Berkisah tentang Alzena, seorang wanita sederhana yang mendadak harus menggantikan sepupunya, Kaira, dalam sebuah pernikahan dengan CEO tampan dan kaya bernama Ferdinan. Kaira, yang seharusnya dijodohkan dengan Ferdinan, memutuskan untuk melarikan diri di hari pernikahannya karena tidak ingin terikat dalam perjodohan. Di tengah situasi yang mendesak dan untuk menjaga nama baik keluarga, Alzena akhirnya bersedia menggantikan posisi Kaira, meskipun pernikahan ini bukanlah keinginannya.
Ferdinan, yang awalnya merasa kecewa karena calon istrinya berubah, terpaksa menjalani pernikahan dengan Alzena tanpa cinta. Mereka menjalani kehidupan pernikahan yang penuh canggung dan hambar, dengan perjanjian bahwa hubungan mereka hanyalah formalitas. Seiring berjalannya waktu, situasi mulai berubah ketika Ferdinan perlahan mengenal kebaikan hati dan ketulusan Alzena. Meskipun sering terjadi konflik akibat kepribadian mereka yang bertolak belakang, percikan rasa cinta mulai tumbuh di antara
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 Perhatian Bos Alzena
Pagi itu, Ferdinan memasuki kantornya dengan langkah penuh percaya diri. Wajahnya tampak lebih ceria dari biasanya, membuat para karyawan yang bertemu dengannya di lorong sedikit terkejut.
Di dalam ruangannya, Farrel, sahabat sekaligus asistennya, sudah siap dengan jadwal hari itu. Dengan santai, Farrel menyerahkan dokumen-dokumen yang perlu ditinjau Ferdinan.
"Bos, kelihatannya hari ini Anda sedang mood bagus ya?" goda Farrel sambil melirik Ferdinan yang sedang membaca salah satu dokumen.
Ferdinan hanya meliriknya sekilas dan tersenyum tipis. "Mungkin saja. Ada yang salah dengan itu?"
Farrel terkekeh pelan. "Nggak, cuma jarang lihat bos seceria ini di pagi hari."
Sambil menyeruput kopi yang baru saja diantarkan sekretarisnya, Ferdinan menoleh ke arah Farrel. "Apa agenda kita hari ini?"
Farrel segera memeriksa tablet di tangannya. "Siang ini ada penandatanganan MoU dengan PT Silva. Bastian akan datang langsung bersama beberapa stafnya."
Ferdinan menatap Farrel dengan mata sedikit menyipit. "Apa Alzena juga akan ikut?"
Farrel tampak terkejut mendengar pertanyaan itu. "Sepertinya iya, bos. Setahu saya, dia bagian dari tim marketing yang menangani kerja sama ini."
Ferdinan mengangguk pelan, wajahnya kembali serius. "Pastikan semuanya berjalan lancar. Aku tidak mau ada kendala."
Farrel tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan rasa penasarannya. "Siap, bos. By the way, ada alasan khusus kenapa Anda tanya soal Alzena?"
Ferdinan menatap Farrel tajam. "Kerjakan tugasmu, Farrel. Jangan terlalu banyak bicara."
Farrel tertawa kecil sambil mengangkat tangan. "Oke, oke. Saya ngerti. Lagipula, siapa saya berani ngusik urusan pribadi bos."
Setelah itu, Ferdinan kembali fokus pada dokumennya, namun pikirannya terusik membayangkan pertemuannya nanti dengan Alzena dan Bastian. Ada sesuatu dalam dirinya yang tidak ia mengerti, perasaan tak nyaman setiap kali melihat kedekatan Alzena dengan pria lain, terutama Bastian.
Saat itu, Angel, sekretaris Ferdinan, masuk ke ruangannya dengan membawa setumpuk berkas yang harus ditandatangani. Penampilannya seperti biasa mencolok, mengenakan kemeja putih yang terlalu ketat dipadukan dengan rok pensil hitam, yang menonjolkan lekuk tubuhnya.
"Pak Ferdinan, ini dokumen yang perlu Anda tanda tangani sebelum makan siang," ujar Angel dengan nada manis, sambil berjalan perlahan ke meja Ferdinan.
Ferdinan hanya melirik sekilas tanpa menunjukkan minat sedikit pun. "Taruh di meja. Saya akan cek sebentar lagi," ucapnya singkat, matanya tetap fokus pada layar laptop di depannya.
Angel sedikit kecewa dengan respons datar Ferdinan, namun ia tetap mencoba menarik perhatian. Ia meletakkan dokumen-dokumen itu di meja dengan gerakan yang disengaja agar terlihat anggun, kemudian berdiri lebih dekat dari yang diperlukan.
"Pak Ferdinan, jika ada yang perlu dibahas, saya bisa menunggu di sini," katanya sambil tersenyum kecil.
Ferdinan akhirnya menatapnya, ekspresinya datar. "Tidak perlu, Angel. Kalau sudah selesai, kamu bisa kembali ke mejamu."
Nada suaranya tegas, membuat Angel menyadari bahwa usahanya sia-sia. Dengan sedikit enggan, ia melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan aroma parfum mewah yang samar-samar tercium.
Farrel, yang masuk beberapa saat setelah Angel keluar, langsung tertawa kecil melihat ekspresi Ferdinan. "Bos, itu Angel lagi-lagi mencoba, ya? Saya heran, dia nggak pernah kapok."
Ferdinan mendengus pelan sambil menandatangani dokumen yang baru saja diserahkan. "Aku tidak peduli dengan sikapnya, Farrel. Dia di sini untuk bekerja, bukan main drama."
Farrel mengangguk sambil menahan tawa. "Bos memang beda. Kalau yang lain mungkin sudah tergoda."
Ferdinan meletakkan pena di meja dan menatap Farrel tajam. "Aku punya hal yang lebih penting untuk dipikirkan daripada sekretaris yang mencari perhatian."Ferdinan memutar kursinya ke arah Farrel. "Lagian aku udah bosen bermain-main sama perempuan, mereka cuma memanfaatkan uangku aja."Ferdinan mengangkat kedua alisnya.
Farrel mengangkat bahu sambil tersenyum. "Baiklah, bos. Fokus saja pada MoU nanti. Tapi saya salut sama Anda. Tegas dan nggak mudah goyah."
Ferdinan hanya mengangguk sambil kembali fokus pada pekerjaannya, sementara pikirannya tetap tertuju pada acara makan siang nanti dan apa yang mungkin terjadi saat bertemu Alzena.
"Hahhh, kenapa rasanya begini ya, padahal dia istriku, setiap hari ketemu, kenapa jantungku deg-degan begini ya?"Gumam Ferdinan.
Siang itu, suasana di restoran mewah terasa formal dan elegan. Pertemuan antara dua bos besar, Ferdinan Klein dan Bastian Pramudya, diadakan untuk menandatangani MOU antara perusahaan mereka.
Alzena, yang ditugaskan untuk mempresentasikan laporan perkembangan kerja sama, terlihat profesional meski merasa canggung berada di antara dua pria dengan aura dominan. Sementara itu, Bastian tampak sering mencuri pandang ke arah Alzena selama presentasi. Ia bahkan memberikan pujian terang-terangan.
"Laporan Anda sangat detail, Alzena. Saya semakin yakin kerja sama ini akan membawa banyak keuntungan untuk kedua belah pihak," ujar Bastian dengan senyum ramah.
Ferdinan, yang duduk dengan postur tegap di ujung meja, hanya menatap dingin ke arah Bastian. Tatapan itu menyiratkan ketidaksukaan yang sulit disembunyikan.
Setelah sesi presentasi selesai, makan siang pun dimulai. Alzena duduk di samping Bastian, yang dengan penuh perhatian memotongkan steak untuknya.
"Alzena, Anda harus mencoba ini. Restoran ini memang terkenal dengan steaknya," kata Bastian sambil menyodorkan piring.
Ferdinan, yang duduk di seberang, hanya makan salad dan menyeruput jus dengan perlahan.
"Tuan Klein, anda tidak mencoba makanan yang best seller di sini?"Seru Bastian.
"Tidak, aku tadi dibawakan bekal makan siang dari rumah, jadi aku merasa kenyang,"jawab Ferdinan sambil melirik ke arah Alzena.
Meski wajahnya terlihat tenang, sorot matanya jelas menunjukkan rasa tidak suka terhadap sikap Bastian. Sesekali, ia melirik Alzena dengan tatapan tajam, seolah ingin mengingatkan sesuatu.
"Waduh gawat, bisa-bisa aku kena hukuman lagi nih dari dia."Alzena dalam batinnya.
"Sepertinya Anda terlalu peduli pada karyawan Anda, Pak Bastian," ujar Ferdinan tiba-tiba, dengan nada datar tapi menusuk.
" Uhug."Alzena tersedak. Ferdinan langsung mengambilkan air minumnya, untuk Alzena.
"Kamu enggak apa-apa kan, makanya pelan-pelan kalo makan."Ferdinan menyeringai seperti biasa, tanpa sadar bahwa dia ada di situasi pekerjaan.
"Ahhh sorry, itu tadi refleks aja kok."Ferdinan kikuk.
Bastian hanya tertawa kecil. "Tentu, Pak Ferdinan. Saya selalu menghargai orang-orang yang berkontribusi besar pada perusahaan saya, seperti Alzena ini."
Alzena yang mendengar itu hanya menunduk, merasa tidak nyaman dengan suasana tegang di meja. Ia mencoba menyibukkan diri dengan makan tanpa banyak bicara.
Ferdinan, yang sudah selesai dengan makanannya, meletakkan garpu dan pisau dengan pelan. "Saya pikir kerja sama ini akan berjalan dengan baik, asalkan profesionalisme tetap diutamakan," katanya sambil menatap Bastian, dengan nada yang seolah menyiratkan peringatan.
Bastian hanya mengangguk sambil tersenyum, sementara Alzena merasa semakin canggung di tengah dua pria yang seolah bersaing dengan cara halus. Pertemuan itu berakhir dengan penandatanganan MOU, tetapi ketegangan antara Ferdinan dan Bastian terasa jelas sepanjang acara.
"Makin panas nih kayanya, lagian si bos pura-pura mulu sih, bilang aja cinta sama istrinya, pake acara bilang terpaksa. "Batin Farrel yang melihat tingkah lucu bosnya yang terlihat cemburu.
"Hai... selamat siang, Sayang .. kamu sedang ada pertemuan ya."suara seorang wanita yang terdengar familiar.
bersambung