Shanum adalah seorang gadis desa yang di besarkan di keluarga sederhana. Ayahnya bekerja sebagai seorang OB di sebuah perusahaan terbesar di kota Metropolitan. Karena kecerdasan yang di miliki Shanum ia selalu mendapatkan beasiswa hingga ke Perguruan Tinggi. Namun sayang semua yang ia dapat tidaklah cuma-cuma. Di balik Beasiswa yang di dapat Shanum ternyata ada niat terselubung dari sang Donatur. Yaitu ingin menjodohkan sang Putra dengan Shanum padahal Putranya sudah memiliki Istri. Apakah Shanum bersiap menerima perjodohan itu! Dan Apakah Shanum akan bahagia jika dia di poligami??? Ikuti terus ceritanya.... Selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Sudaryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Tak terasa satu bulan pun berlalu. Hari ini di rumah terlihat sibuk, karena nanti malam akan ada acara lamaran untuk ku. Adik-adik ku terlihat begitu antusias membantu, pasalnya belum pernah ada acara seperti ini.
Bunda yang dibantu tetangga dan ada beberapa kerabat dari Ayah ku sedang sibuk menyiapkan berbagai menu yang akan di hidangkan untuk malam ini.
Bunda sebenarnya tidak tega melihat ku menerima perjodohan ini, namun aku berusaha meyakinkan Bunda, jika Mas Bisma adalah jodohku.
Aku hanya ingin mereka bahagia dan hidup tidak kekurangan. Mungkin dengan cara ini aku bisa memberikan ke bahagian untuk mereka, terutama untuk mencukupi kebutuhan keluargaku.
"Emang, berapa mahar yang akan di berikan oleh calonnya Shanum Dek? Kok sampai Shanum mau di jadikan Istri ke dua! Tanya Bude Retno, ketika ikut bantu-bantu di rumah ku. Bude Retno adalah kakak pertama dari Ayah.
"Belum tau Mbak, kan nanti malam baru akan di bahas. "Jawab Bunda yang sibuk menggoreng risoles untuk cemilan nanti malam.
Mas Bisma calon suami ku, dia akan datang malam ini bersama keluarganya. Setelah satu bulan yang lalu Bu Aisyah meminta ku untuk menjadi menantunya. Bu Aisyah yang merupakan pengusaha dan pemilik Rumah Sakit di mana aku mengabdi, ia berjanji akan menanggung biaya hidup keluarga ku.
" Penasaran gimana dengan wajah calonnya Shanum, tidak pernah kedengaran pacaran tiba-tiba sudah mau di lamar saja? " ucap Bude Retno yang selalu ingin tahu tentang kehidupanku.
"Hus mbak, gimana mau pacaran. Lawong mbak liat aja sendiri seperti apa penampilan Shanum, yang semuanya serba tertutup, terkecuali matanya. Masih untung-untungan ada yang mau. " ujar bulek Tati adik Dari Ayah ku
"Eh denger-denger calon suaminya Shanum itu sudah beristri ya. Berarti Shanum jadi istri kedua dong. Apa jangan-jangan suaminya sudah tua? " tawa bude Retno pun pecah.
Emang keluarga Dari Ayah ku suka sekali julid, dengar saja pertanyaan dari mereka seakan meremehkan.
"Nasib si Shanum. Udah hidup serba pas-pasan. Giliran dapat jodoh malah suami orang. Untung Rasti menikah dapat yang perjaka, udah gitu seorang menejer lagi. " pamer Bude Retno.
"Iya ya, Kira-kira pekerjaanya apa ya? Seorang kuli bangunan atau Jangan-jangan hanya buruh pabrik. Kok bisa-bisanya Shanum mau di madu. "
"Emangnya kenapa kalo kuli bangunan atau buruh pabrik? yang pentingkan pekerjaannyakan halal, lagian kenapa sih kalian kok usil banget dengan kehidupan Shanum. Shanum aja tidak pernah mengganggu hidup kalian. " ujar Bik Fatimah adik kandung dari Bunda membelaku. Karena saking kesalnya mendengar ocehan orang-orang tentang aku.
******
MUA datang kerumah, yang katanya sudah di bayar oleh Bu Aisyah, untuk merias ku.
Bahkan gaun beserta Niqab untuk malam ini sudah di antar empat hari lalu untuk Aku kenakan.
Gaun berwarna toska penuh dengan hiasan payet serta hijab dan Niqab yang senada terlihat begitu elegan.
Aku hanya terima bersih dan kami hanya menyiapkan makanan untuk malam ini. Dan Bu Aisyahlah yang membiayai semuanya.
"Sudah selesai, " ucap MUA itu. " wajah aslinya emang sudah cantik di poles dikit aja sudah terlihat manglingi. Coba cadarnya gak usah di pake mbak, pasti calon mempelai prianya akan klepek-klepek liah wajah mbaknya. " canda mbak MUA sambil memasang Niqab untukku.
"Ah mbak bisa aja. " ucap ku tersipu.
Aku melihat pantulan wajahku di cermin. Cantik juga jika aku di rias. Karena memang selama ini aku tidak pernah menggunakan make up yang berlebihan. Paling hanya sekedar menggunakan skincare dan lipgloss doang. Aku tersenyum simpul.
Jantungku berdegup kencang, Gugup dengan acara yang akan segera di mulai.
Bu Aisyah sudah mengirim pesan. Jika mereka akan datang setengah jam lagi. Acara akan di mulai pada pukul setengah delapan malam.
"Aku dengar kamu di lamar sama suami orang ya Num!!!" Rasti Masuk kedalam kamar ku. Tiba-tiba bertanya demikian.
Sedangkan MUA tadi lagi sibuk membereskan peralatan make-upnya. Hanya menyimak obrolan ku dengan sepupuku.
"Bagus deh, itu memang cocok dan sepadan dengan kamu. Eh tapi Aku heran sama kamu, kamu kok mau-maunya di jadikan Istri ke dua. Apa takut gak laku ya. Sampa-sampai suami orang aja kamu embat. Gak takut di tuduh jadi pelakor kamu!!! " ujar Rasti mengejek.
Aku melihat raut wajahnya, dari cermin yang tampak menghinaku saat ini. Rasti yang sedang berdiri tepat di belakangku.
"Coba kamu lihat Aku dong, dapat suami masih perjaka, seorang menejer pula tu. Walaupun pendidikan ku hanya lulusan SMA tapi setidaknya untuk urusan jodoh pilih-pilih juga dong. Masak kamu yang lulusan S1 takut gak laku. " ejek Rasti lagi.
"Kamu kalo gak tau apa-apa, gak usah asal nyeplos aja kalo ngomong, mending kamu keluar deh dari sini kalo gak mau botol ini melayang." Shanum menunjukkan botol parfum yang siap akan di lemparnya karena sudah jengah mendengar ucapan sepupunya itu.
"Mbak calon suami mu sudah datang, " teriak Riska Adik perempuanku. Yang baru saja masuk kamar.
"Ya elah baru di kasi tau gitu aja udah marah, Aku kan emang ngomong apa adanya supaya kamu tu sadar, supaya jangan jadi pelakor. " ucapan Rasti yang cukup menusuk di hatiku mengatakan Aku pelakor. Padahal ia tidak tau cerita sebenarnya. Setelah mencemooh ku Rasti pun langsung ke luar.
"Itu mulutnya kenapa jahat banget ya mbak? apa itu mulut gak pernah makan bangku sekolah ya!!!Kalo ngomong kok sadis banget." ucap MUA yang tadi merias ku. Dia sudah tampak hampir selesai membereskan alat make-upnya.
"Biasa Mbak, di emang itu orangnya emang suka julid, kalo ngomong kayak gak punya rem. BLONG......gitu." ujar ku berusaha untuk tersenyum.
Usai di panggil Riska aku pun di tuntun oleh Riska untuk keluar dari kamar. Tiba di ruang depan, tempat acara di langsungkan, tatapanku mencari keberadaan pria itu, kemana pria yang akan menjadi calon suami ku, kok tidak tampak?
"Lho mana ini yang mau ngelamar? Kok ndak ada! Apa Bapak ini yang mau melamar dan menikah dengan keponakan kami? Tanya Bude Retno "kamu mau menikah dengan Bapak-bapak tua itu Num! sudah beristri lagi!!! Kayak gak laku aja kamu Num. Sayang banget kamu itu masih muda. Kayak orang yang udah kebelet kawin aja kayak gitu di embat. Gak gini juga kali Num." Tukasnya lagi.
Suara-suara berbisik terdengar di telinga ku. Para saudara dari pihak Ayah terlihat jelas meremehkan ku mereka saling menggunjing dan mengira kalo laki-laki yang datang bersama Bu Aisyah. Adalah orang yang akan menikahi ku.
Padahal yang Aku tahu beliau bukanlah Mas Bisma. Walaupun Aku belum pernah bertemu dengan dirinya... Tapi Bu Aisyah tentu pernah menunjukkan fotonya pada ku. Walaupun duduk di kursi roda tapi wajah tampan Mas Bisma memang tidak bisa di pungkiri.
"Num maaf ya Mbak telat, habis baru pulang dari Rumah Sakit. "ucap Mbak Rihana yang tiba-tiba sudah duduk di samping ku.
"Iya Mbak gapapa. Mbak bisa kesini aja aku udah seneng. " ucap ku sambil tersenyum.
Setelah Aku ngobrol sebentar dengan mbak Rihana, terus Aku kembali fokus pada acara. Tapi ada satu yang mengalihkan perhatian ku, wajah pria tua yang di tanya kan bude tadi itu mirip sekali dengan Mas Bisma, apa mungkin itu Papanya.
"Iya nih, kamu itu kalo kebelet Nikah ya gak papa sama kuli bangunan Num. Tapi jangan sama Bapak-bapak tua juga dong, buat malu aja! " ujar Rasti. Dia terlihat tertawa kecil di ujung sana sambil kemudian berbisik di telinga bude Retno.
"Mbak! Rasti! Kalian ini apa-apaan sih? Jangan seperti itulah di depan tamu ku! Ujar Ayah dengan wajah menahan malu.
Ayah bangkit dan mempersilahkan Bu Aisyah dan laki-laki itu untuk segera duduk. Bu Aisyah seperti tidak datang dengan rombongannya, karena dia datang hanya berdua dengan laki-laki itu saja.