Laras terbangun di tubuh wanita bernama Bunga. Bunga adalah seorang istri yang kerap disiksa suami dan keluarganya. Karna itu, Laras berniat membalaskan dendam atas penyiksaan yang selama ini dirasakan Bunga. Disisi lain, Laras berharap dia bisa kembali ke tubuhnya lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Elmu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Khilaf atau Sengaja?
Makan siang, bahkan sampai waktu pulang, Laras sama sekali tidak menemui Aksa. Dia menghindar. Ada yang tidak beres dengan hatinya. Ralat, maksudnya, hati Bunga. Jadi, dia memilih menjauh. Untuk permintaan maafnya, dia tuliskan di kertas kecil. Dia letakkan di meja kerja Aksa yang ada di kamar. Terserah pria itu mau membacanya atau tidak. Yang penting dia sudah meminta maaf. Meski hanya dengan satu kata, Maaf. Itu saja.
Suara deru mobil memasuki halaman. Aksa baru saja pulang di jam sembilan malam. Sebisa mungkin Laras menahan dirinya untuk tidak penasaran. Tetap menyibukkan diri menggulir layar ponselnya. Mengusir rasa penasaran untuk sekedar membuka tirai jendela dan mengintip. Mengusir berbagai pertanyaan berkecamuk. Kenapa baru pulang? Darimana saja? Pulang sendiri, atau bersama Lila? Mendengkus kasar, karna ponsel ternyata sama sekali tidak membuat kepalanya tenang. Masih berisik menyebalkan.
"Huft ...." desahnya, meraup wajahnya kasar. Melempar ponselnya pelan. Ada apa dengan dirinya, berbagai perasaan berceramuk mengganggu.
Laras beringsut dan duduk di pinggir ranjang. Bertopang dagu. Dengan napas berat yang dibuang berkali-kali.
Derit pintu yang didorong dari luar mengalih perhatiannya. Terperanjat begitu muncul pria yang sedari tadi mengganggunya. Dia lupa mengunci pintunya.
"Kenapa meninggalkanku?" pertanyaan yang membuat Laras terkesip. Penampilan Aksa berantakan. Ujung kemeja yang tak lagi terselip di celana. Juga dasi miring tak jelas. Tiga kancing bagian atas sudah tak lagi berada di tempatnya. Belum lagi penampilan kusutnya. Sorot mata sayu, tak setajam biasanya.
Laras beringsut hendak berdiri. Tapi gerakan pria itu lebih cepat. Menahan gerakannya dengan memeluknya erat. Membawanya dalam dekapan tubuh kekarnya. Tubuhnya yang mungil, sempurna hilang dalam rengkuhan hangat. Laras kembali mematung. Tunggu! Hidungnya menangkap aroma berbeda. Dia tidak tahu aroma apa ini. Tapi kalau boleh menebak, aroma ini ... alkohol?
Aksa habis minum?
"Jangan pergi ...." terdengar gumaman lirih.
Apa telinganya tidak salah dengar? Aksa takut dia pergi?
"Lepas, Sa. Lo mabuk, kan?" ujar Laras, berusaha mendorong Aksa darinya. Tapi pria itu menolak. Justru mempererat dekapannya. Tubuh tingginya membungkuk, menelusupkan kepala di ceruk leher Laras.
"Aksa, lo mabuk." Jujur, Laras geli. Apalagi, deru napas Aksa menerpa lehernya. Menimbulkan sensasi geli yang aneh.
Aksa menggeleng. "Aku merindukanmu ...."
"Tapi lo mabuk, Sa. Lo bakal nyesel kalau inget."
Aksa mengangkat wajahnya. Menatap lekat gadis yang tingginya dibawahnya itu.
"Aku gak mabuk, Laras."
Laras?
Aksa menyebut Laras, bukan Bunga.
"Oke. Kalau lo emang gak mabuk. Tapi, lo bisa lepas?"
Aksa menggeleng. "Tidak mau. Aku mau seperti ini."
"Tapi sesak, Aksa."
Aksa mendesah pelan. Melonggarkan pelukan tanpa melepasnya.
"Begini?"
"Tetap saja ....."
"I love you."
Netra Laras membulat. Reflek mendorong Aksa. Mendongak.
"Aku mencintaimu, terlepas dari siapa dirimu. Bunga atau Laras, aku tak peduli."
Laras mengangkat tangannya. Hendak menyentuh dahi Aksa. Tapi pria itu menahannya.
"Aku sadar. Dan sangat-sangat sadar. Aku mencintaimu ...."
Terlihat kesungguhan dari setiap kata yang terlontar. Meski berkali Laras mencoba mencari kebohongan di mata Aksa, dia tidak kunjung menemukannya.
"Aku tahu, selama ini sikapku ini keterlaluan. Kamu mungkin membenciku. Tapi tidak apa-apa. Itu hakmu. Aku yang salah. Kamu berhak membencik---"
Chup ~
Aksa mematung. Gadis itu menarik wajahnya dan menciumnya lebih dulu. Hanya singkat, Laras kembali menarik wajahnya. Tapi Aksa menahannya, dan justru kembali mendaratkan dan meraih tengkuk Laras, memperdalam ciumannya. Dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini lagi. Gadis itu telah memberinya lampu hijau. Dari yang hanya sekedar menempel, beralih ke lumatan-lumatan lembut. Ada perasaan yang tengah berkobar membara. Yang sama-sama dinikmati keduanya. Bahkan, tangan gadis itu berpindah mengalung di leher Aksa. Keduanya larut dalam perasaan menggebu.
Hingga beberapa saat kemudian, Laras mendorong badan Aksa. Dia kehabisan oksigen. Napasnya naik turun. Wajahnya kembali memerah saat Aksa menyeka benang saliva di bibirnya. Sisa pertautan mereka.
"Aku gak ditimpuk lagi, kan?" ucapnya, yang langsung mendapat pelototan sekaligus pukulan di lengannya. Aksa terkekeh. Merengkuh gadis itu dalam dekapannya.
"Jadi, kita official?" tanyanya, memastikan.
"Belum tentu."
"Why?" Aksa menatap tak terima.
"Lah, lo aja masih ada hubungan sama cewek itu?"
"Lila maksudnya?"
"Entah. Gak pengen tahu namanya," ketus Laras.
Aksa terkekeh kecil. Menjepit hidung Laras dengan jarinya. Yang otomatis meloloskan umpatan Laras.
"Gak ada. Aku gak ada hubungan apa-apa sama dia."
"Halah! Bohongnya buaya."
"Serius."
"Terus, yang pelukan di ruang kesehatan tadi siapa?"
"Cemburu?"
Laras memukul dada Aksa. Melotot.
"Aku sengaja. Mau lihat kamu cemburu atau enggak. Dan kayaknya berhasil."
"Pede. Siapa juga yang cemburu," elaknya.
"Kalau begitu, besok aku coba lagi?"
Laras melotot. Enak saja.
Aksa terkekeh.
Malam tak terduga. Sama sekali gak kepikiran kalau Aksa bakal nyatain perasaannya. Dan Laras akui, dia kalah. Nyatanya, tubuhnya menerima sentuhan pria itu. Dan malah memulainya lebih dulu. Bunga, maafkan dirinya, karna nyatanya pria itu juga menarik dirinya untuk jatuh cinta.
Keduanya masih saling memeluk, bedanya kini pindah ke ranjang. Dengan Aksa yang masih memakai pakaian kerjanya. Confess pertama, rasanya sayang untuk berpisah barang sebentar sekalipun.
.
Bangun tidur, Laras dikejutkan dengan lengan kekar yang memeluk tubuhnya. Mendapati sosok Aksa disampingnya, satu ranjang. Ingatannya pulih. Teringat pengakuan semalam. Jadi, itu bukan mimpi! Semalam, mereka bahkan sudah berci-uman.
Hati-hati, Laras menyingkirkan tangan Aksa darinya. Beringsut pelan menuruni ranjang. Kabur ke kamar mandi.
"Heuh! Ini beneran? Gue sama Aksa semalam ---?" tukasnya, memegang bibirnya seraya menatap wajahnya di cermin. Menepuk kedua pipinya, menggeleng kuat.
"Tapi dia beneran tidur disini. Berarti semalam bukan mimpi. Aaa ... Gue malu banget, sumpah. Gue kudu gimana??!" memutar kran, dan memandangi air yang keluar.
"Eh, tap-tapi ... Aksa bau alkohol. Jangan-jangan semalam dia cuma melantur?" teringat aroma tak biasa yang tercium hidungnya. Bahkan, saat mereka bertukar saliva, rasanya ada aroma berbeda. Hanya saja, karna terlanjur larut dalam kenikmatan, dia tidak terlalu memikirkannya. Padahal, kalau diteliti, tatapan Aksa juga sayu, seperti orang yang sedang mabora. Aish! Giliran begini, baru kelihatan jelas. Semalam mah, nafsu lebih mendominasi. Memang apa-apa kudu dipikirkan dengan kepala jernih. Biar gak malu sendiri.
Sepertinya dia butuh menyegarkan pikirannya. Menyalakan shower. Membiarkan derai air menyiram tubuhnya.
Sepertinya dugaannya benar, Aksa hanya terpengaruh alkohol. Buktinya, pria itu sudah tidak ada di kamarnya. Tanpa pesan apa pun. Seolah semalam tidak ada sesuatu yang terjadi. Ah, kenapa hatinya kecewa. Padahal, bagus kan, kalau Aksa gak inget. Setidaknya dia gak perlu menutupi rasa malunya.
Sampai di meja makan, pun, Aksa bersikap seperti biasa. Datar, tanpa ekspresi yang seharusnya diperlihatkan orang yang baru saja confess. Laras semakin yakin, kalau semalam Aksa terpengaruh alkohol. Tapi hebatnya, saat mabuk pun Aksa inget kejadian sebelumnya dengan detail. Kira-kira, apa sekarang juga?
Menunggu di mobil, Aksa melirik Laras yang mendaratkan pantat di kursi sebelahnya.
"Ah! Aku gak tahan lagi," kesal Aksa, tiba-tiba mengerang frustasi.
Laras menoleh. Mendapati Aksa yang merendahkan badannya dan menatap ke arahnya.
"Aksa, lo mau ngapain?"
Aksa mendengkus. "Jangan bilang kamu lupa?"
"Maksudnya?" Dia tahu arah perkataan Aksa. Jantungnya saja berdegup kencang. Tapi dia gak mau salah paham.
"Yang semalam. Kamu gak lupa kan, kita ngapain aja?"