Kejadian tak pernah terbayangkan terjadi pada Gus Arzan. Dirinya harus menikahi gadis yang sama sekali tidak dikenalnya. "Saya tetap akan menikahi kamu tapi dengan satu syarat, pernikahan ini harus dirahasiakan karena saya sudah punya istri."
Deg
Gadis cantik bernama Sheyza itu terkejut mendengar pengakuan pria dihadapannya. Kepalanya langsung menggeleng cepat. "Kalau begitu pergi saja. Saya tidak akan menuntut pertanggung jawaban anda karena saya juga tidak mau menyakiti hati orang lain." Sheyza menarik selimut yang menutupi tubuhnya. Sungguh hatinya terasa amat sangat sakit. Tidak pernah terbayangkan jika kegadisannya akan direnggut secara paksa oleh orang yang tidak dikenalnya, terlebih orang itu sudah mempunyai istri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon anotherika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
"Sstt kamu jangan banyak pikiran ya. Mas janji semuanya akan baik-baik saja."
Arzan mencium Sheyza, menyatukan bibir keduanya. Hingga beberapa saat, saat ciuman itu berubah intens suara dering ponsel milik Arzan memenuhi ruangan.
Sheyza mendorong tubuh sang suami. "Mas angkat dulu teleponnya,"
Sebenarnya Arzan malas, siapa juga yang berani menganggu waktu berduaan dirinya dengan Sheyza.
"Hallo,"
"...."
Deg
"Apa?"
***
Noah menatap nanar pintu apartemen yang sedari tadi digedor-gedor olehnya tapi tidak ada sahutan apapun. Hatinya mendadak panas luar biasa. Apalagi saat bayang-bayang di dalam sana Sheyza sedang bermesraan dengan suaminya. Sebenarnya bukan salah Arzan maupun Sheyza jika mereka bermesraan, mengingat keduanya merupakan pasangan halal. Namun Noah tetap tidak terima, karena baginya Sheyza hanya miliknya. Tidak peduli perempuan itu sudah memiliki suami atau akan memiliki anak sekalipun.
Noah beranggapan Sheyza tidak bahagia dengan pernikahannya, perempuan itu terpaksa. Noah yang memang menaruh hati pada Sheyza langsung mempunyai tekad yang kuat untuk memilikinya. Noah bahkan tidak peduli dengan resiko yang akan diterimanya nanti.
Dug dug dug
Noah tidak menyerah, dia tetap menggedor pintu apartemen dengan kencang. Tidak peduli jika perbuatannya itu mengganggu ketenangan orang lain. Dirinya hanya ingin bertemu dengan Sheyza.
"Argggh sialan!!" Pekik Noah marah.
Beberapa menit yang lalu, ayahnya menghubungi Noah dan meminta Noah untuk segera pulang ke Bali. Ada sesuatu hal yang darurat hingga mengharuskan Noah untuk segera pulang. Dan sebelum pergi ke Bali, Noah ingin berpamitan terlebih dahulu kepada Sheyza. Pesawatnya juga sebentar lagi landing, mau tidak mau Noah harus segera ke bandara.
"Sheyza, maafin aku karena hanya bisa mengirimimu pesan. Aku harus pulang ke Bali, dan mungkin agak lama juga disana. Tapi aku akan segera kembali setelah semua urusanku selesai disana. Kalau bisa juga akan aku persingkat semua pekerjaanku agar bisa segera kembali. Misal kamu kesepian, kamu bisa hubungi aku. Aku selalu ada untuk kamu," send Sheyza.
Terpaksa Noah mengirimkan pesan untuk Sheyza.
***
"Mas, kenapa? Mau kemana??" Sheyza menahan lengan sang suami saat tiba-tiba Arzan ingin pergi begitu saja.
Arzan mengusap wajahnya kasar, dirinya sampai lupa berpamitan pada sang istri karena saking khawatirnya dengan keadaan umminya.
Arzan tersenyum tipis, memegang pundak istri rahasianya itu. "Sayang, mas pergi dulu ya. Mas ada keperluan mendadak." Bukan maksud Arzan merahasiakan kabar buruk yang baru saja didapatkan dari abahnya, tapi Arzan tidak mau membuat istri kecilnya itu kepikiran.
"Urusan apa? Emm aku gak boleh tau??" Cicit Sheyza. Dia sampai menggigit bibir bawahnya saking gugupnya. Rasa penasaran tiba-tiba muncul, dirinya ingin mengetahui semua tentang suaminya. Termasuk kemana suaminya pergi dan kenapa tiba-tiba sekali setelah mendapatkan panggilan telepon tadi.
Arzan tersenyum geli melihat tingkah menggemaskan istri rahasianya itu. Tangannya terulur menarik dagu istrinya lalu mendekatkan wajahnya pada wajah kecil itu.
Cup
Arzan mengecup bibir berwarna merah muda yang selalu sukses menggoda nya. Arzan selalu suka bibir milik istri kecilnya itu.
"Maaf sayang, mungkin mas tidak bisa menemani kamu. Tadi mas dapat telepon dari Abah, katanya ummi masuk rumah sakit. Penyakit jantungnya kambuh, jadi mas harus kesana."
Kedua bola mata indah itu membola mendengar penuturan sang suami. "Ibu mas punya penyakit jantung? Ya ampun, apa sakitnya parah mas??"
Arzan menggeleng. Abahnya tadi tidak mengatakan apapun, hanya mengabari kalau umminya masuk rumah sakit saja.
"Mas tidak tahu sayang. Kamu jaga diri baik-baik ya, nanti mas orderkan makanan untuk kamu. Kamu tinggal bilang sama mas mau makan apa. Atau kalau kamu menginginkan sesuatu katakan langsung sama mas. Mas pergi dulu ya, maaf tidak bisa menemani kamu disini." Arzan mengelus lembut perut Sheyza yang masih rata itu.
Sheyza mengangguk. Dia tidak menahan suaminya pergi, malah Sheyza mendoakan supaya ibu mertuanya itu cepat sembuh. Walaupun belum pernah bertemu, tapi Sheyza rasa ibu mertuanya itu orang baik mengingat suaminya dari kalangan orang agamis. Meskipun tidak semua dari kalangan agamis mempunyai sikap baik, tapi Sheyza yakin ibu mertuanya baik.
Sebenarnya Sheyza juga ingin sekali ikut, namun dirinya harus tahu diri posisinya seperti apa. Bisa jadi mereka semua akan syok dengan kehadiran Sheyza, dan itu akan membuat keadaan ibu mertuanya bisa jadi semakin memburuk. Sheyza tidak mau hal itu sampai terjadi.
***
Arzan mengendarai mobil miliknya menuju rumah sakit yang disebut oleh abahnya tadi. Perasaannya terus gelisah memikirkan bagaimana keadaan sang ummi. Padahal sudah lama sekali penyakit jantung umminya itu tidak kambuh.
Dulu pernah sekali penyakit ummi Zulfa kambuh dan itu disebabkan karena kabar berita yang disampaikan secara tiba-tiba oleh keluarganya saat neneknya meninggal.
Memang ummi Zulfa sangat pantang mendengar kabar buruk. Kalaupun harus disampaikan, harus disampaikan dengan pelan serta lemah lembut. Ummi Zulfa juga tidak bisa mendengar seseorang membentak nya, hal itu akan langsung memicu penyakit jantungnya kambuh.
Arzan jadi bertanya-tanya, kenapa umminya bisa sampai seperti ini? Tapi Arzan tetap berpikir positif, setiap penyakit tidak ada yang tahu datangnya. Mungkin bisa jadi karena hal kecil yang tidak disadari, kemungkinan besar juga itu yang terjadi pada umminya.
Sampai di rumah sakit, Arzan langsung memarkirkan mobil miliknya. Dia langsung memacu langkah kakinya di lorong rumah sakit sembari mencari ruang ICU. Tadi Abah sudah mengabari jika umminya berada di ruang ICU.
Sampai di depan ruang ICU, Arzan bisa melihat Abah, adik, serta istrinya disana.
"Assalamualaikum,"
Ketiganya menoleh.
"Masss," teriak Anisa. Matanya sembab karena habis menangis. Anisa langsung berhambur memeluk tubuh suaminya erat, menumpahkan semua yang dia rasakan.
Gelisah dan takut.
Arzan hanya mengelus lembut punggung istri pertamanya itu. Lalu matanya menoleh ke arah sang Abah.
"Abah bagaimana keadaan ummi?" Tanya Arzan penuh kekhawatiran.
Kyai Rofiq mengela nafas panjang. "Ummi belum sadar Zan. Dokter sudah melakukan tindakan, tapi ummi tetap harus dipantau di ruang ICU dulu."
Arzan menghela nafasnya berat. Menatap ke arah pintu bercat putih kebiruan itu. Hatinya sesak membayangkan bahwa umminya ada di dalam sana.
"Kenapa ummi bisa sampai seperti ini bah? Kenapa penyakitnya kambuh lagi? Padahal sudah lama sekali penyakit ummi baik-baik saja." Itu yang menjadi keresahan Arzan sedari tadi. Walaupun tetap berpikir positif tapi tidak salah kan dia menanyakan nya. Mungkin Abah, adik atau istrinya tahu karena semua pasti ada sebabnya.
Tubuh Anisa menegang mendengar pertanyaan Arzan. Tubuhnya gemetar takut kalau dirinya disalahkan. Karena dialah penyebab sang ibu mertua sampai seperti sekarang. Tapi Anisa tidak bisa menahan emosinya tadi sehingga membentak ummi Zulfa.
Abah menggelengkan kepalanya. "Abah juga tidak tahu, tadi Abah sedang dikantor. Tadi seorang ustadz datang ke Abah dan mengatakan kalau ummi sudah pingsan dengan seorang ustadzah yang menjerit meminta pertolongan." Jawab kyai Rofiq.
"Aku juga tidak tahu bang, tadi aku masih di kampus. Begitu dapat telepon dari Abah, aku langsung kesini." Sahut Nabila - adik Arzan.
Arzan mengangguk, melirik Anisa yang masih memeluknya. "Kamu tahu Anisa? Karena kamu yang berada di ndalem bersama ummi." Tanya Arzan.
Anisa melepaskan pelukan itu, menghapus bulir bening yang membasahi pipinya. Matanya bergerak gelisah kesana kemari, dirinya bingung memikirkan alasan yang tepat.
Dan semua itu tidak luput dari tatapan Arzan dan Nabila.
"Anisa, kamu tahu sesuatu??" Tanya Arzan lagi.
Anisa menggigit bibirnya kuat. "A-aku tahu sesuatu mas. Ta-tadi sebelum seperti itu, ummi sempat berdebat dengan Bu Indah. Bu Indah itu mulutnya julid banget, suka ngata-ngatain. Entah Bu Indah ngatain ummi seperti apa, tapi setelah itu ummi langsung pingsan. Kalau mas tidak percaya, mas bisa tanyakan kepada ustadzah yang menjadi saksi tadi.
Deg