Alden adalah seorang anak yang sering diintimidasi oleh teman-teman nakalnya di sekolah dan diabaikan oleh keluarganya.
Dia dibuang oleh keluarganya ke sebuah kota yang terkenal sebagai sarang kejahatan.
Kota tersebut sangat kacau dan di luar jangkauan hukum. Di sana, Alden berusaha mencari makna hidup, menemukan keluarga baru, dan menghadapi berbagai geng kriminal dengan bantuan sebuah sistem yang membuatnya semakin kuat.
#story by suciptayasha#
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5 kehangatan
Di sudut terpencil kota Nirve, terdapat sebuah rumah yang berdiri dengan kondisi jauh dari kelayakan huni.
Bangunan ini, yang lebih mirip gubuk ketimbang tempat tinggal, terlihat ringkih dengan dinding kayu yang sebagian besar telah usang dimakan waktu.
Atap seng yang seharusnya melindungi penghuninya dari hujan, kini berlubang di sana-sini, memaksa air merembes masuk setiap kali hujan turun.
Pintu rumah tersebut terbuat dari kayu yang sudah keropos, tergantung pada engsel yang nyaris patah. Di sekeliling rumah, rerumputan liar tumbuh tak beraturan, menambah kesan terbengkalai.
Jendela yang tak lagi memiliki kaca dan hanya ditutupi kain lusuh, memberikan sedikit privasi bagi penghuni yang masih bertahan.
Pagi hari di kota yang suram itu, Alden terbangun dari tidurnya yang sama sekali tidak nyenyak.
Bagaimana tidak, sepanjang malam suara bising yang menandakan aktivitas kriminal mulai terdengar. Jeritan minta tolong, suara perkelahian, hingga deru langkah tergesa-gesa acap kali memecah keheningan malam.
"Sungguh pagi yang buruk," ucapnya lesu sambil mengucek kantong matanya yang menghitam.
"Apa kau bilang rumahku buruk?" Naira tiba-tiba muncul di balik pintu reot, mengagetkan Alden yang masih belum sepenuhnya mengumpulkan jiwa raga.
"Aku bersyukur bisa tidur di bawah atap, walaupun aku juga khawatir ada mata yang mengintip dari sana," Alden berkata sambil memperhatikan kondisi atap rumah yang memprihatinkan.
"Lagipula kami hidup berpindah-pindah. Setelah rumah ini dirasa tidak layak huni, maka kami akan segera pindah."
Alden ingin berkata 'memangnya ini disebut layak huni?' tapi dia menahannya karena tidak ingin melukai hati Naira. Selama ini Alden hidup di kota yang normal, jadi dia tidak terbiasa dengan pandangan masyarakat kota Nirve.
Rumah dan lingkungan ini mencerminkan potret kehidupan yang penuh perjuangan. Meskipun banyak yang melihatnya sebagai tempat yang sebaiknya dijauhi, namun bagi penghuni dan orang-orang yang mencoba bertahan, ini adalah tempat kelahiran mereka.
"Kakak, makanannya sudah siap!" Terdengar teriakan Lucy dari arah dapur.
"Kau dengar? Ayo kita makan sebelum membahas masalah ke depannya," ajak Naira.
Mereka bergegas makan di meja yang kelihatannya sudah hampir roboh, walaupun makanan yang tersaji terlihat biasa bahkan terkesan tidak menarik, namun Naira dan Lucy terlihat sangat menikmati sarapan mereka.
Di tempat yang kondisinya tidak menentu itu, sarapan di pagi hari bagaikan sebuah berkah bagi mereka berdua.
Duduk di meja makan sambil menatap mata satu sama lain kemudian mengobrol bersama, itu adalah pertama kalinya Alden merasakan hal itu hingga membuat ekspresi sedih terpampang jelas di wajahnya.
Naira dan Lucy kebingungan. Mereka berdua bertanya-tanya kehidupan macam apa yang dijalani oleh pemuda yang kemarin baru saja dia rampok.
Usai makan, Lucy pergi dari ruangan untuk memberi Naira dan Alden privasi.
"Kurasa ini sudah terlambat, tapi terima kasih karena sudah mengizinkanku untuk tinggal dan sarapan bersama," ucap Alden penuh ketulusan.
"Tidak masalah, lagipula akulah yang membuatmu kehilangan harta bendamu."
"Setelah kupikirkan, sepertinya barang bawaanku tidak terlalu berharga, maaf karena sudah mengejarmu."
"Tidak!" Bantah Naira, "Baik pakaian, uang, ataupun identitas semuanya berharga."
Naira menjelaskan bahwa ada suatu organisasi yang bergerak di bidang informasi. Mereka menjual berbagai macam informasi dari geng-geng dan orang-orang yang datang ke kota Nirve.
Seseorang yang identitasnya tersebar akan dengan mudah diincar oleh geng yang membenci mereka.
"Tidak terhitung berapa banyak orang yang menjadi korban karena identitasnya jatuh ke tangan yang salah, dan itu bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh," lanjut Naira dengan nada serius.
Alden mengangguk, mencoba memahami situasi rumit yang dihadapi penduduk Nirve.
Meskipun baru beberapa saat mengenal Naira, dia bisa merasakan betapa berat beban yang dipikul oleh Naira dan adiknya, Lucy.
Di tengah kondisi yang mengkhawatirkan tersebut, mereka masih mampu mempertahankan semangat hidup dan menunjukkan kebaikan hati.
Di tengah pembicaraan, layar sistem tiba-tiba muncul.
[Quest menangkap pencuri telah diubah menjadi Quest mengambil kembali apa yang menjadi milikmu! Hadiah: ??]
'Aku sempat khawatir dengan kemajuan Quest ini, tapi sepertinya quest yang kudapat berkembang sejalan dengan apa yang kulakukan.' Batin Alden.
"Aku berjanji akan membantu kalian semampuku," ujar Alden mantap, meski dalam hati dia belum sepenuhnya tahu bagaimana caranya.
Naira tersenyum tipis, "Terima kasih, Alden. Tidak banyak orang dari luar Nirve yang memiliki niat baik sepertimu."
Waktu terus berlalu dengan perlahan, Alden dan Naira melanjutkan pembicaraan mereka mengenai kondisi kota dan bagaimana cara bertahan di dalamnya.
Naira menjelaskan betapa pentingnya membangun jaringan dengan penduduk lokal yang dapat dipercaya.
Dia memberi tahu Alden bahwa meskipun banyak ancaman di balik kepadatan penduduk Nirve, ada juga komunitas-komunitas kecil yang saling membantu untuk bertahan hidup.
Lucy, yang tadinya berdiam diri mendengarkan, akhirnya angkat bicara, "Kadang-kadang kita bertukar informasi atau barang dengan orang lain untuk mendapatkan apa yang kita butuhkan. Semuanya tentang siapa yang kamu kenal dan bagaimana bisa saling percaya."
Alden semakin memahami bahwa hidup di Nirve membutuhkan adaptasi yang tinggi dan kesigapan dalam merespons segala kejadian tak terduga.
Meski awalnya merasa asing dengan gaya hidup ini, perlahan dia mulai melihat titik-titik kecil harapan di tengah kesulitan yang melingkupi kota tersebut.
"Ngomong-ngomong, apa tujuanmu datang ke kota ini, Alden?" Tanya Naira penasaran, jarang ada yang ingin datang ke tempat itu kecuali mereka ingin mati.
Sekali mereka datang maka mereka tidak akan bisa keluar dengan mudah, selain sarana transportasi yang dikuasai para kriminal, medannya juga tidak cocok untuk berjalan kaki.
Orang yang ingin keluar dari lubang neraka itu haruslah mempunyai koneksi dengan para sindikat kriminal atau punya harta yang cukup melimpah untuk membayar biaya pergi.
"Aku diusir dari rumah, begitu juga sekolah. Orang tuaku bilang tidak ada tempat yang lebih baik bagiku selain hidup di tempat ini, itu pun kalau aku masih ingin hidup."
Alden melanjutkan, "Tapi aku tidak bisa menyalahkan mereka sepenuhnya. Mungkin mereka berpikir Nirve bisa memberiku pelajaran hidup yang keras dan membuatku berubah."
Suaranya terdengar getir dan lelah. Naira menatapnya dengan penuh empati. "Di satu sisi, Nirve memang tempat yang bisa mengajarkan banyak hal. Tapi tidak seharusnya seseorang dipaksa belajar dengan cara sekejam ini."
Dia menganggap Alden berada di posisi yang sangat rentan. Bagaimana tidak, pemuda ini terjebak di lingkungan yang penuh bahaya dan ketidakpastian, tanpa dukungan dari keluarga yang seharusnya menjadi tempat paling aman baginya.
Setelah mendengar kisah Alden, Naira teringat dengan masa lalunya yang tidak kalah sulit.
Kehilangan orang tuanya di usia yang sangat muda memaksa Naira untuk bisa mandiri lebih cepat daripada yang seharusnya.
Bersama Lucy, dia mencoba bertahan di kota Nirve—tempat yang mereka kenal sebagai rumah, meski penuh dengan bahaya.
(saran aja)