Almira Dolken tidak pernah menyangka hidupnya akan bersinggungan dengan Abizard Akbar, CEO tampan yang namanya sering muncul di majalah bisnis. Sebagai gadis bertubuh besar, Almira sudah terbiasa dengan tatapan meremehkan dari orang-orang. Ia bekerja sebagai desainer grafis di perusahaan Abizard, meskipun jarang bertemu langsung dengan bos besar itu.
Suatu hari, takdir mempertemukan mereka dengan cara yang tak biasa. Almira, yang baru pulang dari membeli makanan favoritnya, menabrak seorang pria di lobi kantor. Makanan yang ia bawa jatuh berserakan di lantai. Dengan panik, ia membungkuk untuk mengambilnya.
"Aduh, maaf, saya nggak lihat jalan," ucapnya tanpa mendongak.
Suara berat dan dingin terdengar, "Sepertinya ini bukan pertama kalinya kamu ceroboh."
Almira menegakkan tubuhnya dan terkejut melihat pria di hadapannya—Abizard Akbar.
"Pak… Pak Abizard?" Almira menelan ludah.
Abizard menatapnya dengan ekspresi datar. "Hati-hati lain ka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Butuh pendonor
Di kota lain, seorang pria berdiri di sebuah gedung pencakar langit, menatap keluar jendela dengan pandangan tajam. Asap cerutu melayang di udara, memenuhi ruangan dengan aroma tembakau yang pekat.
Dialah Darren Ardian, pria yang selama ini bergerak di balik layar, seseorang yang namanya jarang terdengar, namun memiliki kekuasaan yang tak bisa diremehkan.
Ponselnya bergetar di meja. Ia mengambilnya dengan tenang, melihat nama yang tertera di layar. "Abigail Rendra." Senyumnya mengembang samar.
"Akhirnya, kau mencari ku lagi, Abigail," gumamnya, sebelum menekan tombol jawab.
"Darren," suara Abigail terdengar tegas di seberang sana.
"Kudengar kau sedang dalam masalah," balas Darren santai, meniupkan asap cerutunya.
"Aku butuh bantuanmu," ujar Abigail, nadanya dingin. "Kali ini, aku ingin memastikan Abizard dan Almira tidak akan pernah bersatu."
Darren tertawa kecil. "Kau masih terobsesi dengan pria itu?"
"Aku hanya ingin apa yang menjadi hakku."
Darren terdiam sejenak, lalu berjalan ke arah kursinya dan duduk dengan tenang.
"Aku bisa membantumu, Abigail," katanya akhirnya. "Tapi seperti biasa, bantuan dariku tidaklah gratis."
Abigail mendecak kesal. "Aku akan memberimu apa pun yang kau inginkan. Selama kau bisa memastikan mereka tidak akan pernah bisa bersama."
Darren tersenyum licik. "Bagus. Aku akan segera mengirim seseorang untuk menyelesaikan masalah kecilmu ini."
Ia menutup telepon dan meletakkan ponselnya kembali ke meja. Matanya menatap keluar jendela dengan ekspresi puas. Ini sebuah kesempatan untuk menghancurkan Yoseph. Bagaimana tidak Darren merupakan putra sulung dari wanita yang ditinggalkan Yoseph sebelum menikahi Melisa ,ibu Abizard.
"Bersiaplah tua bangka. Kau akan menyesali perbuatanmu." gumamnya.
Darren membuang puntung cerutunya, lalu ia berjalan keluar ruangannya. Diikuti beberapa anak buahnya ,Darren meminta mereka menyiapkan sebuah jet pribadi untuknya.
"Cepat siapkan jet pribadi , aku akan ke Jakarta." titahnya.
Darren melangkah tegap, para pegawai menunduk sesaat Darren melewati setiap lorong di gedung tersebut. Tidak ada yang tahu jika Darren merupakan sosok yang paling disegani di dunia gelap.
Darren tiba di bandara, ia langsung menaiki pesawat yang akan membawanya ke masa lalu yang telah lama ditinggalkan .Senyum tipis tercipta dari sudut bibirnya mengingat kejadian malam itu.
"Aku tak pernah bisa memaafkan apa yang kau lakukan pada ibuku."
Sementara di rumah sakit, kondisi Abizard kian lemah, kanker paru yang mulai menggerogoti tubuhnya. Almira menatap iba melihat Abizard menahan kesakitannya. Air mayanya tak berhenti menetes. Entah sudah berapa jam dokter memeriksanya namin Abizard masih kritis.
"Al, minum lah!" ujar Debora.
Almira menggeleng, bagaimana ia bisa minum sedang Abizard berjuang menahan kesakitannya.
"Al, kau juga harus menjaga kesehatanmu. Jika Abizard melihatmu seperti ini ,dia tak akan menyukainya." bujuk Debora
Almira menarik nafasnya pelan, lalu mengambil teh yang disodorkan padanya,
"Terima kasih ,Deb."
Almira menyeruput teh ditangannya, tiba-tiba Abizard batuk dan mengeluarkan darah dari mulutnya. Sontak Almira menjatuhkan gelas ditangannya dan berlari mendekat kearahnya. Namun salah satu perawat menahannya dan memintanya keluar ruangan.
"Zard"
"Maaf nona, Anda harus keluar!."
Debora langsung menarik Almira, dan membawanya keluar. Tangisannya tak pernah berhenti. Rasa takut kehilangan Abizard membuat Almira tak berdaya.
"Zard, bertahanlah. Aku menyesal , aku menyesal baru memafkan mu."
Almira berdiri di depan ruang ICU dengan air mata yang terus mengalir. Tubuhnya terasa lemas, seolah dunia di sekitarnya mulai runtuh. Debora memeluknya erat, mencoba menenangkan sahabatnya yang tengah hancur.
"Almira, Abizard pasti kuat," bisik Debora, meski hatinya sendiri pun diliputi kekhawatiran.
Tiba-tiba, langkah kaki yang tergesa-gesa terdengar di koridor rumah sakit. Melisa muncul dengan wajah panik, diikuti oleh Yoseph yang tak kalah cemas.
"Apa yang terjadi? Bagaimana kondisi putraku?" suara Melisa bergetar.
Dokter yang baru saja keluar dari ruangan ICU langsung menghampiri mereka.
"Kondisinya masih kritis. Kanker di paru-parunya semakin agresif, dan tubuhnya mulai melemah."
Almira menutup mulutnya, menahan tangis yang hampir pecah. Melisa meremas tangannya sendiri, berusaha menahan emosinya.
"Aku ingin menemuinya," ucap Melisa dengan tegas.
Dokter menggeleng.
"Kami masih harus melakukan tindakan lebih lanjut. Untuk saat ini, yang bisa kita lakukan hanyalah berdoa."
Almira jatuh terduduk, matanya kosong menatap lantai. Ia tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa Abizard.
Sementara itu, Yoseph berjalan ke sudut ruangan, mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Kau harus segera ke sini," suaranya terdengar tegang. "Aku butuh bantuanmu."
Tak jauh dari sana, Melisa masih menatap pintu ICU dengan penuh kesedihan. Hatinya berkecamuk, mengingat semua yang telah terjadi.
"Aku tidak akan membiarkan Abigail menang," gumamnya pelan.
Di tempat lain… Jet pribadi Darren Ardian mendarat di Jakarta. Pria itu turun dengan langkah percaya diri, diikuti oleh beberapa anak buahnya.
Begitu ia tiba di mobil yang telah menunggunya, ia mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang.
"Aku sudah tiba," ucapnya singkat.
Di seberang sana, suara Abigail terdengar penuh kepuasan. Darren menutup teleponnya dan menatap langit Jakarta yang mendung. Ia tersenyum miring.
"Its so time"
Di rumah sakit suasana kian mencekam, belum ada kabar apa-apa lagi sejak dokter mengabari mereka tadi. Tiba-tiba seorang perawat keluar sambil berlari yang membuat semua orang yang menunggu di sana.
Di rumah sakit, ketegangan semakin terasa. Perawat yang berlari keluar membawa ekspresi panik, dan tanpa menunggu, Melisa langsung menghampirinya.
"Ada apa dengan anak saya?" tanya Melisa, suaranya bergetar.
Dokter keluar beberapa detik kemudian, melepas masker medisnya dengan napas berat.
"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Abizard masih bertahan, tetapi kondisinya sangat kritis. Dia butuh transplantasi secepatnya, atau kita mungkin akan kehilangannya."
Almira merasa tubuhnya melemah. Jantungnya berdebar begitu kencang hingga membuat kedua kakinya tak mampu menopang tubuhnya. Debora segera memegangnya dan mencoba menenangkannya. Sementara Melisa tampak tegar walau perasaannya kini terasa hancur.
Tanpa basa-basi Yoseph langsung menawarkan diri.
"Tes saya dulu. Saya ayahnya."
Dokter langsung menatap Yoseph sambil mengangguk.Sementara mereka menuju ruang pemeriksaan, di tempat lain Darren melangkah memasuki hotel mewah tempatnya menginap. Ia duduk di sofa, lalu mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Sudah siapkan semuanya?" tanyanya dingin.
Darren tersenyum miring. Setelah itu ia memutuskan panggilan itu dan langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku.
"Saatnya membuat Abizard benar-benar kehilangan segalanya."
Abigail yang duduk di seberang Darren menyilangkan kakinya dengan anggun.
"Kau yakin dengan semua rencana mu? Dan aku ingin kau tidak menyakiti Almira."
Darren menatapnya tajam. Tanpa Abigail ketahui bahwa ini bukan masalah Almira lagi. Ini masalah pribadi yang sudah lama ia tunggu-tunggu. Balas dendam yang akan membuat keluarga Yoseph hancur berkeping-keping.
"Tentu saja!."
Abigail tersenyum puas ,namun Abigail merasa ada yang aneh akan sikap Darren seolah menyimpan sesuatu yang tidak dia ketahui.
Sementara itu, di rumah sakit, hasil tes Yoseph tidak cocok. Sungguh hal yang sangat mengejutkan . Namun dengan cepat Melisa menawarkan dirinya .
"Bagaimana dengan saya ,Dok? Saya ingin menjadi pendonor untuk anak saya."
Yoseph tertegun begitu juga dengan Almira. Namun Yoseph tak menghalanginya sama sekali. Melisa langsung dibawa ke ruang pemeriksaan .Setelah itu dokter menyatakan bahwa Melisa sangat cocok. Melisa menghela napas lega, tetapi di saat yang sama, Yoseph tampak terpukul.
"Aku akan melakukannya, Aku akan memberikan paru-paruku untuk Abizard."ucap Melisa mantap
Namun sebelum persiapan operasi dimulai, ponsel Almira berdering. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Almira menatap ponsel itu lekat-lekat.
"Jika kau ingin Abizard selamat, temui aku sekarang. Sendirian. Hotel Grand Imperial, kamar 1205."
Almira merasa darahnya membeku. Ia menatap layar ponselnya, lalu beralih menatap Abizard yang masih berjuang di ruang ICU.Tanpa berkata apa-apa, ia menggenggam ponselnya erat dan melangkah pergi.
Tidak ada yang menyadari ke mana Almira pergi, dan tidak ada yang tahu bahwa dia sedang berjalan menuju jebakan yang telah disiapkan Darren.