Park Eun-mi, seorang gadis Korea-Indonesia dari keluarga kaya harus menjalani banyak kencan buta karena keinginan keluarganya. Meski demikian tak satupun calon yang sesuai dengan keinginannya.
Rayyan, sahabat sekaligus partner kerjanya di sebuah bakery shop menyabotase kencan buta Eun-mi berikutnya agar menjadi yang terakhir tanpa sepengetahuan Eun-mi. Itu dia lakukan agar dia juga bisa segera menikah.
Bagaimana perjalanan kisah mereka? Apakah Rayyan berhasil membantu Eun-mi, atau ternyata ada rahasia di antara keduanya yang akhirnya membuat mereka terlibat konflik?
Yuk! Simak di novel ini, Kencan Buta Terakhir. Selamat membaca.. 🤓
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspa Indah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 5
Rayyan memasuki lobi sebuah kantor yang lumayan luas. Di sana sini banyak orang berseliweran entah apa dan kemana tujuan mereka. Rayyan membayangkan kalau dia takkan sanggup bila harus bekerja di tempat seperti ini. Harus memakai pakaian resmi, sepatu mengkilap dan rambut yang selalu rapi. Sementara dirinya hanya memerlukan satu stel pakaian koki plus appron, yang di akhir waktu kerja akan bertabur tepung dan adonan lengket.
Ia kemudian mendekati meja resepsionis dan menanyakan tujuannya.
"Permisi, saya ingin bertemu dengan Tuan Jeong In-ho", ucapnya sungkan.
Seorang wanita di belakang meja resepsionis itu mengerutkan dahinya kemudian menelisik dirinya. Rayyan merasa tidak nyaman karenanya.
"Nama anda?", tanya wanita itu.
"Rayyan Aditya, saya sudah ada janji dengannya", sahut Rayyan.
"Dengar, aku sudah sering menemui orang-orang sepertimu. Kau kira kau bisa membohongiku? Seharusnya kau menyiapkan dirimu dengan lebih baik supaya aku lebih mempercayaimu"
Ekspresi wanita itu pun seolah juga turut menuduhnya penipu atau pembohong. Dan tentu saja, Rayyan merasa tersinggung!
"Nona, saya tidak berbohong sama sekali. Anda bisa menanyakannya langsung pada Tuan Jeong", Rayyan tak terima dengan tuduhan itu.
"Rayyan!", tiba-tiba seseorang memanggilnya, dengan senyuman cerah dan langkah cepat menghampirinya.
"Sudah lama? Maaf tadi aku baru selesai makan siang dengan klienku. Ayo kita ke ruanganku", ajaknya.
Si Nona Resepsionis memandangnya sambil meringis. Dan Rayyan membalasnya dengan tatapan sombong. Baru tahu dia!
Ruangannya cukup besar, tapi tak berlebihan seperti ruang CEO yang sering dilihatnya di tayangan drama. Atau itu adalah ruangan Presdir? Ah, entahlah! Rayyan sendiri tak tahu persis apa beda Presdir dan CEO itu. Yang jelas ruangan In-ho sangat nyaman, dengan interior yang sepertinya sangat sesuai dengan pembawaan penghuninya.
"Silahkan duduk. Kau ingin minum sesuatu?", tawar In-ho.
Dan satu lagi, CEO yang satu ini sangat jauh dari kata narsis. Atau sifat aneh tak masuk akal yang sering dimiliki para CEO di dalam kisah drama. Sebenarnya Rayyan bukan peminat tayangan drama, tapi para karyawan di toko sering memutarnya yang akhirnya mau tak mau dia juga ikut-ikutan menontonnya.
"Kalau boleh air mineral saja" sahut Rayyan yang kemudian duduk di sofa setelah dipersilahkan In-ho.
"Baiklah, kita mulai darimana?", tanya In-ho antusias.
"Saya perlu menanyakan beberapa hal pribadi pada anda yang mungkin akan membuat anda menjadi kurang nyaman", Rayyan sebenarnya merasa tak enak, tapi mau bagaimana lagi?
"Tidak masalah, kalau itu memang penting", sahut In-ho.
"Ehm.. apa agama anda?", tanya Rayyan to the point.
"Aku... Begini, sebenarnya keluargaku bukan keluarga yang agamis, bahkan sebagian besarnya adalah Atheis. Tapi kalau aku pribadi, aku mempercayai kalau ada kekuatan besar yang tak bisa kujelaskan. Aku terkadang hanya bisa merasakannya. Mungkin itu yang disebut kuasa Tuhan", sahutnya sambil tersenyum.
Aha! Agnostic. Sepertinya akan lebih mudah, ucap Rayyan dalam hati.
"Lalu, kenapa anda tak mencoba untuk mempelajari agama tertentu?", Rayyan mulai gencar.
"Entahlah, mungkin karena aku terlalu sibuk. Lagipula aku bingung dengan begitu banyaknya Tuhan yang diklaim agama-agama itu. Aku tidak tahu Tuhan mana yang harus aku percayai", ucapnya jujur.
"Begini Tuan Jeong, calon teman kencanmu adalah seorang wanita yang beragama Islam. Dia sudah terlalu sering melakukan hal itu namun selalu berakhir dengan penolakan dari dirinya. Anda tahu apa penyebabnya?", tanya Rayyan.
In-ho mengerutkan dahinya menunggu kelanjutan kalimat Rayyan.
"Karena semua laki-laki itu bukan muslim dan tidak bersedia menjadi muslim", sambung Rayyan dengan tatapan serius yang sebenarnya dilebih-lebihkan.
"Aah...begitu?", In-ho mengangguk-angguk dengan raut wajah yang ikut menjadi serius.
"Jadi, menurut saya kalau anda memang berniat untuk mencoba mengenal Tuhan dari salah satu agama, alangkah baiknya dimulai dengan mempelajari agama Islam. Seperti agamanya Eun-mi", Rayyan mulai membuka pintu perangkapnya.
In-ho terlihat sedikit ragu, dan Rayyan bisa melihat itu.
"Ah, begini. Tempo hari anda ke toko kami bukankah maksudnya untuk mencuri tahu yang mana Eun-mi?", tanya Rayyan.
"Mencuri?", In-ho tak nyaman dengan kata itu.
Rayyan hanya mengangkat kedua alisnya.
Setelah berpikir sebentar, In-ho malah terkekeh menyadari kalau kata itu memang tepat.
"Ya.. kau benar. Aku memang ingin mencuri informasi bagaimana wajahnya. Aku bingung mengapa mereka tak mau memberikan foto Eun-mi, sementara aku harus menyerahkan fotoku. Kukira itu tak adil. Jadi, walaupun aku memang bermaksud mencuri, bukankah aku sedang mencuri apa yang menjadi hakku?", In-ho membela diri.
"Baiklah, saya rasa anda memang benar. Dan hari ini saya akan menjadi kaki tangan anda dalam pencurian itu", Rayyan kemudian mengeluarkan ponselnya lalu menunjukkan layar ponselnya pada In-ho.
Di situ terlihat foto dirinya dan Eun-mi bersama para karyawan toko.
"Ini dia orangnya. Park Eun-mi. Bagaimana menurutmu?", tanya Rayyan bersemangat menunjuk Eun-mi.
In-ho mengamati foto itu.
"Bukankah dia cantik? Dia juga baik dan menyenangkan diajak bicara", Rayyan coba membumbui imajinasi In-ho akan seorang Eun-mi, seolah dia pengiklan handal. Lupa kalau di hadapannya sekarang adalah pemimpin perusahaan periklanan.
"Ya, dia memang cantik", In-ho mengangguk setuju.
"Ee.. dia memakai apa itu di kepalanya? Oh, sama seperti yang dipakai kasir wanita ini kan?", tunjuk In-ho pada Asna yang berdiri di samping Eun-mi.
"Ya.. itu namanya hijab. Wanita muslim memang diwajibkan memakainya", sahut Rayyan, berharap In-ho tidak terganggu dengan hal itu.
"Berarti kasir wanita itu juga beragama Islam?", tanya In-ho lagi.
Rayyan terdiam sebentar.
"Ya..ya.. dia juga seorang muslim. Tapi anda tak perlu memikirkan itu. Fokus anda sekarang adalah wanita ini. Park Eun-mi, oke?", Rayyan menzoom layar ponselnya hingga hanya wajah Eun-mi yang nampak di situ.
"Oke, aku mengerti. Apa.. kau mau mengirimkan foto itu padaku?", pinta In-ho.
"Tentu, akan saya kirim sekarang", sahut Rayyan tersenyum.
"Sudah", ucapnya lagi.
In-ho membuka ponselnya dan mendapati foto Eun-mi sudah ada di layarnya. Dia memandang foto itu sebentar dengan ekspresi yang tidak dimengerti Rayyan.
"Baiklah Tuan Jeong. Saya permisi dulu. Silahkan anda pertimbangkan, dan saya benar-benar berharap anda bersedia melakukan saran saya", Rayyan berdiri dan mengulurkan tangannya bermaksud pamit.
In-ho pun mengikutinya kemudian menyambut tangannya.
"Tentu saja, dan terima kasih banyak atas bantuanmu. Aku sangat menghargainya", sahutnya seraya mengantar Rayyan sampai ke pintu ruangannya.