Kinanti, seorang gadis sederhana dari desa kecil, hidup dalam kesederhanaan bersama keluarganya. Dia bekerja sebagai karyawan di sebuah pabrik untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup.
Kehidupannya yang biasa mulai berubah ketika rencana pernikahannya dengan Fabio, seorang pria kota, hancur berantakan.
Fabio, yang sebelumnya mencintai Kinanti, tergoda oleh mantan kekasihnya dan memutuskan untuk membatalkan pernikahan mereka. Pengkhianatan itu membuat Kinanti terluka dan merasa dirinya tidak berharga.
Suatu hari, ayah Kinanti menemukan sebuah cermin tua di bawah pohon besar saat sedang bekerja di ladang. Cermin itu dibawa pulang dan diletakkan di rumah mereka. Awalnya, keluarga Kinanti menganggapnya hanya sebagai benda tua biasa.Namun cermin itu ternyata bisa membuat Kinanti terlihat cantik dan menarik .
Kinanti akhirnya bertemu laki-laki yang ternyata merupakan pengusaha kaya yaitu pemilik pabrik tempat dia bekerja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 Bertemu kembali
Malam itu, setelah pulang dari pesta, Kinanti masuk ke kamarnya dengan perasaan lelah dan bingung. Ia menatap cermin tua yang diberikan ayahnya, kini berdiri di sudut ruangan. Saat ia berjalan melewatinya, kilatan aneh di permukaan cermin menarik perhatiannya.
Kinanti mendekat perlahan, berusaha memastikan apa yang dilihatnya. Namun tiba-tiba, sebuah suara lembut tapi menyeramkan terdengar, seperti bisikan yang berasal dari dalam cermin.
"Kinanti..."
Kinanti terkejut. Ia mundur dengan napas tersengal, menatap cermin itu dengan tatapan takut. “Siapa... siapa itu?” tanyanya dengan suara gemetar, meski tak ada siapa pun di sana.
Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas. "Jangan takut, Kinanti. Aku di sini untukmu."
Kinanti merasa bulu kuduknya berdiri. Ia berlari keluar kamar memanggil ayahnya. “Ayah! Cepat ke sini! Cermin itu... ada suara!”
Ayah dan ibunya datang dengan raut wajah cemas. “Apa yang kamu bicarakan, Kinan?” tanya ayahnya sambil masuk ke kamar.
“Cermin itu, Ayah. Aku mendengar suara dari dalamnya,” kata Kinanti, menunjuk ke arah cermin tua itu.
Ayahnya memandangi cermin itu sejenak, lalu menepuk bahunya. “Mungkin kamu terlalu lelah, Kinan. Tidak ada apa-apa di sini,” katanya sambil menggeleng.
Ibunya menimpali, “Kamu pasti hanya berhalusinasi karena kelelahan atau terlalu banyak berpikir. Sudah, istirahat saja.”
Kinanti ingin membantah, tapi ia melihat bagaimana kedua orangtuanya tidak percaya padanya. Mereka meninggalkannya sendirian di kamar, meyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja.
Namun, saat malam semakin larut, suara dari cermin itu kembali terdengar, kali ini lebih kuat.
"Kinanti... aku bisa membantumu. Jangan takut..."
Kinanti memeluk dirinya sendiri, tubuhnya gemetar. Ia tahu apa yang ia dengar nyata, tapi ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sesuatu dalam cermin itu terus memanggilnya, seolah ingin mendekat dan berbicara lebih banyak. Tapi di sisi lain, nalurinya mengatakan untuk menjauh sejauh mungkin.
Kinanti menatap cermin itu dengan ketakutan. Ia tahu, malam ini adalah awal dari sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Malam semakin larut, tetapi Kinanti tidak bisa tidur. Cermin tua itu terus menarik perhatiannya, seperti memanggilnya untuk mendekat. Rasa takut yang awalnya membelenggu perlahan tergantikan oleh rasa penasaran.
Dengan langkah ragu, Kinanti bangkit dari tempat tidurnya dan mendekati cermin. Suara itu kembali terdengar, lembut dan penuh misteri.
“Kinanti... Jangan takut. Aku di sini untuk membantumu...”
Ia menggigit bibirnya, berusaha menenangkan diri. “Siapa kamu? Kenapa ada di dalam cermin ini?” tanyanya pelan.
Cermin itu bergetar halus, dan sebuah kilatan cahaya samar muncul di permukaannya. “Aku adalah pantulan terbaik dirimu. Aku bisa menunjukkan siapa dirimu yang sebenarnya, Kinanti. Yang lebih percaya diri, lebih kuat, lebih menarik...”
Kinanti terdiam. Kata-kata itu menyentuh sisi terdalam hatinya, sisi yang lelah menjadi bahan cibiran dan dipandang sebelah mata oleh orang-orang di sekitarnya.
“Apa maksudmu?” tanyanya dengan nada penasaran, meski rasa takut masih tersisa.
“Tatap aku... dan lihatlah dirimu yang sebenarnya,” bisik suara itu.
Dengan gemetar, Kinanti mendekatkan wajahnya ke cermin. Awalnya, ia hanya melihat bayangan dirinya yang biasa, wajah sederhana dengan mata lelah setelah hari yang panjang. Namun, perlahan, bayangan itu berubah. Wajahnya tampak lebih bercahaya, kulitnya terlihat halus tanpa cela, dan matanya memancarkan kepercayaan diri yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Kinanti terperangah. “Apa... apa ini aku?”
“Ini adalah dirimu yang sebenarnya, Kinanti. Percaya dirilah. Dunia akan melihatmu seperti ini jika kau mulai percaya pada dirimu sendiri.”
Suara itu terdengar meyakinkan, dan rasa takut Kinanti perlahan menghilang. Ia merasakan kehangatan aneh menjalar ke seluruh tubuhnya, seolah cermin itu memberikan kekuatan baru.
Saat ia menatap kembali bayangannya di cermin, Kinanti mulai tersenyum. Ada keyakinan yang tumbuh dalam hatinya, keyakinan bahwa ia tidak lagi lemah atau rendah diri. Meski pakaiannya sederhana dan hidupnya penuh kesulitan, ia merasa seolah mampu menghadapi dunia dengan kepala tegak.
Cermin itu telah memberinya sesuatu yang belum pernah ia miliki sebelumnya—kepercayaan diri. Kini, ia merasa siap untuk menghadapi apa pun yang menantinya di luar sana.
Keesokan paginya, Kinanti bangun dengan semangat baru. Ia menatap bayangannya di cermin tua itu. Wajahnya tampak lebih bersinar, dan kepercayaan diri yang baru ia rasakan membuatnya tersenyum. Dengan cepat, ia mengenakan seragam kerjanya yang rapi dan sederhana.
"Semangat, Kinan. Ini hari baru," gumamnya pada dirinya sendiri.
Ia menaiki motor matic kesayangannya dan melaju menuju pabrik tempat ia bekerja. Saat tiba, suasana pabrik tampak lebih sibuk dari biasanya. Para pekerja bergegas, suasana dipenuhi dengan perintah dari para supervisor, dan barang-barang produksi terlihat tertata rapi di meja.
"Kenapa semua sibuk hari ini?" tanya Kinanti kepada salah satu temannya.
"Bos besar dari kantor pusat mau datang. Katanya dia sangat detail dan perfeksionis. Jadi, semua harus sempurna," jawab temannya dengan nada gugup.
Kinanti mengangguk. Ia bertugas di bagian pengecekan atau packing, dan ia tahu bahwa semua sampel harus dalam kondisi terbaik. Ia segera mengambil tempatnya dan mulai memeriksa barang-barang satu per satu, memastikan tidak ada kesalahan.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu utama. Semua pekerja berdiri tegak, suasana menjadi hening. Seorang pria tinggi dengan setelan jas rapi memasuki ruangan, diikuti beberapa asisten dan manajer pabrik.
Kinanti yang sibuk memeriksa produk mencoba melirik sosok pria itu. Ia langsung mengenalinya—pria itu adalah Zayn, lelaki yang ia tabrak di pesta pernikahan sepupunya kemarin malam.
Kinanti merasa dadanya berdebar. “Jadi dia pemilik kantor pusat?” pikirnya dalam hati.
Zayn berjalan perlahan melewati deretan pekerja, matanya memindai setiap sudut ruangan. Tatapannya akhirnya berhenti pada Kinanti. Ia menatapnya sejenak, seolah mencoba memastikan sesuatu, lalu melanjutkan langkahnya tanpa mengucapkan apa pun.
"Kinanti, tetap tenang. Fokus," bisik hatinya, berusaha menahan rasa gugup.
Sepanjang kunjungannya, Zayn memeriksa barang-barang dengan teliti, berbicara dengan manajer, dan memberikan beberapa instruksi. Namun, beberapa kali Kinanti merasa tatapan pria itu kembali mengarah padanya.
Ketika kunjungan hampir selesai, salah satu asisten Zayn mendekatinya dan berbicara singkat. Kinanti tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi ia melihat Zayn mengangguk dan melirik ke arahnya lagi.
"Sepertinya produksinya bagus, dan kualitasnya juga terjaga,"ucap Zayn dengan suara bariton nya.Zayn dengan kaki jenjangnya melangkah, menuju ke arah ruang meeting. Dan Kinanti ikut bersama supervisornya .Zayn belum menyadari keberadaan Kinanti karena fokus pada produk sampel yang dia periksa.
"Baik saya hanya ingin mengingatkan, tetap jaga kualitas produk jika ada kenaikan bahan utama, bisa koordinasi dengan pusat, nanti pihak manajemen operasional yang akan mengurus." Dengan tegas dan berwibawa laki-laki tampan itu memberi arahan nya. Saat dia mengedarkan pandangannya tiba-tiba , matanya tertuju pada sosok wanita yang membuatnya tak berkedip.
"Hahhh, gadis itu... dia... karyawan di sini?"...
secara logika seharusnya ada kepastian masih atw putus.
tapi anehnya masih sama2 merindukan, tp gak ada komunikasi, padahal di hp ada no kontaknya.. 😆😆😆😇😇😇