Laras terbangun di tubuh wanita bernama Bunga. Bunga adalah seorang istri yang kerap disiksa suami dan keluarganya. Karna itu, Laras berniat membalaskan dendam atas penyiksaan yang selama ini dirasakan Bunga. Disisi lain, Laras berharap dia bisa kembali ke tubuhnya lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Elmu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenyataan Menyakitkan
"Emang sedeket itu kita dulu, Ma?" Bibirnya tak henti mengulas senyum. Membuka album yang berisikan foto-foto masa kecilnya dengan Aksa. Lebih tepatnya foto Bunga dan Aksa.
"Iya. Kalian lengket banget. Sampek kemana-mana barengan terus."
Laras terkikik geli. Membayangkan bucinnya Bunga kecil pada Aksa yang terkesan dingin sejak dini.
Sepulang dari kantor, Laras mengajak Aksa mampir ke rumah orang tua Aksa, alias mertuanya. Aksa sendiri sedang mengobrol dengan papanya. Biasalah, gak jauh-jauh dari masalah bisnis. Laras yang tidak terbiasa dengan obrolan berat, mengungkapkan tujuannya pada mama. Awalnya cuma mengungkit-ungkit tipis masa kecil Aksa. Lalu, merembet ke kisah masa kecil mereka, yang dikabarkan dalam mimpinya deket banget. Dan mamanya malah menyuguhinya dengan album lama. Benar-benar definisi kembar identik, wajah kecil Bunga pun sama persis dengan wajahnya. Bahkan tahi lalat kecil di bibirnya, juga ada pada Bunga.
"Yang masih mama inget, kamu itu dulu minta sama mama buat nikahin Aksa. Padahal waktu itu kamu masih kelas satu."
Laras tertawa. Bahkan dalam mimpinya pun sama. Ternyata sebar-bar itu dia, menjadi cegil sejak dini.
"Terus, lucunya, kamu melamar Aksa pas acara pesta dengan kolega. Mama masih inget banget, kamu pake gaun pink dengan mahkota putih, terus pas lagi makan-makan kamu malah naik ke mimbar. Ngajakin Aksa nikah. Kak Aksa! Ayo, nikah sama Bunga. Bunga lamar kak Aksa. Harus mau pokoknya. Habis itu nyanyi lagu cicak-cicak di dinding. Sampek orang-orang yang awalnya terdiam gara-gara syok, jadi tertawa terpingkal-pingkal."
Laras ngakak. Membayangkan situasi yang awalnya awkward jadi lucu gara-gara nyanyiannya yang gak nyambung itu. Apalagi orang tua Bunga, apa gak merah ijo kuning wajahnya menyaksikan kecegilan putrinya.
"Terus, Aksa gimana, Ma?" antusiasnya menyimak cerita.
"Cuek. Dia bahkan memasang wajah datarnya. Gak tahu anak itu, kenapa dingin banget. Heran mama."
"Tapi akhirnya beneran dinikahin, kan, Ma. Haha."
Mama tersenyum tipis. "Iya. Ternyata memang sudah jodohnya." Mama meraih tangan Laras, menggenggamnya.
"Mama bersyukur, pada akhirnya kalian menikah. Mama lega."
Laras tersenyum. "Thanks, Ma. Sudah merestui kami."
Mama mengela napas. Menerawang.
"Sebenarnya mama berat menceritakannya sama kamu. Harusnya biar kamu sendiri yang mengingatnya perlahan-lahan. Tapi, mama rasa tak masalah kamu tahu sekarang."
Tiba-tiba jantungnya berdetak kencang. Ada apa ini? Apa mama akan menceritakan hubungan buruk Aksa dengan Bunga, sebelum seperti sekarang.
"Besok adalah hari kematian orang tuamu." Mama mendesah pelan.
"Biasanya kita berziarah bersama mengunjungi makam orang tuamu. Tapi karna kamu amnesia, mama khawatir kamu belum mengingatnya."
Laras mengangguk. "Bunga memang belum ingat, Ma. Terimakasih, karna mama memberi tahu Bunga. Bunga gak mau melewatkan kunjungan ke makam. Mama papa pasti sedih kalau sampai Bunga gak kesana."
"Iya. Besok biar Aksa mengosongkan jadwalnya. Kalian gak usah ke kantor dulu."
Laras mengangguk.
"Ngobrolin apa sih, serius banget. Padahal tadi masih ketawa-tawa rame."
Aksa menyusul. Duduk di samping Laras, yang langsung disambut protesan Laras karna tubuh besar Aksa menyempiti tempat duduknya.
"Apalah kamu tuh, kepo. Minggir sana, sempit." mendorong badan besar Aksa, menyuruhnya pindah. Tapi apalah dayanya, tenaganya kalah kuat. Aksa tertawa. Membiarkan Laras dengan omelannya. Bahkan dengan lancang mengecup pipi gadis itu, padahal ada mamanya.
"Aksa!" pelotot Laras. Gak tahu malu emang.
"Gak papa ya, Ma. Udah pernah, kan?" kekehnya.
"Iya deh. Untung mama pernah muda. Kalian lanjut aja deh. Mama ogah jadi obat nyamuk."
Aksa tergelak, sementara Laras mengumpati Aksa.
"Tuh kan mama pergi. Aku tuh lagi ngobrol seru. Ganggu kamu mah," omel Laras.
"Gak papa. Ngobrolnya lanjut sama aku aja. Lebih seru. Bisa sambil kayak gini." Mengecup pipi Laras, yang membuat gadis itu kembali memekik.
"Aksa! Nakal ish!"
"Nakal sama istri sendiri malah dianjurkan sayang. Apa kita lanjut ke kamar aja? Biar gak malu sama papa mama. Gimana?" menaikkan sebelah alisnya.
"Enggak! Mall--- Aksa!" pekik Laras, karna Aksa membopong tubuh kecilnya. Menaikkan ke bahu si pria seperti membawa karung beras. Laras memberontak, memukul-mukul punggung Aksa, tapi Aksa justru tertawa.
"Aksa turunin! Jangan berani macem-macem ya!" teriaknya, apalagi setelah Aksa membawanya ke kamar. Dia takut, Aksa kebablasan.
Aksa membaringkannya ke ranjang. Dan tanpa memberi kesempatan Laras untuk kabur, segera mengungkung tubuhnya.
"A-Aksa ...." cicitnya menelan saliva kasar. Lihat saja seringai mengerikan di bibir Aksa. Apalagi, pria itu justru memainkan lidahnya.
"Lo macem-macem gue teriak!" ancamnya.
Aksa terkekeh. "Yakin mau teriak? Memangnya ada yang dengerin?" godanya. Perlahan meraba pipi Laras.
"Mama, sama papa," tukasnya gugup.
"Haha. Mereka malah menertawakanmu sayang. Atau, malah senang, karna cucunya bentar lagi louncing?" Aksa menahan tawanya. Gadis di bawahnya mengkeret. Tangannya bahkan meremat sprei. Padahal, diapa-apain juga belum. Takut banget.
Tak tahan melihat ekspresi wajah tegang Laras yang menurutnya lucu, Aksa tertawa. Menjatuhkan tubuhnya di samping gadis itu dan memeluknya.
"Aku cuma bercanda, sayang ...." ujarnya, mengulum senyum.
Bugh!
Aksa mengaduh. Pukulan lumayan keras mendarat di lengannya.
"Kok dipukul sih?" protesnya, meringis mengelus lengannya.
"Jail!"
"Hehe. Tenang aja, aku gak akan melakukannya, sebelum kamu sendiri yang memintanya, atau memberi lampu hijau. Kamu takut, ya?" tuturnya lembut. Melepaskan tangannya dari elusan di lengannya. Beralih meletakkannya di bawah kepalanya sebagai bantalan. Menatap lembut gadisnya.
"Iyalah. Tiba-tiba aja kamu kayak singa kelaparan mau nerkam aku."
Aksa terkekeh. "Soalnya kamu menggemaskan. Ekspresinya lucu banget. Gimana kalau beneran diunboxing."
Bugh!
Aksa kembali meringis, tapi kali ini diiringi tawa. Gak sesakit tadi.
"Ngomongnya sembarangan." pelotot Laras.
"Padahal canda doang. Kamu lagi pms ya? Sensitif banget."
"Bodo!"
Laras memutar tubuhnya. Menjadi membelakangi Aksa. Kesal. Dari tadi Aksa menggodanya.
Tangan Aksa melingkar memeluknya dari belakang.
"I love you," bisiknya hangat di telinga. Diiringi kecupan lembut di telinganya.
Laras terdiam. Padahal dia lagi kesal, tapi mendengar ucapan cinta Aksa, jantungnya justru berdetak cepat. Ah, murahan banget. Gampang dibaperin.
Tapi sejurus kemudian, bibirnya melengkungkan senyum. Memeluk tangan Aksa yang melingkari perutnya. Hangat. Sehangat perasaannya saat ini. Cinta jika dihayati, terasa sekali mendebarkannya. Hangat dan nyaman.
.
.
Memakai pakaian serba hitam, begitu juga dengan Aksa dan kedua orang tuanya. Sesuai dengan yang dikatakan mama semalam. Hari ini adalah hari kematian orang tuanya. Tidak ada perasaan apa-apa. Karna memang Laras tidak ingat apapun tentang meninggalnya orang tua Bunga. Tapi demi menghormati orang tua Bunga, dia akan menggantikan Bunga untuk menziarahi pusara orang tuanya.
Mereka mampir mampir ke florist untuk membeli bunga dulu. Bunga Lily dan mawar, bunga kesukaan mendiang mamanya.
Tiba di pemakaman, Laras tak banyak bicara. Barulah, saat sudah di pusara orang tuanya, perasaan itu baru terasa. Seakan jiwa Bunga kembali padanya. Perasaannya tersayat menyaksikan dua pusara berdampingan dengan tanggal yang sama. Yang berarti mereka meninggal dalam waktu bersamaan. Membayangkan sakitnya Bunga saat itu, membuat perasaannya tersayat. Aksa memeluknya, memberi afirmasi positif untuk menenangkan perasaannya.
"Mereka mengalami kecelakaan tunggal saat hendak menghadiri wisudamu, Bunga."