NovelToon NovelToon
Titik Koordinat Mimpi

Titik Koordinat Mimpi

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cinta Seiring Waktu / Cinta Murni
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Harti R3

Zefanya Alessandra merupakan salah satu mahasiswi di Kota Malang. Setiap harinya ia selalu bermimpi buruk dalam tidurnya. Menangisi seseorang yang tak pernah ia temui. Biantara Wisam dosen tampan pengganti yang berada dalam mimpinya. Mimpi mereka seperti terkoneksi satu sama lain. Keduanya memiliki mimpi yang saling berkaitan. Obat penenang adalah satu-satunya cara agar mereka mampu tidur dengan tenang. Anehnya, setiap kali mereka berinteraksi mimpi buruk itu bak hilang ditelan malam.
Hingga sampai saat masa mengabdinya usai, Bian harus kembali ke luar negeri untuk menyelesaikan studinya dan juga merintis bisnis. Saat keberangkatan, pesawat yang diduga ditumpangi Bian kecelakaan hingga menyebabkan semua awak tewas. Semenjak hari itu Zefanya selalu bergantung pada obat penenang untuk bisa hidup normal. Mimpi kecelakaan pesawat itu selalu hadir dalam tidurnya.
Akankah harapan Zefanya untuk tetap bertemu Bian akan terwujud? Ataukah semua harapannya hanya sebatas mimpi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Harti R3, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pameran Foto

Mobil sport berwarna putih melaju di jalan tengah kota. Sesekali menerobos macetnya jalanan. Zizi tak banyak berbicara di dalam mobil. Hanya didominasi Bian yang sedari tadi sibuk dengan ponsel di telinganya. Akhir-akhir ini ia sibuk dengan urusan pekerjaan lain di luar kampus. Jalanan macet, Bian yang sibuk dengan urusan bisnisnya membuat Zizi sangat bosan. Zizi mengeluarkan earphone dari dalam tasnya. Bertepatan dengan panggilan yang berakhir, Bian menyadari Zizi yang tengah bosan. Reflek tangan Bian menahan tangan Zizi yang hendak menyumpal telinganya dengan earphone. Bertepatan  pula dengan lampu merah dengan durasi 2 menit.

“Sorry mengabaikanmu dari tadi.” Tangannya meraih pemutar musik di mobil. “Kurasa begini lebih asyik, aku pun bisa mendengar.” Menoleh ke arah Zizi.

Zizi menyimpan kembali earphonenya. Ia terdiam sesaat menyadari baru saja tangan Bian menahan tangannya. Kembali tangan Bian membuatnya terkaget saat membuka dashboard tepat di depannya. Terdapat dua kaleng minuman di dalamnya.

“Minumlah. Mungkin akan memakan waktu sedikit lama untuk sampai. Bahkan sudah dua kali tak lolos lampu merah.”

“Hmm. Mungkin karena weekend makanya padet banget jalannya. Mau?” Zizi menawarkan minuman kepada Bian untuk mencairkan suasana.

“Boleh.” Ia membuka dan segera meneguk minuman tersebut. “Lagi?”

“Hah? Lampu merah lagi, sengaja apa gimana sih?” Zizi celingak celinguk memperhatikan kendaraan yang berada di sekitar mobil Bian. Namun, Bian malah memperhatikan Zizi. Baginya itu lucu. Sunggingan senyum segera ia tutupi dengan meneguk minuman dan mengalihkan pandangan ke luar kaca.

“Sepertinya kali ini lolos.” Bian menginjak gas setelah lampu berwarna hijau.

“Syukurlah.” Ucap Zizi melihat keluar jendela.

“Kamu pernah ke pameran foto taunan seperti ini?”

“Saya pikir belum pernah, baru kali ini.”

“Aku pernah mengikuti acara seperti ini, di kampusku. Kurasa itu adalah pengalaman yang akan selalu ku ingat.”

Zizi terdiam. Aku? Kamu? Zizi berdehem untuk mencairkan kecanggungannya sendiri.

“Kenapa?”

“Oh gapapa, Pak.”

“Pak? Kita sedang tidak kuliah Zi, bukankah itu terlalu formal?”

Uhukkkk! Zizi tersedak saat meneguk minumannya.

“Hati-hati.” Menyodorkan selembar tisu kepada Zizi.

“Ah di depan sudah terlihat ramai, sebentar lagi sampai.” Ia mengalihkan pembicaraan. Terlalu formal? Bukankah tetap saja mahasiswa sama dosen? Ia menggelengkan kepalanya menyingkirkan jauh-jauh anggapannya itu.

Melihat halaman yang penuh sesak, Bian harus memutar mencari tempat parkir. Akhirnya ia diarahkan untuk parkir di halaman alun-alun yang tak jauh dari gedung pameran.

“Jalan gapapa? Parkirnya lumayan jauh.” Ucapnya sambil merapikan mobilnya.

“Gapapa sekalian olahraga, tadi pagi kan belum jogging.”

“Ah betul juga kamu.” Mereka tertawa berdua.

Berjalan menyusuri trotoar di bawah rindangnya pepohonan. Lalu lalang manusia tak luput andil dalam riuhnya suasana. Ramainya manusia membuat Zizi sedikit kesusahan berjalan di samping Bian. Tanpa berpikir panjang Bian menggenggam tangan Zizi yang berjalan di belakangnya. Zizi pun membulatkan matanya dan melihat tangannya yang sudah digenggaman Bian.

“Tetaplah bersamaku sampai ketemu anak-anak lainnya.”

“Saya rasa, saya bukan anak kecil yang bisa hilang deh Pak.” Melepaskan tangan begitu saja karena gugup. Tiba-tiba saja brukk! Zizi jatuh di dekapan Bian.

Dug dug dug. Hatinya bergemuruh, jantungnya berdetak tak berirama. Begitu juga Bian, seolah semesta mengetahui apa sebenarnya perasaan mereka. Berpelukan dengan orang yang dicintai, di tengah hiruk pikuk lautan manusia.

“Maaf-maaf kak. Gak sengaja, maaf ya kak.” Gerombolan anak muda itu kemudian pergi setelah menabrak Zizi yang berjalan di depannya.

“Ma-maaf.” Zizi dengan cepat melepaskan dirinya dari dekapan Bian. Bian hanya bisa mematung tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Hanya deheman yang ia harap bisa menetralisir degup jantungnya. Wajah Zizi terasa panas seketika. Mungkin wajahnya sudah berubah warna seperti udang rebus. Ia mencoba menetralisir perasaannya.

“Sebaiknya kita segera cepat, mungkin saja yang lain sudah menunggu.”

“Hmmm.” Jawab Bian singkat.

“Mmmm.... Aku di depan jadi Pak Bian bisa mengawasi kalau saja aku hilang.” Mencoba bercanda meskipun terasa garing. Ia lalu berjalan mendahului Bian.

Memandangmu dari belakang rasanya sudah cukup. Ya, sudah cukup untuk saat ini. Perasaan apa ini? Kenapa juga aku dengan lancang memegang tangannya dua kali hari ini? Gumam Bian yang mengikuti langkah Zizi.

“Zizi!” teriak Felice di ujung sana seraya melambaikan tangan. Setelah mengarungi lautan manusia akhirnya ia sampai juga di tempat Felice berdiri. “Akhirnya loe dateng juga.” Melihat Bian yang berjalan di belakang Zizi. “Loe dateng bareng Pak Bian?”

“Tadi ketemu di jalan, jadi saya ajak bareng sekalian. Kalian masuk duluan saja, mungkin acaranya sudah dimulai. Saya masih ada urusan dengan panitia.”

“Bapak panitia?” tanya Felice.

“Bukan. Mmmmm donatur. Saya duluan ya.”

Saya? Bukankah tadi bilang terlalu formal?

“Yuk masuk.” Felice menggandeng tangan Zizi dan Angga di lengan kanan kiri.

Di pintu masuk, mereka diberi stiker event dan stiker bintang. Stiker bintang gunanya untuk memilih foto yang paling estetik menurut pengunjung. Mereka bertemu anak-anak kampus lain yang juga turut hadir meramaikan pameran. Mereka juga bertemu teman-teman sekelas mereka. Memasuki gedung, mereka dibuat terpesona dengan ornamen simpel dan jajaran foto yang telah terpajang di dinding. Tak hanya foto yang dipamerkan, namun ada juga karya seni seperti pahatan, gerabah, lukisan, gypsum dan masih banyak karya-karya lain yang tersaji.

Memasuki lorong demi lorong, tak henti-hentinya mereka dibuat kagum oleh mahakarya pegiat seni. Tak lupa Zizi mengeluarkan kamera dari tasnya untuk mengabadikan karya-karya yang menarik baginya. Tak lupa juga ia mengabadikan foto bersama teman-temannya.

“Gue Zi, fotoin gue di sini. Karyanya keren banget.” Ucap Jordy.

“Nanti gantian ya, gue juga tertarik sama karya yang di sana.” Zizi menunjuk ke arah karya yang terbuat dari besi. Kupu-kupu.

“Foto bareng gak  sih, biar lebih seru?” ucap Nathan mengarahkan ponselnya untuk foto bersama.

“Oh iya Pak Bian jadi dateng?” tanya Jordy.

“Jadi tadi dateng bareng....” belum selesai bicara, Zizi menarik lengan Felice mengisyaratkan jangan bilang siapapun kalau tadi dia berangkat bareng Pak Bian.

“Bareng loe?”

“Maksutnya bareng kita-kita, ketemu di depan trus katanya ada urusan gitu.” Zizi bernafas lega mendengarnya. Melanjutkan sesi foto-fotonya.

Mereka pun menikmati karya-karya lain, menyusuri setiap ruangan. Tak lupa menempel bintang untuk karya pilihan mereka. Mereka juga tak luput mengabadikan momen bersama di sebuah karya yang menjadi ikonik dalam pameran tahunan ini. Sampai Zizi tersadar akan sesuatu. Ponselnya hilang. Ia tampak kebingungan mencari ponsel di tasnya.

“Felice pinjem HP loe.” Pintanya dengan panik.

Melihat status terkahir dilihat di whatsapp milik Felice. Terakhir dilihat 15.55. Ia mencoba menghubungi nomornya lewat ponsel Felice. Berdering tapi tak diangkat.

“Kenapa Zi? Panik gitu?” tanya Nathan mendekati Zizi.

“HP gue ilang.” Jawabnya singkat sambil terus berusaha menghubungi nomornya.

“Kok bisa?” sahut teman-temannya bersamaan.

“Kalo kalian tanya gue, gue tanya siapa?” jawabnya ketus.

“Coba gue hubungi juga. Berdering tapi gak diangkat.”

“Terakhir dilihat 15.55 brarti pas berangkat gak sih?” Jordy meyakinkan.

“Jatuh kali ya, soalnya kan berdering tuh tapi gak diangkat.” Ucap Felice menimpali.

“Gini aja deh, kita hubungi panitia aja barangkali nemu HP suruh hubungi salah satu dari kita.”

“Gue aja yang nemenin Zizi, katanya kalian ada acara setelah ini.” Ucap Nathan.

“Ah iya aku lupa. Sorry ya Zi gak bisa bantu.”

“Gapapa kalian duluan aja, ada Nathan.”

Nathan dan Zizi bergegas menuju meja panitia. Menginformasikan bahwa ponselnya terjatuh. Mereka memberi informasi dengan jelas berharap ponsel Zizi masih bisa ditemukan.

1
Rami
Karya yang luar biasa. Membacanya seakan larut dalam setiap situasi. Bahagia, sedih, lucu bisa ditemukan di karya ini. Jangan lupa membacanya 🥰
☆☆D☆☆♡♡B☆☆♡♡: Iya, semangat🙏✌
Rami: salam kenal juga kak, karyamu udah banyak semoga nular di aku yaa /Pray/
total 3 replies
Yume✨
Lanjutkan terus, aku bakal selalu mendukungmu!❤️
Rami
Sabar kakak, bentar lagi rilis. Jangan merana lagi yaa hihihi
Yusuo Yusup
Lanjutin thor, jangan biarkan kami merana menunggu~
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!