesal.
“Nggak apa-apa, kamu sebaiknya ke ruang kesehatan biar tan-”
“Ada apa ini?!” suara berat penuh ketidaksukaan memotong pembicaraan wanita di depanku ini. Aku sungguh berharap pria itu tidak ada di ruangan ini saja.
“Bukan apa-apa kok, Pak. Cuma hal kecil aja,” kata wanita itu dengan wajah yang memang menunjukan kalau tidak ada apa-apa.
Namun sepertinya Bos Juna tidak mendengarkan hal itu, justru berkata dengan lantang, “Ayuni, kamu buat ulah apa lagi? Kayaknya pagi tadi kamu belum puas kena marah saya dan sekarang kamu harus buat masalah dengan staf di sini.”
“Maaf, saya nggak sengaja, Bos,” jawabku dengan wajah tertunduk, seraya menyembunyikan tangan kananku yang entah kapan sudah memerah. Mungkinkah karena kopi panas tadi? Aku sendiri tidak sadar saking paniknya karena menumpahkan kopi ke tubuh orang.
“Setelah kembali bekerja di sini kamu justru semakin sering buat masalah, kamu beneran niat nggak sih kerjanya?! Kalau memang nggak niat dan cuma buat main-main, saya bisa pecat kamu kapan aja. Saya harap ini yang terakhir kalinya saya liat kamu buat masalah!” katanya dengan nada lantang yang sanggup membuatku menjadi pusat perhatian seluruh orang di ruangan ini.
Malu. Sungguh rasanya aku ingin melarikan diri dari sini setelah menerima ucapan tak sedap barusan. Setidaknya ia bisa memarahiku di ruangannya atau di tempat lain, bukannya di ruangan penuh orang yang membuatku terlihat seperti orang idiot. Bisa kurasakan mataku lembap sekarang, tapi kutahan mati-matian untuk tidak bersikap cengeng karena dimarahi seperti ini.
Ada apa denganku hari ini, kenapa rasanya begitu sial sampai-sampai mendapatkan amukan darinya dua kali dengan cara yang memalukan seperti ini, batinku seraya menggigit bibir menahan air mata untuk tidak turun.
Dan ketika aku melihat ke arah lain, aku mendapati lagi-lagi Putra menatapku. Wajahnya terkesan datar, tapi entah kenapa ada amarah di netra pria tersebut. Ia bahkan tidak melepaskan tatapannya dariku hingga aku sendiri yang memalingkan wajah.
Mungkin karena banyak hal yang terjadi hari ini, membuatku paranoid dan melihat setiap orang memiliki isi pikiran yang bertolak belakang dengan apa yang ditunjukan. Aku tidak gila kan sekarang ini? Semoga tidak.