Seira, 25 tahun, istri dari seorang saudagar beras harus menerima kenyataan pahit. Dikhianati suami disaat ia membawa kabar baik tentang kehamilannya. Zafran, sang suami berselingkuh dengan temannya yang ia beri pekerjaan sebagai sekretaris di gudang beras milik mereka.
Bagaimana Seira mampu menghadapi semua ujian itu? Akankah dia bertahan, ataukah memilih pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenangan Indah Itu
Zafran masih termangu di depan almari, di tangannya pula masih digenggam lingerie berwarna merah muda kesukaannya juga Seira. Terbayang di pelupuk saat-saat pertama kali wanita itu memakainya.
Ia melangkah pelan, kedua kaki dirapatkan dan kepala tertunduk. Tangan kanan memegangi bagian dada, dan yang kiri menahan ujung lingerie agar tidak tersingkap ke atas.
Tergugu laki-laki itu, wajahnya memerah padam bukan karena malu, tapi karena tak mampu menahan gejolak yang menggebu dalam jiwa. Panggilan untuk menyentuh setiap jengkal lekuk tubuhnya, meronta-ronta dengan riang.
Gadis itu masih berdiri di ambang pintu kamar mandi, kepala tetap tertunduk dengan rambut yang tergerai dan menutupi wajahnya. Harum sabun bunga menguar menambah gejolak yang telah membara.
Zafran meneguk liurnya sendiri, air itu tak berhenti keluar dari tempatnya. Tak sabar menunggu, ia pun beranjak. Melangkah pelan menghampiri gadis yang malu-malu di hadapan. Disentuhnya kedua lengan lembut itu, jari telunjuk Zafran dengan lancang mengangkat dagu sang bunga agar bersitatap dengannya.
Lagi-lagi, ia meneguk ludah melihat kecantikan paripurna meski tanpa makeup sekalipun. Sungguh, Seira amat jelita bak jelmaan seorang Dewi yang turun dari kahyangan.
"Kamu cantik sekali. Aku mencintaimu, Sei. Kamu milik aku malam ini dan malam-malam selanjutnya. Cuma milik aku," bisiknya dengan tegas.
Ia angkat telunjuk di dagu Seira, wajah itu mendongak sempurna. Perlahan mengikis jarak antara mereka, pandangan tertuju pada satu arah. Benda ranum berwarna merah muda alami yang amat menggoda.
Dipagutnya kedua belah itu dengan mesra, pelan dan hati-hati. Seolah-olah sedang mengajarkan padanya tentang rasa manis dari buah cinta mereka berdua. Pergulatan pun terjadi, cukup lama dan panas.
"Aku ...."
Tanpa melanjutkan kalimatnya, Zafran mengangkat tubuh Seira dan membawanya mendekati ranjang pengantin mereka. Ranjang dengan kelambu merah muda dan kelopak mawar yang bertebaran di atasnya, menambah romantis keadaan.
Lampu ruangan sengaja dibuat redup dan temaram, cahaya lilin bertabur membuat suasana semakin hangat. Zafran meletakkan tubuh itu di atas ranjang mereka, menjamahnya dengan pelan dan penuh cinta.
Seira menggeliat, gelenyar aneh dan asing yang baru saja menyapa tubuhnya memberikan sensasi luar biasa dahsyat. Ia menggigit telunjuk, berdesis tanpa suara. Ingin mengerang, tapi terlalu malu untuk dilakukan. Ini adalah pertama kalinya untuk mereka.
"Keluarkan saja, sayang. Jangan ditahan," lirih Zafran yang entah sejak kapan telah berada di ceruk lehernya, membuat darah berdesir hebat.
Jantung bertalu-talu berpacu dengan iringan napas yang kian memburu. Ia sembunyikan wajahnya yang bersemu di keremangan cahaya lampu. Indah lagi syahdu, malam pertama penuh cinta dan selanjutnya mengundang rindu.
Erangan beserta rintihan kesakitan berbaur jadi satu membuat bangga Zafran yang telah berhasil membobol gawang milik Seira. Bercak merah pada sprei membuktikan bahwa gadis itu memanglah belum tersentuh. Murni dan suci, bersih tanpa noda.
"Makasih, sayang. Mas cinta kamu, Sei. Selamanya," ungkapnya seusai menunaikan kewajiban sebagai pasangan baru yang sah.
"ZAFRAN!"
Lengkingan suara Ibu menyadarkan laki-laki itu dari lamunan. Lamunan tentang malam pertama yang sakral penuh dengan debar menegangkan, tapi berakhir dengan kepuasan. Setelah ini, jikapun ia berhasil menikah dengan Lita tak akan ada malam seperti yang pernah ia lalui bersama Seira.
"Zafran, kenapa lama banget, sih?!" bentak suara Ibu lagi semakin membawa Zafran ke alam kenyataan bahwa sebentar lagi dia akan berpisah dengan pemilik kenangan itu.
Ia bersegera memasukkan semua barang Seira ke dalam kopernya. Tak banyak yang dimiliki wanita itu karena memang ia sangat jarang sekali berbelanja. Katanya, uangnya untuk ditabung guna masa depan.
Zafran beranjak dengan enggan, maniknya berkaca-kaca disaat terjatuh pada meja rias di mana ia sering duduk usai membersihkan diri. Tak akan ada lagi tawa manis nan renyah di kamar itu, tak akan ada lagi kata bijak yang akan dia dengar dari bibir manisnya. Semua akan pudar seiring waktu berjalan.
Mungkin setelah ini, Zafran harus terbiasa dengan ketiadaan sosoknya. Hamilnya Lita membuat laki-laki itu yakin mengambil keputusan bercerai dengan sang istri.
"ZAFRAN!" Suara Ibu kembali terdengar, menggema di ruang tengah rumah.
"Iya, Bu," jawabnya sambil mempercepat langkah. Menyeret koper bercorak bunga milik Seira dengan tergesa.
Ibu dan Lita tersenyum sumringah melihat kesungguhan Zafran dalam mengambil keputusan berpisah dari istrinya. Dalam hati ia ragu dengan semua keputusan ini, tapi Lita justru meyakinkan dengan adanya surat keterangan dari rumah sakit yang mengatakan dia positif.
"Nah, gitu, dong. Jadi laki-laki itu harus tegas, istri nggak bisa hamil kayak gitu, kok, masih dipertahankan. Kalo ada yang bisa kasih Ibu cucu mending dibuang aja istri nggak guna itu," ucap Ibu mertua dengan keji.
Tajam benar lisannya itu, pantaslah bunga yang ujungnya runcing lagi tajam dinamakan lidah mertua. Ternyata memang setajam itu bahkan lebih tajam lagi daripada silet.
Zafran membanting diri di sofa, pergulatan yang terjadi di dalam batinnya membuat kondisi kesehatan Zafran menurun. Kepalanya berdenyut-denyut nyeri, mata berkunang-kunang sehingga penglihatan memburam.
"Udah, nggak usah kamu pikirin lagi. Dia juga akan terima keadaan dan ngebiarin kamu hidup bahagia sama Lita."
Wanita tua itu tak henti meyakinkan sang anak, dan Zafran mencoba percaya meskipun enggan dalam hati. Ia melirik Lita yang bersikap seperti seekor kucing pemalu. Tak banyak tingkah, terus diam dan tertawa bersama Ibu.
Namun, kerlingan matanya yang nakal bermakna lain, menyiratkan sifat aslinya, memang di hadapan Zafran ia tak pernah menyembunyikan diri.
Tak lama deru suara mobil yang khas mengusik telinga mereka, jantung Zafran berdentam-dentam tak karuan. Momen ini yang tak ingin ia alami meskipun ditunggunya.
"Tuh, dia datang. Udah sana, bawa kopernya dan kasihkan sama dia," perintah Ibu tanpa perasaan.
Seolah-olah waktu menolak, Zafran diingatkan pada kondisi kesehatan Seira tadi siang. Suara Mang Udin yang terdengar panik dan bergetar yang tak dihiraukan, baru sekarang ia ingin mengetahui tentang keadaannya.
"Tapi Udin bilang dia sakit, Bu. Mungkin nggak hari ini karena Sei pasti butuh istirahat," ujar Zafran.
Raut cemas tercetak jelas di wajahnya yang kuyu sore itu, membuat Lita mendengus tak senang dengan sikap plin-plan yang ditunjukkannya. Dia melotot, mengancam sekaligus mengingatkan Zafran tentang rencana mengusir Seira.
"Nggak bisa gitu, dong. Itu udah resiko dia, mau dia sehat atau nggak pokoknya kamu harus usir dia hari ini juga. Kalo kamu nggak mau, biar Ibu yang usir," ucap Ibu semakin tak berhati.
Lita tertunduk, tersenyum penuh kemenangan. Berpura-pura sedih dengan situasi yang ada, nyatanya dia memang serigala berbulu domba.
"Kamu tinggal pilih, mau tetap Seira di sini dan nggak punya anak selamanya atau Lita di sini sama anak kamu. Kamu yang nentuin, Zafran. Terserah, tapi kalo kamu pilih Seira di sini Ibu akan ikut pergi sama Lita dan tinggal sama cucu Ibu. Ibu juga nggak akan izinin kamu buat nengokin dia, sekarang terserah kamu. Pilih yang mana," sengit Ibu yang memberi pilihan berat untuk anaknya.
Zafran gamang, semakin gelisah tatkala suara pintu terdengar membuka. Ia seperti berhadapan dengan buah simalakama. Ditelan pahit, tak ditelan pun pahit rasanya. Zafran berdiri mengangkat koper Seira, terus berjalan menuju pintu.
Brak!