Gus Zidan, anak pemilik pesantren, hidup dalam bayang-bayang harapan orang tuanya untuk menikah dengan Maya, wanita yang sudah dijodohkan sejak lama. Namun, hatinya mulai terpaut pada Zahra, seorang santriwati cantik dan pintar yang baru saja bergabung di pesantren. Meskipun Zidan merasa terikat oleh tradisi dan kewajiban, perasaan yang tumbuh untuk Zahra sulit dibendung. Di tengah situasi yang rumit, Zidan harus memilih antara mengikuti takdir yang sudah digariskan atau mengejar cinta yang datang dengan cara tak terduga.
Yuk ikuti cerita selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Rasa yang Terpendam
Malam itu, suasana pesantren terasa sunyi. Hanya gemerisik angin yang terdengar di antara pepohonan di halaman. Di kamar Zahra, sebuah doa panjang mengalir dari bibirnya. Tangannya yang tergenggam erat memohon petunjuk kepada Allah, berharap mendapatkan kekuatan untuk menghadapi semua cobaan ini.
"Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Ya Allah," gumam Zahra di sela-sela doanya. "Jika ini ujian, kuatkanlah aku untuk tetap istiqamah."
Di sudut lain pesantren, Zidan duduk di perpustakaan kecil yang jarang dikunjungi santri pada malam hari. Tumpukan kitab terbuka di depannya, tetapi pikirannya melayang jauh. Bukan kepada Maya, seperti yang diharapkan keluarganya, melainkan kepada Zahra. Setiap senyum, kata-kata lembut, dan ketulusan Zahra membuatnya tak mampu menyangkal perasaan yang mulai tumbuh di hatinya.
Namun, Zidan tahu posisinya sebagai Gus, anak dari pemimpin pesantren, membuat langkahnya tidak mudah. Nama baik keluarganya, hubungan pesantren dengan keluarga Kiai Mahfud, dan pandangan masyarakat adalah beban yang tidak bisa ia abaikan begitu saja.
"Apakah aku salah jika mencintai seseorang yang bukan pilihan keluarga?" Zidan bergumam pada dirinya sendiri.
Keesokan harinya, Zahra berusaha menjalani harinya seperti biasa. Ia mengikuti semua jadwal mengaji, belajar, dan kegiatan pesantren lainnya dengan penuh semangat. Namun, bisik-bisik yang ia dengar di antara para santriwati mulai semakin jelas.
"Katanya Gus Zidan sering memperhatikan Zahra," ujar seorang santriwati dengan nada sinis.
"Ah, masa iya? Zahra kan cuma santriwati baru," balas yang lain.
Zahra berpura-pura tidak mendengar, tetapi hatinya terasa sakit. Ia tidak pernah berniat menarik perhatian Gus Zidan, apalagi menciptakan masalah.
Di sisi lain, Maya mulai mengambil langkah untuk memastikan posisinya. Ia datang ke pesantren siang itu, dengan alasan ingin menemui Ummi Halimah. Zahra yang tidak sengaja bertemu Maya di lorong utama merasa ada sesuatu yang aneh dari tatapan Maya kepadanya.
"Zahra, ya?" sapa Maya dengan senyum tipis.
"Iya, Mbak," jawab Zahra sopan.
"Saya Maya," Maya memperkenalkan diri. "Calon istri Gus Zidan."
Kalimat itu terasa seperti petir di siang bolong bagi Zahra. Ia menunduk, tidak tahu harus menjawab apa.
"Saya dengar kamu santriwati yang berbakat," lanjut Maya. "Semoga kamu betah di sini. Dan ingat, kita semua ada di sini untuk belajar, bukan untuk hal-hal lain."
Zahra hanya mengangguk, mencoba menyembunyikan rasa terkejut dan bingungnya.
Setelah Maya berlalu, Zahra langsung menuju kamar. Air matanya mulai mengalir tanpa ia sadari. "Kenapa aku harus berada di tengah situasi ini?" gumamnya dengan suara bergetar.
Malam itu, Zidan dipanggil ke ruang keluarga. Ummi Halimah dan Abi Idris duduk di sana, terlihat lebih serius dari biasanya.
"Zidan," Abi memulai. "Hari ini nak Maya datang ke sini. Dia ingin memastikan bahwa semuanya berjalan sesuai harapan."
Zidan mengangguk pelan. "Abi, Ummi… saya tidak ingin menyakiti siapa pun. Tapi perasaan saya sudah jelas. Saya tidak mencintai Ning Maya."
Ummi Halimah menatap Zidan dengan lembut. "Nak, Ummi tahu ini sulit untukmu. Tapi keputusan ini bukan hanya tentang kamu. Ini juga menyangkut hubungan keluarga kita dengan Kiai Mahfud."
"Ummi," Zidan menatap ibunya, mencoba menahan emosinya. "Apakah menjaga hubungan itu harus mengorbankan kebahagiaan saya?"
Abi Idris terdiam, tampak memikirkan sesuatu. Setelah beberapa saat, ia berkata, "Kami akan bicara dengan Kiai Mahfud. Tapi, Zidan, jika kamu serius tentang Zahra, kamu harus memastikan dia juga merasa yang sama. Jangan sampai ini hanya perasaan sepihak."
Zidan mengangguk. Ia tahu apa yang harus ia lakukan.
Di keheningan malam, Zidan memutuskan untuk menemui Zahra. Ia tahu ini mungkin melanggar aturan pesantren, tetapi ia harus berbicara langsung dengannya.
Di taman kecil dekat asrama putri, ia menunggu dengan harapan Zahra akan lewat. Tidak lama kemudian, Zahra muncul, membawa buku catatannya. Ia tampak terkejut melihat Zidan di sana.
"Gus Zidan?" Zahra bertanya, bingung.
"Maaf jika ini mengganggumu, Zahra," Zidan memulai. "Tapi ada sesuatu yang ingin saya bicarakan."
Zahra menatapnya dengan ragu. "Apa itu, Gus?"
Zidan menarik napas dalam-dalam. "Zahra, saya tahu situasi ini tidak mudah untukmu. Tapi saya ingin kamu tahu… perasaan saya tulus. Saya tidak pernah berniat membuatmu tidak nyaman."
Wajah Zahra memerah. Ia tidak tahu harus berkata apa.
"Gus Zidan," Zahra akhirnya berbicara, dengan suara lembut. "Saya hanya seorang santriwati biasa. Saya tidak pantas berada dalam situasi seperti ini."
"Jangan bilang begitu, Zahra," Zidan menatapnya dengan serius. "Kamu lebih dari sekadar santriwati biasa. Kamu seseorang yang membuat saya melihat hidup dari sudut pandang yang berbeda."
Zahra terdiam. Kata-kata Zidan terasa tulus, tetapi ia juga tahu bahwa jalan mereka tidak akan mudah.
"Gus, saya… saya butuh waktu untuk memahami semua ini," ujar Zahra akhirnya.
Zidan mengangguk. "Saya akan menunggumu, Zahra. Sebanyak apa pun waktu yang kamu butuhkan."
Malam itu, Zahra kembali ke kamarnya dengan hati yang campur aduk. Di satu sisi, ia merasa ada sesuatu yang indah tumbuh di hatinya. Tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa keputusan ini akan membawa banyak konsekuensi.
Keesokan harinya, Abi Idris dan Ummi Halimah memutuskan untuk menemui Kiai Mahfud. Mereka tahu ini adalah langkah besar yang harus diambil dengan hati-hati.
"Kiai Mahfud, kami ingin berbicara tentang perjodohan antara Zidan dan Maya," Abi memulai dengan nada hati-hati.
Kiai Mahfud mendengarkan dengan tenang. Setelah Abi selesai berbicara, beliau tersenyum tipis. "Saya sudah mendengar desas-desus tentang Zidan dan seorang santriwati. Jika memang hati Zidan tidak untuk Maya, saya tidak ingin memaksanya. Tapi, tentu saja, kita harus menyelesaikan ini dengan baik."
Ucapan Kiai Mahfud membuat Abi Idris dan Ummi Halimah sedikit lega. Namun, mereka tahu perjalanan ini masih jauh dari selesai.
Sementara itu, Zahra semakin tenggelam dalam doanya, berharap Allah menunjukkan jalan terbaik untuk semua pihak.
Bab ini menggambarkan semakin kompleksnya konflik yang dihadapi Zidan dan Zahra. Dengan keterlibatan langsung Kiai Mahfud dan Maya yang mulai mengambil tindakan, akankah jalan mereka semakin sulit? Ataukah ada keajaiban yang akan mengubah segalanya?
To Be Continued...
kirain kemarin" tu Kyai Mahfud ortu Ning Maya 🤭
ingat Maya, Adab lebih tinggi dari ilmu. sebagai putri kyai pemilik pondok ilmumu tidak diragukan lagi. tapi adabmu ??