Agnes tak pernah menyangka, sebuah foto yang disalahartikan memaksanya menikah dengan Fajar—dosen pembimbing terkenal galak dan tak kenal kompromi. Pernikahan dadakan itu menjadi mimpi buruk bagi Agnes yang masih muda dan tak siap menghadapi label "ibu rumah tangga."
Berbekal rasa takut dan ketidaksukaan, Agnes sengaja mencari masalah demi mendengar kata "talak" dari suaminya. Namun, rencananya tak berjalan mulus. Fajar, yang ia kira akan keras, justru perlahan menunjukkan sisi lembut dan penuh perhatian.
Bagaimana kelanjutan hubungan mereka? Apakah cinta bisa tumbuh di tengah pernikahan yang diawali paksaan? Temukan jawabannya di cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Hari itu terasa seperti lembaran baru bagi pasangan suami istri yang baru menikah kurang dari sebulan. Rasa canggung masih menghinggapi mereka, terutama dengan sikap Agnes yang polos dan kadang blak-blakan.
Fajar hampir ingin menghilang dari bioskop, saat Agnes tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang membuatnya mati gaya. Beruntung, sebelum ia sempat merespons, lampu bioskop menyala, menyelamatkannya dari kebingungannya. Namun, rasa canggung itu tetap terasa, bahkan saat mereka kini berada di kamar.
"Ehm... aku mandi dulu," kata Fajar, memecah keheningan yang semakin berat.
Agnes, yang sedari tadi hanya memainkan tengkuknya sambil menunduk, memejamkan mata sejenak dan mengangguk pelan. “Iya, Pak,” jawabnya dengan suara kecil, seperti seorang murid yang dipanggil guru ke depan kelas.
Begitu Fajar masuk kamar mandi, suara gemericik air terdengar, membuat Agnes melirik pintu kamar mandi. Ia duduk di tepi ranjang, memeluk bantal dengan jantung yang semakin berdebar. Pikirannya mulai berputar liar.
“Kenapa dia mandi malam-malam? Jangan-jangan dia mau... ya ampun, masa iya malam ini?!” gumam Agnes sambil memeluk bantal lebih erat, seolah itu satu-satunya pelindungnya.
“Kalau benar, aku harus siap-siap! Tapi... tapi aku belum siap!” pikir Agnes dengan panik. Namun, di sisi lain, bayangan itu terus menggodanya. Terlebih lagi, ingatan tentang ciuman mereka di bioskop tadi masih begitu jelas. Membayangkannya saja membuat tubuh Agnes terasa tegang seperti mendapatkan kejut jantung 200 volt.
“Ya Tuhan, kenapa aku jadi begini?” keluhnya, meraup wajahnya dengan kedua tangan. Tapi bukannya berhenti, pikirannya malah semakin liar, membayangkan Fajar dengan senyum khasnya, lalu... “Stop, Agnes! Jangan ngelantur!” teriaknya pelan, mengguncang-guncang kepalanya sendiri.
Tiba-tiba, pintu kamar mandi berderit pelan. Agnes terkejut, buru-buru merebahkan diri di ranjang, pura-pura tidur dan menarik selimut hingga menutupi setengah wajahnya.
Namun, suara langkah kaki Fajar yang mendekat membuatnya semakin gelisah. Jantungnya berdebar keras. Ketika Fajar hanya beberapa langkah darinya, Agnes tak tahan lagi. Ia langsung bangkit, wajahnya panik.
“Ba-bapak mau ngapain?” tanyanya gugup, matanya menatap Fajar seperti kelinci yang terperangkap.
Fajar, yang hanya mengenakan handuk kimono yang diikat asal-asalan, mengangkat alis heran. Belahan dadanya yang terlihat mencolok, lengkap dengan air yang masih menetes, membuat Agnes hampir tanpa sadar ingin menjulurkan tangannya untuk... memegang?! Untungnya, akal sehatnya segera kembali. Ia buru-buru melipat tangannya di depan dada.
Fajar tersenyum melihat kegugupan istrinya. “Buka celanamu,” katanya tiba-tiba.
Agnes terperanjat. Wajahnya memerah, matanya membelalak. “Pak, jangan macam-macam! Memang tadi aku nggak nolak waktu kita ciuman, tapi kalau sampai tahap itu, aku belum siap!” serunya, sambil memejamkan mata rapat-rapat.
Fajar terkekeh pelan, senyumannya semakin lebar. Sikap Agnes yang gugup benar-benar lucu di matanya. Ia mendekat, lalu tanpa peringatan mengangkat tubuh mungil Agnes, yang langsung meronta.
“Pak, jangan! Aku... aku...,” protes Agnes dengan suara yang semakin melemah.
Namun, Fajar hanya mendudukkan Agnes di tepi ranjang dengan lembut. Wajahnya kini berada begitu dekat dengan Agnes, hingga suara maskulinnya terdengar jelas di telinganya.
“Nes, tadi aku lihat kaki kamu kayaknya tersandung waktu di bioskop. Aku periksa dulu, takutnya memar,” katanya dengan nada serius.
“Hah?! Apa?” balas Agnes, membuka matanya perlahan, wajahnya penuh kebingungan.
Fajar tersenyum kecil, lalu berjongkok, menyentuh pergelangan kaki Agnes dengan lembut. Sementara itu, Agnes hanya bisa terpaku. Ia masih mencoba mencerna kata-kata suaminya sambil berpikir, “Jadi... ini bukan soal itu?!”
"Soal apa, Nes?" tanya Fajar santai sambil memeriksa kaki Agnes setelah ia menggulung celana panjang Agnes.
Agnes yang sudah kepalang malu langsung menyalahkan Fajar, “Bapak, Bapak godain aku ya! Bikin aku berpikir macam-macam. Pokoknya ini semua salah Bapak! Otakku yang suci jadi negatif begini.”
Fajar mengambil betadin dan mengoleskannya lembut ke kaki Agnes yang memar sambil meniup-niupnya agar tidak terasa sakit. Agnes menahan rasa sakit yang terasa.
"Sakit?" tanya Fajar dengan lembut.
"Pak..." ucap Agnes mengiba.
Setelah selesai, Fajar menatap Agnes yang kini duduk di sisi ranjang, sementara dirinya masih jongkok di depan kaki Agnes. Dengan senyum manis yang jarang terlihat, Fajar berkata, "Nes, aku nggak akan memaksamu kalau kamu belum siap. Maaf selama ini sudah bertindak lancang dengan menciummu, tapi untuk yang satu itu, aku bersedia menunggu sampai kamu siap menyerahkan dirimu sendiri padaku."
Mata Agnes membulat mendengar ucapan Fajar. Ia tidak menyangka suaminya yang biasanya terkesan kaku dan dingin, bisa berkata begitu lembut. Jantungnya berdebar lebih cepat dari sebelumnya, bukan karena gugup, tetapi karena rasa haru yang perlahan menyelinap ke dalam hatinya.
Fajar tetap menatap Agnes dengan senyuman yang menenangkan. "Aku tahu semuanya butuh waktu. Aku nggak akan maksa kamu. Jadi... kalau kamu merasa nggak nyaman atau takut, bilang aja, ya?" lanjut Fajar, suaranya terdengar tulus.
Agnes merasa pipinya memanas. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan senyum yang tiba-tiba ingin muncul. Namun, hatinya terasa hangat. Kejadian kecil tadi—dari cara Fajar menyentuh pergelangan kakinya hingga ucapannya penuh pengertian—membuat Agnes mulai melihat sisi lain dari suaminya.
Melihat Agnes yang terdiam dan sepertinya terbawa suasana, Fajar pun berdiri dan berkata, "Sudah malam, kamu nggak ganti baju. Atau mau aku bantu gantiin?"
Agnes tersentak, lalu kembali menyilangkan tangannya ke dada. "Pak Fajar, jangan ngambil kesempatan dalam kelonggaran!"
Fajar tertawa kecil lalu berkata, "Aku hanya bercanda."
Agnes yang malu buru-buru masuk ke kamar mandi, kakinya yang masih nyeri membuatnya berjalan dengan hati-hati. Namun, saat ia melangkah cepat, kakinya yang nyeri tiba-tiba terpeleset. Sebelum ia bisa jatuh, Fajar sigap meraih pergelangan tangannya, menariknya ke dalam pelukan.
Agnes terkejut, hampir tidak percaya. Mata mereka bertemu, dan Fajar memandangnya dengan tatapan lembut yang langka. Agnes bisa merasakan detak jantungnya semakin cepat.
"Agnes!" seru Fajar, cemas.
Agnes terdiam, tubuhnya masih tergantung di pelukan Fajar yang kuat. Bau sabun mandi yang menenangkan menguar di sekitar mereka, dan detak jantung Agnes semakin cepat.
"Jangan terlalu buru-buru kakimu masih sakit," kata Fajar dengan suara serendah mungkin, penuh kelembutan.
Agnes hanya bisa terdiam, wajahnya memanas. Sebuah perasaan yang sulit dijelaskan mulai menyelinap ke dalam dirinya, perasaan hangat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia menatap Fajar, merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Ada sesuatu dalam tatapan itu, sesuatu yang menggetarkan.
Jarak di antara mereka begitu dekat, bahkan terlalu dekat untuk sekadar sekilas tatapan. Agnes, dengan keberanian yang tak tahu dari mana datangnya, perlahan mendekatkan wajahnya ke wajah Fajar. Perlahan, bibirnya hampir menyentuh bibir Fajar, namun detik itu juga, tiba-tiba rasa canggung merayap kembali. Dalam sekejap, Agnes merasa seolah ada yang aneh.
Fajar merasakan perubahan itu, matanya melunak, seolah siap menerima apa pun yang akan terjadi. Namun, tepat saat itu, Agnes menarik sedikit wajahnya mundur dan mengerutkan kening.
"Pak, kayaknya ada yang ganjel di bawah sana deh!"
eh ini kok malah minta tolong ke fajar buat jd kekasih adiknya sehari.. haduuh itu malah bikin sherly tambah gila lah
licik sekali kamu Serly,,,,,,