Sabrina Alexandra, gadis bar-bar yang frontal dan minus akhlak, hidupnya mendadak jungkir balik. Pulang ke kampung halaman, tiba-tiba saja ia di nikahkan paksa oleh bapaknya, Abiyan Fauwaz, dengan seorang lelaki yang lebih tua 9 tahun darinya. Siapa lelaki itu? Gus Sulaiman Faisal Zahid-seorang ustaz dengan aura santun, tampilan alim, dan bahasa serba syariah. Masalahnya? Sabrina yang biasa bebas, santai, dan dikejar banyak pria, dipaksa menikah dengan lelaki yang mengatakan, "Saya melamar putri bapak, karena beliau sudah saya sentuh." WHAT?! Seorang Sabrina yang bahenol dan penuh pesona malah jadi rebutan ustadz tak dikenal?! "Bapak, apa-apaan sih? Aku gak kenal dia!" protes Sabrina sambil menjambak rambut sendiri. Tapi, bapaknya tak peduli. Demi menyelamatkan anaknya dari kehidupan yang sudah miring 180 derajat, Abiyan tetap bersikeras. Tapi Abiyan tak peduli. Dengan santai, ia menjawab, "Kalau kalian gak saling kenal, ngapain nak Aiman jauh-jauh buat lamar kamu? Pokoknya bapak tetap pada pendirian! Kamu harus menikah dengan dia!" "Bapak egois banget!!!" protes Sabrina. "Ini demi kebaikan kamu, agar gak terlalu tersesat ke jalan yang salah," jawab Abiyan tegas. Sabrina merasa dunia tak lagi adil. Tapi apa yang terjadi saat dua orang dengan dunia yang bertolak belakang ini dipaksa bersanding? Akankah Sabrina yang bar-bar ini berubah, atau justru Gus Sulaiman yang pusing tujuh keliling menghadapi Sabrina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30
Di lantai dua, Aiman dan Sabrina berjalan tanpa beriringan. Sabrina memilih untuk menjaga jarak, sementara Aiman berjalan tenang di depan, beberapa kali melirik ke belakang, memastikan Sabrina masih mengikutinya. Suasana di lorong terasa sunyi, hanya terdengar suara langkah mereka yang bergema di dinding.
Aiman akhirnya membuka percakapan, suaranya tenang namun penuh maksud, "Bagaimana menurutmu keluarga saya? Sangat menyenangkan, bukan?"
Sabrina tersenyum tipis, mencoba menghilangkan rasa gugup yang masih membekas setelah pertemuan dengan keluarga besar Aiman. "Lumayan. Hampir mirip sama keluarga gue, tapi yang ini... lebih alim," jawabnya dengan nada bercanda, cengengesan.
Aiman berhenti sejenak, menoleh ke arah Sabrina. "Apa perlu kamu segugup itu setelah bertemu keluarga saya?" tanyanya sambil mengangkat sebelah alis.
Sabrina menghela napas panjang. "Awalnya iya. Tapi sekarang udah enggak. Setelah ketemu mereka, ternyata ya... mirip sama keluarga gue juga. Gue pikir awalnya nggak bakal diterima."
Aiman melanjutkan langkahnya menuju pintu kamar, tapi menoleh lagi dengan tatapan penuh tanya. "Kenapa kamu berpikir begitu?"
Sabrina menggigit bibir bawahnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Keluarga lo kan alim semua, sedangkan gue? Modelan semrawut gini... dinikahin sama orang yang alim-ulama gitu, apa nggak melenceng jadinya?" Dia tertawa kecil, tapi ada nada getir yang terselip di ujung tawanya.
Langkah Aiman terhenti tepat di depan pintu kamar. Dia memutar tubuhnya, menatap Sabrina dengan mata tajam namun lembut. "Maksudmu melenceng bagaimana?" tanyanya.
Sabrina menunduk, memandangi ujung sandalnya. "Pasti ada yang bakal ngomongin penampilan gue. Walaupun keluarga lo terima gue, nggak menutup kemungkinan keluarga besar lo yang lain bakal susah nerima. Apalagi kalau ada yang bilang gue cewek 'menggatel'," ujarnya pelan, menirukan nada orang-orang yang pernah menghakiminya.
Aiman diam sejenak, lalu membuka pintu kamarnya. Ia melangkah masuk, memberi isyarat pada Sabrina untuk mengikutinya. Setelah Sabrina masuk, Aiman menutup pintu perlahan.
Ia berbalik, menatap Sabrina yang kini berdiri kaku di tengah kamar. Dengan suara rendah namun tegas, Aiman berkata, "Biarkan saja orang mau bilang apa. Nyatanya, kamu tidak seperti itu, kan?"
Sabrina mengangkat wajahnya, menatap Aiman dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Dengar," lanjut Aiman, suaranya lebih lembut. "Tidak semua perilaku seseorang di masa lalu harus terus dianggap buruk. Yang penting adalah kesungguhan untuk berubah. Kamu sadar, kamu mau berubah, itu sudah lebih dari cukup."
Sabrina tersenyum pahit. "Masa lalu gue kelam, Man. Gue nggak yakin semua orang bisa terima..."
Aiman mendekat, matanya menatap dalam ke mata Sabrina. "Masa lalu saya juga nggak sebaik yang kamu kira, Sabrina. Setiap orang punya sisi gelapnya. Tapi apa gunanya kita terus hidup di bawah bayangan masa lalu? Orang-orang mungkin lebih suka mencemooh tanpa tahu perjuangan kita untuk berubah. Itu wajar. Tapi kamu tidak boleh menjadikan itu alasan untuk menyerah."
Sabrina diam. Kata-kata Aiman seolah menampar logikanya yang selama ini dibelenggu rasa minder.
"Kalau ada yang mencemooh, abaikan. Jadi dirimu sendiri. Buktikan kalau kamu bisa lebih baik dari apa yang mereka pikirkan. Jangan biarkan orang lain menentukan nilaimu. Kamu yang menentukan hidupmu sendiri," tegas Aiman.
Sabrina terdiam sejenak, menatap Aiman dengan mata berkaca-kaca, namun ia segera menutupi perasaannya dengan nada bercanda. "Lo tuh cocok jadi pakar deh, omongan lo terlalu gimana gitu."
Aiman tersenyum tipis. "Saya nggak sehebat itu," jawabnya dengan nada merendah.
Sabrina melipat tangan di dada, menatapnya sambil menyeringai kecil. "Oh ya, kan lo ustaz. Wajar sih kalau bisa nenangin hati orang-orang dengan perkataan lo yang kayak tadi."
Aiman mengangkat sebelah alis, menatap Sabrina penuh makna. "Berarti kamu merasa tenang dong kalau saya bilang begitu?" tanyanya santai.
Sabrina langsung salah tingkah, ekspresinya berubah cepat. "Eh... emm... nggak ya..." katanya tergagap, berusaha mengelak sambil mengalihkan pandangan.
Aiman terkekeh kecil melihat reaksi Sabrina. "Kalau nggak, kenapa kamu jadi salah tingkah begitu?" godanya.
"Siapa yang salah tingkah? Lo terlalu ge-er aja!" Sabrina mendengus, tapi rona merah di pipinya tak bisa disembunyikan.
Aiman hanya tersenyum, puas dengan respons Sabrina, lalu melangkah ke kursi di sudut ruangan. "Kalau gitu, lain kali saya bakal lebih hati-hati pilih kata. Biar nggak bikin kamu salah tingkah lagi."
Sabrina mendelik ke arah Aiman dengan ekspresi setengah sebal. "Dasar lo, Om. Nyebelin banget deh! Terlalu ge-er, dah. Gue mau mandi, terus mau ke bawah nemuin mertua gue."
Aiman hanya tersenyum kecil, tidak terganggu sedikit pun dengan nada protes Sabrina. "Baru tuh bilangnya, si Aiman nyebelin aja bikin kamu terus senyum. Gak apa-apa, kan?" godanya lagi.
Sabrina mendengus pelan, tapi kali ini dia memilih tidak menanggapi. Dengan langkah cepat, dia berjalan ke arah kamar mandi di dalam kamar, berusaha mengakhiri obrolan.
Namun, pipinya sudah memerah sejak tadi, rona itu semakin jelas terlihat saat dia memunggungi Aiman. Meski hatinya merasa terganggu dengan candaan itu, gengsinya terlalu besar untuk membalas. Sabrina berusaha menenangkan dirinya, pura-pura tidak peduli, tapi suara tawa pelan Aiman di belakangnya membuatnya semakin jengkel—dan entah kenapa, sedikit tersipu.
Aiman memperhatikan dengan santai. Senyumnya tidak pernah pudar, seolah memahami betul bahwa Sabrina sedang menutupi perasaannya. Dia tidak berniat menambah godaan,
...➰➰➰➰...
Suara gemericik air dari kamar mandi masih terdengar, tanda Sabrina masih sibuk di dalam. Di sisi lain, Aiman duduk di kursi dekat jendela, mengenakan sarung biru muda dan baju koko putih yang rapi. Ia tampak santai, melipat lengan bajunya dengan tenang sambil melirik jam di pergelangan tangan.
Waktu sudah menunjukkan hampir tengah hari. Sebentar lagi adzan Zuhur akan berkumandang. Aiman berdiri, mengambil peci hitam dari meja kecil di sebelah ranjang, lalu memakainya dengan gerakan sederhana namun rapi.
Tak lama, suara pintu kamar mandi terbuka. Sabrina keluar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk, mengenakan kaos dan celana santai. Matanya langsung tertuju pada sosok Aiman yang sudah terlihat siap sepenuhnya. Ia tertegun, alisnya mengerut.
"Loh, Om udah siap aja? Udah mandi juga emangnya?" tanya Sabrina, suaranya mengandung nada heran sekaligus protes.
Aiman menoleh, menatapnya sebentar dengan senyum tipis yang biasa. "Kamu kelamaan," jawabnya datar tapi tetap ramah. "Saya udah mandi di kamar mandi bawah tadi."
Sabrina mendengus pelan, merasa sedikit tersindir. Tapi sebelum ia sempat membalas, Aiman sudah mengambil langkah menuju pintu. "Saya mau ke masjid dulu ya. Mukena kamu sudah saya taruh di ranjang," katanya sambil membuka pintu.
Ia menoleh sekali lagi sebelum keluar, wajahnya tenang namun penuh arti. "Saya pergi dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," balas Sabrina ketus, meski intonasinya terdengar lebih seperti gumaman malas.
Setelah pintu tertutup, Sabrina berdiri mematung sejenak. Matanya berpindah ke mukena yang terlipat rapi di atas ranjang, seperti sengaja diletakkan di sana oleh Aiman. Ia mendesah, menatap ke arah pintu sambil bergumam pelan, "Nyebelin, tapi... ya gitu deh."
kursi setelah selesai mengeringkan rambutnya. Ia berjalan menuju ranjang, melempar tubuhnya dengan malas di atas kasur empuk yang sudah rapi. Matanya melirik sekilas ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 12 siang.
"Nanti aja deh, masih ada waktu," gumamnya sambil menarik napas panjang. Kedua tangannya diletakkan di belakang kepala, posisinya santai. "Tidur dulu sebentar, cuma lima belas menit, abis itu bangun baru sholat."
Ia memejamkan mata, membiarkan tubuhnya bersandar penuh ke kasur. Pikiran tentang Aiman yang sedang di masjid sempat terlintas di benaknya, tapi ia buru-buru mengenyahkan bayangan itu. "Santai aja, toh masih awal waktu," ujarnya pada dirinya sendiri, seolah meyakinkan bahwa keputusannya untuk tidur sebentar adalah ide yang baik.
Hembusan angin lembut dari kipas angin di langit-langit kamar membuat rasa kantuknya semakin berat. Tanpa sadar, ia menarik selimut hingga sebatas pinggang, lalu meringkuk nyaman di atas ranjang.
"Nggak bakal lama kok, cuma sebentar aja," gumamnya lagi, kali ini suaranya semakin pelan karena kantuk mulai menguasai. Dalam hitungan menit, napasnya sudah berubah tenang, menandakan bahwa ia telah terlelap.
Namun, waktu terus berjalan, dan suara detak jam di dinding perlahan mengiringi alunan tidur singkatnya yang mungkin saja tidak sependek yang ia bayangkan.