Naura, seorang gadis desa, terjerat cinta pria kaya raya—Bimo Raharja, saat memulai pekerjaan pertama di kota.
Pada suatu hari, ia harus menahan luka karena janji palsu akan dinikahi secara resmi harus kandas di tengah jalan, padahal ke-dua belah pihak keluarga saling mengetahui mereka telah terikat secara pernikahan agama.
"Mas Bimo, tolong jangan seperti ini ...." Naura berbicara dengan tangis tertahan.
"Aku menceraikan kamu, Naura. Maaf, tapi aku telah jatuh cinta pada wanita lain."
Baru saja dinikahi secara agama, tapi tak lama berselang Naura ditinggalkan. Masalah semakin besar ketika orang tua Naura tahu jika Bimo menghamili wanita lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5. Mengaku Teman Dekat
Keesokan harinya, Naura memutuskan untuk berjalan-jalan ke taman kota, mencari udara segar untuk menenangkan pikirannya yang semakin kalut.
Saat ia duduk di bangku taman, memandangi anak-anak yang bermain di sekitar, seorang wanita mendekat dengan senyum ramah.
Wanita itu mengenakan dress kasual berwarna krem, rambutnya tergerai dengan anggun.
“Kamu Naura, kan?” sapanya tiba-tiba.
Naura mengernyit bingung. "Iya, tapi... Maaf, kita kenal?"
Wanita itu tertawa kecil, lalu duduk di sebelah Naura tanpa menunggu izin.
“Sudah, kamu lupa ya? Kita pernah ketemu di pusat perbelanjaan dua hari lalu, waktu itu aku cerita tentang suamimu. Aku Anita, teman dekat Bimo.”
Kalimat itu membuat Naura terkejut.
“Oh, jadi kamu teman Mas Bimo?” tanyanya hati-hati.
Anita mengangguk, wajahnya terlihat berseri-seri.
“Iya, kami sudah lama berteman. Aku mendengar banyak tentang kamu dari dia. Katanya, kamu istri yang cantik dan baik hati.”
Kenapa Bimo tidak pernah menyebut Anita? pikirnya.
“Aku hanya ingin bilang, kamu beruntung menikah dengan Bimo. Dia pria yang hebat,” lanjut Anita, matanya menyelidik wajah Naura.
“Terima kasih,” balas Naura pelan.
Anita menyandarkan tubuhnya ke bangku dan memandang langit.
“Tapi, kadang aku bertanya-tanya, bagaimana kamu bisa percaya sepenuhnya pada dia?”
Pertanyaan itu seperti panah yang menusuk langsung ke hati Naura. Ia menoleh dengan tatapan bingung.
“Maksud kamu?”
Anita tersenyum tipis, tetapi kali ini senyumnya terasa dingin.
“Bimo bukan tipe pria yang hanya mencintai satu orang. Aku cuma ingin kamu tahu itu. Dia... sering kali punya cara untuk mendapatkan apa yang dia mau, tanpa peduli siapa yang dia sakiti.”
Ucapan Anita membuat Naura tercekat.
“Kamu salah. Mas Bimo ... Dia tidak seperti itu.”
“Oh ya?” Anita tertawa kecil, lalu berdiri.
“Naura, aku tidak bilang ini untuk menjatuhkan kamu. Aku hanya ingin kamu lebih berhati-hati. Karena, percaya atau tidak, ada hal-hal tentang Bimo yang bahkan kamu tidak akan pernah sangka.”
Sebelum Naura sempat menjawab, Anita melangkah pergi, meninggalkan Naura yang terpaku di tempatnya.
Kata-kata Anita berputar di pikirannya seperti badai. Terdengar kejam. Menyebalkan.
“Ada hal-hal tentang Bimo yang bahkan kamu tidak akan pernah sangka.”
***
Malamnya, ketika Naura sedang membereskan kamar, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal lagi.
“Berhenti mencari tahu. Jika kamu tidak ingin keluargamu terlibat, lupakan semuanya.”
Napas Naura memburu. Ia memandang pesan itu dengan mata membelalak. Tangan gemetarnya mencoba mengetik balasan, tetapi sebelum ia sempat mengirim apa pun, sebuah panggilan masuk dari Bimo.
“Halo, Mas?”
“Naura, kamu di rumah, 'kan? Aku mau datang sekarang,” suara Bimo terdengar dingin, berbeda dari biasanya.
Naura mengangguk meski tahu Bimo tidak bisa melihatnya.
“Iya, Mas. Ada apa?”
“Ada sesuatu yang perlu kita bicarakan.”
Hati Naura berdebar keras.
Apa yang ingin Bimo bicarakan? Apakah ini tentang pesan-pesan misterius itu? Atau tentang Anita?
***
Tak lama, suara deru mobil Bimo terdengar di depan rumah.
Ia keluar dengan wajah serius, langkahnya cepat menuju pintu. Naura membukakan pintu dengan gugup.
“Mas, ada apa?” tanyanya pelan.
Bimo tidak langsung menjawab. Ia menatap Naura dalam-dalam, lalu berkata dengan nada datar, “Kamu bertemu Anita tadi, 'kan?”
Naura terkejut. “Iya... Tapi aku tidak sengaja. Dia bilang dia teman Mas.”
Bimo tersenyum kecil, tetapi senyum itu terasa dingin.
“Dia memang teman lama. Tapi aku ingin kamu menjauh darinya, Naura. Dia bukan orang yang bisa kamu percaya.”
Naura menelan ludah. Kata-kata Anita kembali terngiang di telinganya.
“Mas, kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?”
Bimo menatapnya tajam, lalu berkata, “Jangan tanya terlalu banyak, Naura. Yang perlu kamu tahu, aku melakukan semua ini untuk kebaikan kita.”
Naura mundur selangkah. “Semua ini? Mas, maksud kamu apa? Apa yang sebenarnya Mas sembunyikan?”
Namun, sebelum Bimo sempat menjawab, ponsel Naura berdering. Ia melirik layar, dan darahnya seakan berhenti mengalir. Nomor yang sama dengan pengirim pesan-pesan misterius itu.
Bimo menatap ponsel di tangan Naura, wajahnya berubah tegang.
“Siapa itu, Naura?” tanyanya dengan nada mendesak.
Naura memandang Bimo dengan mata penuh ketakutan, sementara ponsel itu terus berdering, seakan menuntutnya untuk memilih—mengangkatnya atau membiarkan semuanya tetap menjadi misteri.
“Aku nggak suka kamu terus mendengar orang lain dan meragukan aku,” ucap Bimo sambil menatap Naura tajam.
Naura menggenggam tangannya yang dingin.
“Mas, aku nggak bermaksud meragukan Mas, tapi bagaimana aku bisa diam kalau ada banyak hal yang nggak masuk akal? Pesan itu, Anita, dan semua sikap Mas yang semakin aneh ....”
Bimo menghela napas panjang.
“Naura, aku sudah bilang, semua ini aku lakukan demi kamu dan keluargamu. Kenapa kamu nggak bisa percaya?”
“Karena Mas nggak pernah jujur! Selalu ada yang Mas sembunyikan, dan aku lelah berpura-pura kalau semuanya baik-baik saja,” Naura membalas dengan suara yang bergetar.
Bimo berdiri, menatap Naura dari atas dengan tatapan dingin.
“Jadi, kamu lebih percaya omongan orang asing daripada suamimu sendiri? Kamu nggak tahu apa-apa tentang aku, Naura.”
Naura bangkit, dadanya naik-turun menahan emosi.
“Kalau Mas nggak mau aku percaya orang lain, kenapa Mas nggak pernah cerita yang sebenarnya? Apa yang Mas takutkan?”
Pertanyaan itu membuat Bimo terdiam sesaat. Wajahnya mengeras, dan ia mengepalkan tangan seolah menahan amarah.
“Aku sudah cukup bersabar, Naura. Aku minta kamu berhenti mencari tahu soal hal-hal yang bukan urusanmu.”
“Bukan urusanku?” Naura tersentak. “Aku istri Mas, tapi Mas malah memperlakukan aku seperti orang luar. Apa itu artinya aku nggak punya hak untuk tahu apa pun tentang Mas?”
Bimo mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari Naura.
“Naura, aku akan bilang ini sekali saja. Kalau kamu terus begini, kamu hanya akan menyulitkan dirimu sendiri. Pikirkan keluargamu. Pikirkan apa yang sudah aku lakukan untuk mereka. Apa itu belum cukup buat kamu?”
Air mata Naura mulai mengalir. “Mas, aku nggak minta semua ini. Aku hanya ingin kejujuran. Apa itu terlalu sulit buat Mas?”
Namun, bukannya menjawab, Bimo justru melangkah mundur. “Kamu nggak mengerti, Naura. Ada hal-hal yang lebih baik kalau kamu nggak tahu.”
“Kenapa, Mas? Karena kebenarannya terlalu menyakitkan?”
Bimo memalingkan wajahnya, seperti menghindari tatapan Naura.
“Aku nggak mau membahas ini lagi. Lagi pula mana ada istri tidak mau diajak tinggal bersama suaminya!”
“Mas selalu seperti ini! Lari dari masalah, menghindar dari kenyataan. Kalau memang Mas mencintaiku, kenapa Mas nggak bisa mempercayaiku?” seru Naura, suaranya pecah oleh tangis.
Bimo terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkata dengan nada yang dingin, “Naura, aku menikahimu karena aku ingin melindungimu. Tapi kalau kamu terus bersikap seperti ini, aku nggak tahu sampai kapan aku bisa bertahan.”
Kata-kata itu menusuk hati Naura seperti belati.
Ia terdiam, tubuhnya bergetar oleh perasaan terluka yang mendalam.
Bimo melangkah menuju pintu, mengambil kunci mobilnya.
“Aku akan pergi dulu. Aku butuh waktu untuk berpikir.”
“Mas, jangan pergi,” suara Naura terdengar lirih, hampir seperti bisikan.
Bimo langsung berbalik meskipun ia tetap di pijakannya.
"Kamu tidak ingin aku pergi 'kan Nau? Ayo kita tinggal bersama. Aku ini suami kamu. Penuhi tanggung jawabmu sebagai istri!" pinta Bimo dengan tatapan teduh seolah memohon.
Mungkinkah ini caranya menjerat Naura? Entah.
(Bersambung)
si Naura pun bodoh juga Uda di ingatkan