Setelah menikahi Ravendra Alga Dewara demi melaksanakan wasiat terakhir dari seseorang yang sudah merawatnya sejak kecil, Gaitsa akhirnya mengajukan cerai hanya dua bulan sejak pernikahan karena Ravendra memiliki wanita lain, meski surat itu baru akan diantar ke pengadilan setahun kemudian demi menjalankan wasiat yang tertera.
Gaitsa berhasil mendapatkan hak asuh penuh terhadap bayinya, bahkan Ravendra mengatakan jika ia tidak akan pernah menuntut apa pun.
Mereka pun akhirnya hidup bahagia dengan kehidupan masing-masing--seharusnya seperti itu! Tapi, kenapa tiba-tiba perusahaan tempat Gaitsa bekerja diakuisisi oleh Grup Dewara?!
Tidak hanya itu, mantan suaminya mendadak sok perhatian dan mengatakan omong kosong bahwa Gaitsa adalah satu-satunya wanita yang pernah dan bisa Ravendra sentuh.
Bukankah pria itu memiliki wanita yang dicintai?
***
"Kamu satu-satunya wanita yang bisa kusentuh, Gaitsa."
"Berhenti bicara omong kosong, Pak Presdir!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agura Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Konferensi Pers
Dua hari berlalu sejak pihak Dewara Grup mengeluarkan ultimatum tentang status Gaitsa dan Biyu. Siapa pun yang menyebarkan berita tidak benar akan langsung dilaporkan dan diproses secara hukum.
Konferensi pers resmi akan dilaksanakan hari ini, itu sebabnya lobi salah satu hotel milik Dewara Grup dipenuhi wartawan dari berbagai media. Proses wawancara memang dilakukan tertutup dengan hanya mengundang sekitar dua puluh media. Mereka adalah orang-orang yang tidak mengeluarkan berita yang menjelekkan nama Gaitsa seperti media lainnya.
Hal itu dilakukan sebagai pelajaran bagi media lain agar tidak lagi mengeluarkan berita tak berdasar hanya demi menarik simpati masa. Konferensi ini juga mengumumkan secara tidak langsung bahwa hanya dua puluh media itulah yang pertama akan selalu mendapat berita ekslusif tentang Dewara Grup.
Alan berdiri di lantai dua sebuah aula besar yang akan digunakan sebagai tempat konferensi pers dilakukan, beberapa orang tampak sudah duduk di kursi yang disediakan. Pria itu menatap puas hasil kerja kerasnya selama dua hari saat tidak ada lagi media yang berani mengeluarkan berita buruk tentang Gaitsa.
"Aku gugup," ucap seseorang yang menyandarkan kepala di bahu Alan.
Wajah cantik itu tampak lebih memesona dengan riasan tambahan dan gaun karamel selutut serta sepatu hak putih yang melekat di kaki putihnya. Ravasya sedikit cemberut karena harus menghadapi media dan tampil di hadapan publik sebagai putri bungsu Dewara untuk pertama kali.
Kalau bukan demi membersihkan nama Gaitsa dan agar tidak ada lagi yang berani menjelekkan wanita itu, Ravasya pasti malas harus tersenyum sepanjang waktu.
"Tidak apa, ingat saja poin penting di skenario yang sudah kita tulis. Kalau lupa harus menjawab apa atau pertanyaan yang diajukan tidak terdaftar, biar Ravendra yang menjawab." Alan melingkarkan tangannya di bahu Ravasya, tersenyum lembut pada wanita yang sejak bertemu selalu mendapat perhatiannya.
"Apa Gaitsa akan baik-baik saja?" tanya Ravasya cemas. Ia sempat mengunjungi kamar tempat Gaitsa sedang dirias, wanita itu memang tampak baik-baik saja, tapi ia tetap merasa khawatir.
"Dia lebih hebat dari yang pernah kamu bayangkan," jawab Alan santai, mengingat saat hari terakhir sidang di mana Gaitsa hampir meracuni pikirannya dengan mudah. "Dia cerdas, juga terbiasa menghadapi banyak orang," lanjutnya sembari mengusap bahu Ravasya, menenangkan wanitanya.
***
Cantik. Ravendra tahu kalau wanita yang pernah dinikahinya itu memang sangat cantik, tapi baru sekarang ia menikmati keindahan itu tanpa perasaan muak.
Ravendra masih memerintah orang untuk mencari keberadaan Yuda, pengacara Mahendra yang sekarang entah di mana. Ia yakin pria paruh baya itu mengetahui sesuatu tentang surat adopsi Gaitsa. Kenapa Mahendra repot sekali membuat dua surat dengan tanggal dan tahun berbeda?
Belum lagi kenyataan kalau Gaitsa tidak punya ingatan jelas tentang panti asuhan tempat tinggalnya dulu, padahal usianya sembilan tahun saat pindah ke kediaman Dewara. Aneh sekali wanita itu tidak ingat tiga tahun waktunya di panti asuhan, tapi itu pun kalau benar Gaitsa pernah tinggal di sana seperti informasi yang dikatakan Mahendra.
"Ayo," ajak Gaitsa saat merasa penampilannya sudah sempurna. Wanita itu tampak anggun dengan gaun putih panjang yang menampilkan bahu, rambut panjangnya dibuat bergelombang. Sepatu hak setinggi tujuh senti membuat penampilannya semakin memesona.
"Kamu tidak akan lupa dialogmu, kan?" tanya Ravendra seraya memberikan lengannya, tersenyum saat wanita itu merotasikan bola mata.
Sejak proposal dadakan dengan ciuman nyata di ruangan Ravendra, hubungan mereka sedikit canggung. Hari ini pertama kali mereka hanya berdua sejak kejadian itu. Biasanya Ravasya dan Alan selalu ada di sekitar saat mereka membahas tentang kegiatan hari ini.
Sebenarnya Ravendra gugup sejak hanya mereka berdua di kamar, tapi menepis semua pikiran kotor yang bersarang, apalagi melihat bahu putih Gaitsa yang terbuka. Pria itu harus berkali-kali menenangkan dirinya untuk tidak melakukan hal konyol dengan mendorong Gaitsa ke ranjang.
"Cantik banget kamu, Sha." Ravasya berbisik saat mereka bertemu di depan ruang konferesi pers diadakan.
Gaitsa tersenyum menerima pujian yang sudah biasa ia dengar. "Dibilang cantik oleh orang yang lebih cantik itu menyenangkan, ya?" godanya saat melihat penampilan Ravasya yang tampak berbeda.
Ravasya memukul lengan Gaitsa pelan, wajahnya memerah malu. Kilat dari kamera di seluruh sudut ruangan menyambut kedatangan tiga orang yang merupakan tokoh utama hari ini, diikuti oleh Alan selaku moderator acara.
Ravendra duduk di tengah, dengan Gaitsa di sisi kiri dan Ravasya di samping kanan. Situasi cukup terkendali saat para wartawan juga duduk rapi tanpa bersuara. Alan membuka acara dan membeberkan beberapa alasan terkait diadakannya konferensi pers hari ini.
Lima belas menit setelahnya, Alan membuka sesi wawancara dengan lima pertanyaan terlebih dahulu. Alika menelan saliva saat rasa gugup menyerang. Berbagai pertanyaan dilontarkan, sebagian menanyakan kepastian hubungan Gaitsa dan Ravendra serta alasan menyembunyikan status pernikahan mereka dari publik.
Ravasya mengagumi bagaimana Ravendra dan Gaitsa menghadapi berbagai pertanyaan yang sebenarnya sangat menyentuh privasi dengan tenang, bahkan beberapa kali Kakaknya itu melontarkan candaan bahwa ia sedang berusaha mengejar Gaitsa lagi.
"Nona Gaitsa, apa yang pertama kali Anda pikirkan saat mengetahui bahwa wanita yang Anda sangka adalah selingkuhan Tuan Ravendra ternyata adik kandungnya? Tidakkah Anda menyesali keputusan tergesa yang Anda ambil?"
Ravendra menggantikan Gaitsa menjawab ketika melihat wanita itu tampak tidak nyaman dengan pertanyaannya.
Gaitsa termenung. Apa yang ia pikirkan pertama kali saat mengetahui bahwa wanita yang ia kira selingkuhan Ravendra ternyata adik kandungnya? Ia merasa dikhianati. Tahun-tahun yang ia habiskan sebagai cinderella yang menumpang di kediaman Dewara, terasa tidak berarti apa-apa. Gaitsa merasa seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa.
Tapi bukan hanya Gaitsa, Ravasya pun tidak memahami situasi yang terjadi. Mereka bertiga terjebak dengan kebohongan yang Mahendra buat. Kalau saja takdir tidak membawa Ravasya menjadi psikolog anak di tempat Gaitsa biasa menitipkan Biyu. Seandainya Ravasya dan keluarganya tidak pindah ke gedung apartement yang sama seperti Gaitsa, mereka pasti masih terjebak dalam lingkaran kebencian yang tidak tahu kapan berakhir.
Ravendra membenci Gaitsa yang merebut posisi adiknya di kediaman Dewara dan di sisi sang ayah. Pria itu selalu dipenuhi pikiran negatif tentang Gaitsa sejak Mahendra menunjukkan surat adopsi wanita itu, di tahun yang sama saat Mahendra mengirim anak-anaknya untuk tinggal di luar negeri.
Gaitsa membenci Ravendra yang selalu menatapnya dengan cemooh dan merendahkan, seolah Gaitsa adalah hama yang menganggu hidupnya, tanpa tahu bahwa pria itu sedang salah paham.
Haah ... melelahkan. Sebenarnya Gaitsa membenci keadaan di mana ia merasa lemah. Merasa dibodohi oleh Mahendra selama bertahun-tahun tanpa tahu alasan ia harus diperlakukan seperti itu. Wanita itu bahkan tidak bisa mengeluh karena Ravendra dan Ravasya juga tidak mengetahui apa pun.
..rasain akibat bikin wanita sakit hati...bikin dia bucin thor biar ngak arogant