Wanita kuat dengan segala deritanya tapi dibalik itu semua ada pria yang selalu menemani dan mendukung di balik nya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syizha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketegangan
Langkah kaki itu semakin mendekat, menggema di lorong sempit di atas mereka. Axel memberi isyarat kepada Akselia dan Nathaniel untuk tetap tenang. Dengan cepat, ia mematikan lampu senter yang mereka gunakan, meninggalkan ruangan itu dalam kegelapan.
“Kalian tetap di sini,” bisik Axel dengan nada tegas. “Aku akan memastikan mereka tidak menemukan kalian.”
“Aku tidak akan bersembunyi,” balas Akselia, suaranya nyaris tak terdengar.
“Dengar,” Axel mendekatkan wajahnya ke arah Akselia, matanya tajam di bawah bayangan gelap. “Kau adalah alasan kenapa kita di sini. Jika mereka menangkapmu, semua ini akan berakhir. Biarkan aku yang mengalihkan perhatian mereka.”
Nathaniel menahan Akselia sebelum ia bisa membantah. “Dia benar,” bisiknya pelan. “Kita harus menemukan jalan keluar lain jika keadaan memburuk.”
Dengan enggan, Akselia mengangguk. Axel menghilang di balik pintu baja, meninggalkan mereka di ruangan gelap itu.
Di luar, suara langkah kaki semakin keras, diiringi suara beberapa pria berbicara dengan nada rendah namun tajam. Akselia mencoba mendengar, tetapi suara-suara itu terlalu jauh untuk ditangkap jelas.
Nathaniel kembali menyalakan senter kecilnya dan mulai memeriksa dinding di sekitarnya. “Ada kemungkinan lorong ini memiliki jalur lain. Tempat ini terlalu besar untuk hanya memiliki satu pintu keluar.”
Sementara itu, Akselia merasakan ketegangan yang terus meningkat. Ia tidak bisa hanya diam. Ayahnya, Adrian, meninggalkan petunjuk tentang Sentinel—dan sekarang, ada pihak lain yang jelas-jelas ingin menghentikan pencariannya.
Nathaniel menemukan sesuatu: sebuah pintu kecil tersembunyi di balik rak besi tua. “Akselia,” panggilnya dengan suara pelan. “Aku menemukannya.”
Akselia segera mendekat. Bersama-sama, mereka menarik pintu itu, tetapi engselnya sudah berkarat, membuat suara berdecit yang nyaring. Suara itu cukup untuk menarik perhatian orang-orang di atas.
“Hei, ada seseorang di bawah!” teriak salah satu pria di atas.
Akselia dan Nathaniel saling pandang. Tidak ada waktu untuk berpikir. Mereka berdua mendorong pintu itu dengan kekuatan penuh dan masuk ke lorong gelap yang ada di belakangnya. Nathaniel menutup pintu kembali secepat mungkin, berharap orang-orang di atas tidak langsung menemukannya.
Lorong itu sempit dan gelap, hanya diterangi oleh cahaya senter kecil mereka. Udara di sana terasa pengap, dan bau lembap semakin menusuk hidung.
“Kita harus terus bergerak,” kata Nathaniel.
Namun, baru beberapa langkah, suara tembakan terdengar dari arah pintu yang baru saja mereka masuki. Akselia merasakan jantungnya berdegup kencang. Orang-orang itu sudah menemukan mereka.
“Kau pikir ini mengarah ke mana?” tanya Akselia sambil terus berjalan di belakang Nathaniel.
Nathaniel hanya bisa menggeleng. “Aku tidak tahu. Tapi kita tidak punya pilihan lain.”
Mereka terus berjalan di sepanjang lorong, hingga akhirnya menemukan tangga yang menuju ke atas. Di ujungnya terlihat cahaya redup, tanda bahwa mereka mungkin bisa keluar dari tempat itu.
Namun, ketika mereka hampir mencapai tangga, suara langkah kaki kembali terdengar di belakang mereka. Kali ini lebih dekat, lebih cepat.
“Mereka mengejar kita!” seru Akselia.
Nathaniel menarik Akselia untuk mempercepat langkah mereka. Namun, sebelum mereka mencapai tangga, seseorang muncul di ujung lorong. Wajahnya tidak terlihat jelas, tetapi senjata di tangannya bersinar di bawah cahaya senter mereka.
“Berhenti!” perintah pria itu dengan nada keras.
Akselia berhenti sejenak, mencoba mencari jalan keluar dari situasi itu. Namun, Nathaniel mengambil langkah maju, melindungi Akselia dengan tubuhnya.
“Jangan tembak,” katanya dengan suara tegas. “Kami tidak membawa senjata.”
Pria itu hanya tertawa kecil, nada suaranya penuh ejekan. “Itu tidak penting. Kalian masuk ke tempat yang salah.”
Namun, sebelum pria itu sempat melanjutkan, suara langkah lain datang dari belakang mereka. Axel muncul, membawa sesuatu yang tampak seperti tabung kecil.
“Turunkan senjatamu,” perintah Axel pada pria itu.
Pria itu menoleh, tampak sedikit terkejut melihat Axel. “Axel? Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah kau seharusnya mengawasi tempat ini?”
“Aku masih di sini untuk memastikan tempat ini aman,” balas Axel dengan nada dingin. “Tapi mereka adalah tanggung jawabku. Kau tidak perlu ikut campur.”
Pria itu tampak ragu sejenak, tetapi akhirnya menurunkan senjatanya perlahan. “Baiklah. Tapi ini tidak akan berakhir di sini, Axel. Mereka akan mengetahuinya.”
Axel tidak menjawab. Ia hanya memberi isyarat pada Akselia dan Nathaniel untuk naik ke tangga. Mereka berdua tidak membuang waktu, segera menaiki tangga itu, diikuti oleh Axel.
Ketika mereka keluar dari lorong itu, Akselia menemukan dirinya berada di sisi lain gudang, jauh dari tempat mereka masuk. Malam terasa lebih dingin, tetapi udara segar memberikan sedikit kelegaan setelah ketegangan yang mereka alami.
Axel menatap Akselia dengan serius. “Ini baru permulaan. Mereka sekarang tahu bahwa kau mencari sesuatu. Dan mereka tidak akan berhenti sampai kau menyerah.”
“Kalau begitu, aku harus bergerak lebih cepat,” jawab Akselia dengan tegas. “Aku tidak peduli apa yang harus aku hadapi. Aku akan menemukan Sentinel.”
Axel mengangguk pelan, tetapi wajahnya menunjukkan kekhawatiran. “Jika itu keputusanmu, aku akan membantumu. Tapi kau harus tahu—jalan ke Sentinel bukan hanya berbahaya. Itu bisa mengungkap rahasia yang bahkan kau tidak siap untuk mengetahuinya.”
Akselia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Aku sudah kehilangan segalanya. Tidak ada lagi yang bisa membuatku mundur.”
Nathaniel menepuk bahu Akselia dengan lembut. “Kita akan melewati ini bersama. Apa pun yang terjadi, kita akan menemukan kebenaran.”
Akselia menatap mereka berdua. Di tengah semua kekacauan ini, ia tahu bahwa ia tidak sendirian. Dan itu memberinya kekuatan untuk melangkah ke tahap berikutnya, meskipun bahaya terus mengintai di setiap sudut.
Di kejauhan, angin malam membawa suara gemerisik yang nyaris tidak terdengar. Seseorang, atau sesuatu, masih mengawasi mereka. Dan perjuangan Akselia baru saja dimulai.
Akselia, Axel, dan Nathaniel bergerak menjauh dari gudang tua, menyusuri jalan setapak yang tertutup semak belukar. Malam itu dingin, dan bulan hanya setengah memancarkan cahayanya. Setiap suara ranting patah atau langkah kaki terdengar seperti ancaman, membuat mereka terus waspada.
“Kita harus mencari tempat aman untuk merencanakan langkah selanjutnya,” ujar Axel, suaranya rendah namun tegas.
“Kita bisa ke rumahku,” kata Nathaniel. “Itu cukup terpencil, dan aku punya perlengkapan yang bisa kita gunakan.”
Axel mengangguk. “Baiklah. Tapi kita harus bergerak cepat. Mereka mungkin sudah memanggil bala bantuan.”
Akselia tetap diam, pikirannya sibuk dengan kata-kata terakhir ayahnya di video. Sentinel. Nama itu terus bergema di kepalanya. Apa yang ada di tempat itu? Kenapa ayahnya mengorbankan segalanya demi melindungi rahasia itu?
Ketika mereka mendekati mobil Nathaniel yang diparkir di balik bukit, Akselia akhirnya memecah keheningan. “Axel, kau tahu sesuatu tentang Sentinel. Apa itu sebenarnya?”
Axel terdiam beberapa saat sebelum menjawab. “Sentinel adalah fasilitas penelitian tertutup yang hanya diketahui oleh beberapa orang di tingkat tertinggi proyek Aurora. Lokasinya sangat rahasia, bahkan aku tidak tahu pasti di mana. Tapi aku tahu satu hal—tempat