Elowen, seorang wanita muda dari keluarga miskin, bekerja sebagai asisten pribadi untuk seorang model internasional terkenal. Hidupnya yang sederhana berubah drastis saat ia menarik perhatian dua pria misterius, Lucian dan Loreon. Keduanya adalah alpha dari dua kawanan serigala yang berkuasa, dan mereka langsung terobsesi dengan Elowen setelah pertama kali melihatnya. Namun, Elowen tidak tahu siapa mereka sebenarnya dan menolak perhatian mereka, merasa cemas dengan intensitasnya. Lucian dan Loreon tidak menerima penolakan begitu saja. Persaingan sengit antara keduanya dimulai, masing-masing bertekad untuk memenangkan hati Elowen. Saat Elowen mencoba menjaga jarak, ia menemukan dirinya terseret ke dalam dunia yang jauh lebih berbahaya daripada yang pernah ia bayangkan, dunia yang hanya dikenal oleh mereka yang terlahir dengan takdir tertentu. Di tengah kebingungannya, Elowen bertemu dengan seorang nenek tua yang memperingatkannya, “Kehidupanmu baru saja dimulai, nak. Pergilah dari sini secepatnya, nyawamu dalam bahaya.” Perkataan itu menggema di benaknya saat ia dibawa oleh kedua pria tersebut ke dunia mereka, sebuah alam yang penuh misteri, di mana rahasia tentang jati dirinya perlahan mulai terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Two Alpha's And Mate
Suara pintu yang tertutup dengan kasar menggema di apartemen itu, membuat Elowen terlonjak sedikit dari tempatnya berdiri. Jantungnya berdebar kencang, matanya melirik ke arah pintu yang kini tertutup rapat.
"Dia... sudah pergi, kan?" tanyanya pelan, hampir seperti bergumam pada dirinya sendiri. Ada sedikit getaran dalam suaranya, sisa dari kejadian yang baru saja terjadi.
Valerie, yang masih berdiri tidak jauh dari meja, tampak sama sekali tidak terpengaruh. Wajahnya tetap tenang, bahkan sedikit santai, seperti hal yang baru saja terjadi bukanlah sesuatu yang luar biasa. Ia hanya mengangkat bahu kecil sambil menjawab santai, "Kurasa begitu."
Aku tidak mengerti kenapa kau bisa berteman dengan pria seperti itu, Vale," suara Elowen masih terdengar dipenuhi kemarahan. "Dia dingin, kejam, dan terlalu percaya diri. Orang seperti dia hanya peduli pada dirinya sendiri."
Di dalam, Valerie mencoba meredakan kemarahan Elowen. "Aku tahu Loreon kasar, tapi dia tidak seburuk itu," kata Valerie pelan. "Dia hanya terlalu protektif, meskipun caranya... ya, berlebihan."
Elowen mendengus, matanya menyipit. "Protektif? Itu bukan protektif, Vale. Itu menyerang orang tak bersalah! Kau tidak bisa terus membenarkan apa yang dia lakukan."
Valerie menghela napas panjang. "Aku tidak membela dia, El. Aku hanya mencoba membuatmu melihat bahwa Loreon memang bukan orang yang mudah. Tapi dia tidak benar-benar jahat."
Elowen melipat tangan di dadanya, matanya menyipit kesal. "Aku tidak peduli dia orang baik atau tidak, Vale. Yang aku tahu, aku tidak akan melupakan apa yang dia lakukan hari ini. Aku tidak pernah diperlakukan seperti itu seumur hidupku. Dan itu terjadi di tempatmu."
Valerie menggigit bibirnya, merasa bersalah. "Aku tahu, aku benar-benar minta maaf. Dia tidak seharusnya melakukan itu, terutama padamu. Aku akan bicara dengannya nanti, oke?"
Elowen menggeleng, terlihat kecewa. "Bicara tidak akan mengubah apa-apa, Vale. Orang seperti dia tidak akan peduli apa yang kita katakan. Aku hanya tidak mengerti kenapa kau bisa berteman dengan seseorang seperti dia."
Valerie menunduk, merasa terpojok. "Loreon memang sulit didekati, tapi dia teman lama yang selalu ada saat aku butuh bantuan. Dia mungkin punya caranya sendiri yang sulit dimengerti."
Elowen mendesah panjang, mencoba meredam emosinya. "Aku tidak tahu bagaimana kau bisa menerima orang seperti dia. Aku hanya berharap aku tidak perlu bertemu dengannya lagi."
Valerie menggeleng pelan, sedikit tersenyum seolah Elowen terlalu berlebihan. "Dia tidak seburuk itu. Kau hanya perlu waktu untuk mengenalnya."
Namun, bagi Elowen, waktu tidak akan pernah cukup untuk membuatnya menerima seseorang seperti Loreon—seseorang yang tanpa ragu mengancamnya hanya dalam hitungan detik.
Elowen berdiri dari sofa dengan gerakan kaku, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Wajahnya tampak lelah, dan ia menghindari tatapan Valerie. "Aku mau istirahat, Vale. Kepalaku berat," katanya pelan sambil melangkah menuju pintu kamarnya.
Valerie segera bangkit dan berjalan mendekat. "Tunggu, El. Setidaknya biarkan aku membantumu. Lehermu pasti sakit setelah apa yang dia lakukan tadi. Aku punya salep di sini—"
Elowen segera menepis tangan Valerie dengan lembut tapi tegas. Ia menoleh sekilas, menunjukkan senyumnya yang terpaksa.
Aku tidak apa-apa, Vale. Leherku tidak sakit," ujarnya singkat. Namun, nada suaranya yang lemah menunjukkan bahwa dirinya masih terguncang.
"Tapi—" Valerie hendak membantah, tetapi Elowen mengangkat tangan, memotongnya.
"Aku hanya syok berat tadi, itu saja," katanya sambil mencoba tersenyum tipis, meskipun senyumnya terlihat dipaksakan. "Aku tidak butuh apa-apa. Aku cuma ingin tidur."
Valerie menghela napas, lalu melirik kotak kue yang tadi dibawa Elowen. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita makan kue dulu? Kau kan membawanya untuk kita."
Elowen memandang Valerie dengan tatapan lelah, lalu menggeleng pelan. "Aku tidak nafsu makan lagi, Vale. Kau habiskan saja semuanya, jangan sisakan untukku."
"El, kau yakin?" Valerie mencoba memastikan, tetapi Elowen sudah mulai membuka pintu kamarnya.
"Iya, aku yakin. Selamat malam, Vale."
BLAM! Suara pintu tertutup cukup keras, memotong semua kemungkinan percakapan lebih lanjut.
Valerie berdiri diam di tempat, menghela napas panjang sambil memandangi pintu kamar Elowen. "Astaga, Loreon... apa yang sebenarnya ada di pikiranmu?" gumamnya pelan.
...➰➰➰➰...
Ia berjalan kembali ke sofa, duduk dengan lemas sambil melirik kotak kue yang masih tergeletak di meja. Tidak ada nafsu untuk makan, tetapi pikirannya sibuk memikirkan apa yang harus ia katakan pada Loreon. Satu hal yang pasti, ia tidak akan membiarkan sikap kasar itu terulang lagi.
Setelah menutup pintu kamar dengan sedikit emosi, Elowen segera melepas jaketnya dan menggantungnya di balik pintu. Langkahnya terhenti sejenak di depan cermin besar di sudut kamar. Refleksi dirinya terlihat kusut, wajahnya masih menunjukkan bekas keterkejutan yang belum sepenuhnya hilang.
Namun, pandangannya segera tertuju pada lehernya. Ia mendekat ke cermin, menyingkap rambutnya untuk melihat lebih jelas. Area di sekitar lehernya terlihat kemerahan, dengan sedikit memar yang mulai tampak.
Elowen berdecak kesal. "Astaga... benar-benar kasar!" gumamnya. Perasaan nyeri kecil di sekitar leher membuatnya semakin kesal.
Dengan langkah cepat, ia membuka laci meja kecil di samping tempat tidur, mengambil kotak P3K yang selalu ia sediakan. Setelah menemukan salep anti memar, ia membuka tutupnya dengan gerakan yang penuh emosi.
"Loreng! Iya, aku panggil kau Loreng saja! Cocok dengan sifatmu yang liar dan tidak tahu sopan santun!" gerutunya sambil mengoleskan salep itu ke lehernya. Rasa dingin dari salep sedikit meredakan nyeri, tetapi tidak cukup untuk meredakan amarahnya.
Elowen terus mengomel sambil bercermin, mengamati hasil olesannya. "Kalau aku bertemu kau lagi, Loreng, lihat saja! Aku akan mencakar wajahmu sampai kau tahu rasanya! Dasar... pria barbar tidak beradab!" Ia mengeluarkan dengusan panjang, tangannya masih sibuk merapikan rambutnya yang sempat berantakan.
Setelah selesai, ia menutup kotak P3K dengan keras, seolah menyalurkan kekesalannya pada benda tak bersalah itu. Ia meletakkannya kembali ke tempat semula, lalu menatap refleksi dirinya sekali lagi.
"Sumpah, semoga aku tidak pernah bertemu kau lagi. Kalau pun terpaksa bertemu, aku pastikan kau tidak akan lupa siapa aku!" katanya dengan suara penuh tekad.
Ia melempar tubuhnya ke atas tempat tidur, menarik selimut hingga menutupi sebagian wajahnya. Namun, pikirannya masih dipenuhi amarah dan bayangan Loreon. Malam itu, Elowen tahu dirinya tidak akan mudah melupakan kejadian ini.
...➰➰➰➰...
Pagi itu, udara segar mengalir melalui jendela yang sedikit terbuka di kamar Elowen. Setelah menyelesaikan rutinitas pagi, ia berjalan ke kamar mandi dengan langkah ringan, mengabaikan sisa-sisa kekesalannya semalam. Sekitar sepuluh menit kemudian, Elowen keluar dari kamar mandi, mengenakan pakaian kasual favoritnya—sebuah kaos lengan panjang berwarna putih dan celana jeans biru yang nyaman, lengkap dengan tas sling bag yang menggantung di bahunya.
Melangkah keluar kamar, ia segera merasakan aroma menggoda yang memenuhi ruangan. Nasi goreng dengan ayam goreng bawang putih—makanan favoritnya—tercium begitu kuat dari arah meja makan.
Di meja makan, Valerie tengah sibuk menyusun makanan di atas piring. Tampaknya ia sedang mempersiapkan sarapan dengan penuh perhatian. Elowen mengangkat alisnya, terkesima melihat betapa rapi dan lezatnya hidangan itu.
"Wah, tumben kamu masak makanan berat pagi-pagi, Vale?" Elowen berkata sambil menarik kursi dan duduk dengan santai.
Valerie meliriknya dan tersenyum, mengangkat sendok untuk menambah nasi ke dalam piring Elowen. "Gak apa-apa, jarang kok aku masak buatmu kecuali aku cuti. Hari ini kebetulan aku ada waktu."
Elowen mencuri pandang ke Valerie dengan senyum nakal. "Bukan karena permintaan maafmu yang semalam, kan?"
Valerie tertawa kecil, meletakkan sendoknya di piring dan menatap Elowen dengan ekspresi tahu diri. "Heheheh, tau aja... Tapi bagaimana lehermu? Baik-baik saja?"
Elowen menunduk sebentar, memeriksa area lehernya, lalu mengangkat wajahnya dengan sikap santai. "Lumayan, sudah tidak sakit. Kau tidak usah mencemaskan keadaan ku. Selagi kau melihatku masih pencicilan dan petakilan, berarti aku baik-baik saja."
Elowen mengambil ayam goreng yang baru saja dipotong Valerie, menyendok nasi goreng yang harum, dan memasukannya ke dalam mulut dengan nikmat. Rasanya benar-benar enak. Hatinya sedikit lebih tenang, meski pikiran tentang kemarin belum sepenuhnya hilang.
oh iya mampir juga yuk dikarya baruku, judulnya ISTRI PENGGANTI TUAN ARSEN😁🙏