Aku Yang Ditinggalkan
"Menikah lah, lagi ... Ini sudah hampir tujuh belas tahun." ujar Fatimah dengan suara yang serak.
"A-aku gak bisa Bu ..." keluh Ana pada mertuanya yang terbaring lemah.
Fatimah memang kerap kali menyuruh menantunya menikah. Apalagi, menantunya harus banting tulang untuk menghidupi kedua cucunya.
"Ini udah terlalu lama Ana, jikapun dia masih hu hidup dia pasti sudah kembali sejak dulu."
"Tapi aku yakin dia memang masih hidup Bu, mungkin dia terjebak di suatu tempat. Izin kan aku tetap mencintai anakmu bu, izinkan aku tetap menjadi menantumu." mohon Ana dengan isakan.
"Nak, ibu hanya sayang padamu. Ibu gak mau jika penantianmu sia-sia. Bukan, bukan karena ibu gak menyayangi mu, tapi ibu ingin kamu bahagia nak. Ibu ingin melihat kamu bahagia disisa-sisa hidup ku. Ibu ingin cucu-cucu Ibu bisa merasakan kasih sayang seorang Ayah." lagi Fatimah memberi nasihat.
"Maafkan aku ibu ..." lirih Ana.
Fatimah pun memejamkan matanya, dia sedikit kecewa dengan penolakan dari menantunya. Namun, dia bisa apa? Bukankah, ini hidup Ana. Jadi, dia tetap berusaha menerima keputusan Ana.
Sudah malam, Ana mohon pamit dari rumah mertuanya. Dia hanya ingin menjenguk mertuanya yang akhir-akhir ini selalu mengeluh tidak enak badan. Namun, selalu menolak jika di ajak kerumah sakit.
"Apa kamu sudah memikirkan dengan matang permintaan Ibu?" tanya Rima.
Rima adalah kakak iparnya. Dan Rima lah, yang tinggal bersama Fatimah, serta mengurusnya.
"Aku tidak mau membahas itu mbak. Aku pulang dulu ya." pamit Ana.
"Biar Raksa yang mengantarmu." pinta Rima menunjuk anak sulungnya.
Ana mengangguk setuju, karena bagaimanapun, pikirannya sedang kacau. Apalagi tiba-tiba rasa rindu itu menguak semakin dalam.
Raksa pun menghubungi temannya seorang lagi untuk menemaninya. Karena Ana pun, membawa sepeda motor sendiri. Jadi, dia mengajak temannya agar bisa pulang, nantinya.
"Makasih Raksa, masuklah, dulu." ajak Ana.
"Tidak usah tante, aku sekalian mau nongkrong sama teman, di kafe dekat jalan raya sana." ungkap Raksa.
Ana memang tinggal berbeda kecamatan sama mertuanya. Dan jarang antara rumah Fatimah dan rumahnya sekitaran empat puluh lima menit perjalanan.
Sebelum masuk kamar, Ana memastikan anak gadisnya terlebih dahulu. Disana, terlihat putrinya tertidur pulas.
Jika anak pertamanya sudah minta izin untuk keluar bersama teman-temannya.
"Bang, tidakkah kamu rindu pada anak-anak? Tidak kah, kamu rindu padaku?" lirih Ana menatap putrinya.
Ana pun kembali menutup pintu kamar putrinya, dan memasuki kamarnya sendiri.
Bahkan, Ana melewatkan makan malamnya. Nafsu makannya tiba-tiba hilang, diganti dengan rindu kepada sang pujaan hati.
"Aku yakin kamu masih hidup, pulang lah bang ... Aku rindu." batin Ana menatap foto terakhir bersama sang suami.
Namun sayang, fotonya sudah tidak jelas mukanya, akibat sempat terendam banjir. Namun, bagi Ana itu tidak masalah, mengingat dia telah menyimpan dengan rapat, segala kenangan tentang suaminya.
Seperti biasa, paginya Ana bangun untuk menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya. Dan setelah membangunkan putrinya yang masih sekolah di kelas dua SMA.
Dan untuk putranya, dia bekerja sebagai penjaga konter. Dan hari ini dia masuk shift malam. Makanya, semalam anaknya meminta izin untuk keluar bersama teman-temannya. Karena paginya, dia bisa istirahat.
"Hari ini ibu akan menanam padi di sawah bu Yani, mungkin pulangnya agak sorean. Pulang sekolah nanti, tolong bangunkan abangmu, jika masih molor." pesan Ana pada gadisnya yang baru selesai mandi.
"Baik bu." sahut putrinya.
Ana pun bergegas memakai baju yang biasa di pakai untuk ke sawah. Tak lupa, dia juga membuat bekal untuk nanti siang. Jaga-jaga jika sang punya sawah tidak mengantarkan makanan.
Ana pun sudah ditunggu oleh beberapa rekannya yang melakukan hal yang sama.
Di tempat lain, Fatimah menghela napas mengingat nasib menantunya. Dia sudah berusaha mencari keberadaan anaknya, bahkan dia juga sudah pernah mendatangi tempat dimana sang anak mengais rezeki. Namun semua nihil, bahkan tidak seorang pun yang mengingat tentang anaknya.
Tak jarang, Fatimah bahkan sempat mendatangi beberapa orang pintar untuk mengetahui keberadaan anaknya. Ada yang mengatakan jika sang anak sudah semakin jauh dan sulit untuk digapai, ada yang bilang jika anaknya sudah tiada.
Dia sendiri mencoba meyakini jika sang anak memang telah tiada. Namun, berbeda dangan Ana, dia keukeh jika suaminya masih hidup.
"Bu, kenapa?" tanya Rima sembari mengantarkan makan siang.
"Ibu memikirkan adikmu." ungkap Fatimah menghela napas. "Jika benar dia masih hidup seperti yang Ana katakan. Lantas, kenapa dia tidak pulang? Bahkan tidak memberikan kita kabar." keluh Fatimah.
"Mau bagaimana lagi, ingin mencari lewat media sosial seperti ide Raksa pun, kita tidak mempunyai fotonya." balas Rima.
"Iya, itu semua akibat rumah kita yang kebakaran. Dan pada Ana pun sudah terendam banjir." sahut Fatimah.
"Yang penting, kita harus terus berdoa bu." lanjut Rima dan Fatimah mengangguk kepala pertanda setuju.
"Nanti, jika ibu telah tiada. Tolong, tolong kalian jangan memutuskan tali persaudaraan dengan Ana. Dia tetap akan menjadi menantu ibu, walaupun nanti dia menikah lagi." pinta Fatimah.
"Tenang bu, aku dan adik-adik pasti akan menjaga Ana." balas Rima.
Fatimah memiliki empat orang anak, dan dia hanya memiliki seorang anak lelaki. Makanya, dia sangat terluka saat menghilangnya kabar sang anak lelaki.
Dan dua anak perempuan Fatimah lainnya ikut suami untuk tinggal di luar kota. Hanya Rima yang menjaga ibunya, yang kebetulan, suaminya pun bekerja sebagai guru honor di salah satu sekolah yang berada di lingkungan mereka.
Kembali pad Ana yang baru saja istirahat setelah makan siang. Dia dan empat orang temannya sedang duduk di pondok yang ada di sawah.
Kebetulan, semua pemilik sawah membuat pondok kecil untuk berteduh.
"Ana, kamu gak lelah menjanda?" tanya seorang perempuan yang umurnya jauh lebih tua dari Ana.
Ana hanya tersenyum kecut mendengar pertanyaan itu.
"Iya iya, padahal kamu masih cantik Ana. Bahkan pak Salim duda di kampung kita menyukaimu." balas lainnya.
"Ya, jangan sama pak Salim juga lah bu, beliau udah duda tiga kali. Dan semua itu diceraikannya." ujar perempuan yang pertama bertanya.
"Aku lebih nyaman begini." sahut Ana sekilas.
Dia sungguh tidak nyaman dengan pembahasan itu.
"Tapi kami kasihan melihatmu, yang harus banting tulang menghidupi anak-anak mu." ujar seorang perempuan lain.
"Aku lebih kasihan, melihat orang bersuami tapi harus mencari nafkah untuk memberi makan suaminya. Apalagi jika suaminya sehat badan serta pikiran." ujar Ana akhirnya.
Dan semua orang langsung diam. Karena Ana seperti menyindir mereka.
Dan wanita seorang lagi yang sejak tadi diam malah terkekeh mendengar jawaban yang dilontarkan oleh Ana. Karena sesungguhnya dia pun geram pada pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan teman-temannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Saadah Rangkuti
mampir thor...baru kali ini aku ketemu novel yg tokoh utamanya buruh yani,sama kayak di kampung kita. menarik thor,semangat!!!
2024-12-01
1
Erni Purwaningsih
hadir Thor, menarik ceritanya, semoga panjang umur novelnya, gak di skip atau hiatus
2024-12-01
1
kaylla salsabella
aku mampir Thor 🥰🥰
2024-12-03
1