Singgasanaku dibuat dari indung mutiara yang dibentuk menyerupai jalinan akar pohon.
Aku menyebutnya rumah, yang lain mengatakan ini penjara. Walau demikian penjaraku dibuat seindah tempat tinggal para dewa, mungkin karena ibu berharap putranya adalah dewa dan bukannya iblis.
Tidak ada pilar atau ruangan-ruangan lain. Hanya ada pohon tunggal yang tumbuh kokoh di halaman singgasanaku. Pohon yang menjadi sumber kehidupanku, kini semakin kehilangan kecemerlangannya. Saat pohon itu meredup lalu padam, aku juga akan sirna.
Sebelum aku menghilang dan dilupakan, akan kuceritakan masa singkat petualanganku sebagai iblis yang menyamar jadi manusia atau barangkali iblis yang berusaha menjadi dewa hingga aku berakhir didalam penjara ibu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Author GG, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Berandal
Ketika kami kembali ke lapangan, hadirin sudah di bubarkan. Ren nampak ada kepentingan serius dengan Jendral Erlang, beberapa pemuda juga tampak bergabung dengan mereka, sedangkan Phoenix menyambutku dengan getir.
"Lukamu, ayo kita bersihkan."
Aku duduk di ranjangku, phoenix membawa segala macam keperluan untuk mengobati luka, semangkuk air hangat beberapa helai kain bersih, bubuk obat, salep, jarum, gunting di atas nampan.
"Buka bajumu," perintahnya. "Jangan ucapkan kata-kata konyol," Phoenix buru-buru menambahkan, dia sudah tahu tabiatku. Dia tidak akan membiarkanku bahkan sekedar untuk menggerutu.
Aku membuka bagian atas pakaianku, bukankah tidak ada gunanya membantahnya, lagipula aku membutuhkan bantuannya. Mengingat luka akibat sabetan pedang di lenganku mulai terasa pedih dan berdenyut.
"Aku harus menjahit lukanya," Phoenix mengamati lukaku dengan teliti sambil menempelkan kain basah ke sana.
"Haruskah?" aku bertanya seperti bocah manja. Maksudku apakah memang separah itu?
"Lukanya lebar dan dalam, jangan khawatir aku akan memperbaiki ini."
"Terimakasih," kataku.
"Tidak, aku harus minta maap padamu. Kau baru saja pulang tapi kau harus menghadapi situasi ini."
"Itu bukan salahmu... "
"Nah!" Aku hendak berdiri dan menunjuk Jendral Erlang begitu dia melangkah masuk tapi Phoenix menarikku hingga aku duduk kembali.
Jendral Erlang berhenti sesaat untuk berdehem. "Begini, untuk gangguan yang itu, aku bener-benar minta maap, itu kagak masuk hitungan hadiah."
"Dasar, bukankah kau coba menguji apakah aku masih layak bagian dari Phoenix? Begitukah tujuan kau, hah?"
Aku tidak akan membicarakan soal si penyusup, Jendral Erlang pasti sudah mengambil tindakan untuk mengusut tuntas masalah ini bersama yang lain. Ini mengenai urusanku dengannya harus kuselesaikan lebih dulu.
Jendral Erlang diam sesaat mencermati perkataanku. "Ya, siapa tahu kemampuanmu ketinggalan di jalan." katanya.
"Sangat pengertian," ejekku.
"Kalau aku kagak lupa, kemarin kau bilang ingin hadiah anggap saja duel itu hadiah dariku untuk ucapan selamat datang kembali di rumah." Dia berkata seolah itu sesuatu yang memang kubutuhkan dan dia merasa amat berjasa karenanya. "Dengan senang hati aku akan bilang sama-sama."
"Lihat, dia benar-benar ingin aku terbunuh." Aku merengek pada Phoenix
Jendral Erlang pura-pura muntah.
"Ren tidak akan membunuhmu," sahut Phoenix.
Aku duduk tegak. "Siapa yang tahu, dia tidak menyukaiku, dia berpikir aku berusaha mendepak posisinya."
"Akhirnya kau mengakui ada yang lebih hebat daripada kau?"
"Setidaknya kami imbang, jika kau kagak hitung barusan yang terakhir." Aku mengerling Jendral Erlang, dan orang itu pura pura tidak mendengar sambil bersiul.
"Tuh, lihat, kau harus melihatnya dia sungguh menyebalkan."
"Aku sudah lihat," sahut Phoenix, tapi dia sama sekali tidak menoleh sedikitpun.
"Bagaimana kau melihatnya?" aku protes.
"Kudengar wanita punya mata di belakang rambut mereka," kata Jendral Erlang.
"Benarkah?"
"Bagaimana bisa kau percaya omongannya, Daru?"
"Ya, kau benar," kataku. "Satu-satu yang bisa dipegang ucapannya disini hanya aku."
"Bualanmu," ucap Phoenix.
"Bahkan aku bisa menyimpan rahasia dari diriku sendiri."
"Omong kosong macam apa itu?" kata jendral Erlang.
"Jika kau punya rahasia akupun bisa menyimpannya untukmu Phoenix. Mulutku tertutup rapat. Kecuali ada seseorang yang sengaja ingin rahasianya kubuka." Aku tersenyum mengancam Jendral Erlang.
"Kalian bisa diam sebentar tidak?"
Kami menjawab. "Tidak."
Tangan Phoenix berhenti, dia memejamkan mata untuk menarik napas. "Bagaimana bisa aku terjebak diantara kalian berdua?"
"Phoenix apa kau mau dengar rahasia apa saja yang Jendral Erlang simpan? Aku bersedia memberitahumu."
"Tutup mulut kau."
"Ya, dia itu..."
"Satu kata lagi keluar dari mulut kau, kupatahkan tulang-tulang kau."
"Sayangku lindungi aku dari abang tidak berperasaan itu."
"Daru, bisakah pura pura jadi patung dewa sebentar saja ya, kumohon?"
"Oh oke," Aku menegakkan punggung, diam seperti patung yang diinginkan Phoenix, namun aku tidak tahan lama-lama. Aku harus membalas ejekan Jendral Erlang, abang itu tidak bisa dibiarkan.
"Memangnya apa bedanya dengan kau, Dewandaru? Poster buronmu harusnya terpampang di jalan."
"Kok begitu?"
"Berapa banyak gadis gadis yang kau patahkan hatinya?"
"Eh..."
"Berapa banyak gilda-gilda kehilangan gadis-gadis mereka?"
"Sekriminal itukah aku dimata kau bang?"
"Lha lalu apa namanya?"
"Itu kehendak mereka, mereka yang mengikuti kemanapun aku melangkah, aku kagak bisa berbuat apa apa."
"Ya itu salah kau."
"Mana ada!"
"Tentu aja ada, kenapa kau membuat dirimu disukai mereka. Buatlah dirimu jelek, atau semacamnya."
"Ya maap-maap saja, itu tidak bisa."
"Jadi itu rahasia kalian? Kedengarannya kalian berdua memang berandalan yang gak ada obat."
"Sudah kubilang tutup mulut kau."
"Mana bisa tutup mulut bukankah kau sendiri yang membuka rahasia kita."
Setiap kali aku bicara, aku pasti menggerakan entah itu badanku atau kibasan lengan yang membuat pekerjaan Phoenix terhambat. Tangan Phoenix tiba-tiba berhenti bekerja, kuperkirakan aku telah membuatnya jengkel sampai habis kesabaran, namun tiba-tiba dia mendekat ke arahku dan mendaratkan ciuman di pipi.
Dia tahu caranya membuatku diam.
Walau kecupan itu teramat singkat tapi dampaknya berpengaruh besar. Aku terpaku, memandang Phoenix yang kembali bekerja di tanganku seperti tidak terjadi apa-apa. Duniaku tengah membeku, namun tidak dengan jantungku yang berdetak kelewat keras. Aku meremas dada dengan tangan yang bebas dan Jendral Erlang entah sejak kapan kabur dari kamarku.
"Daru tahukah, kau itu pasien yang paling merepotkan, kau yang terluka tapi aku yang harus membayar."
"Ma maaf."
Phoenix tertawa, "Sudah, sudah," katanya sambil mengibaskan lengannya.
"Sudah selesai," ucapnya beberapa saat kemudian, begitu dia selesai melakukan sentuhan terakhir pada pekerjaannya. Lukaku kini sudah tertutup rapi dengan perban. "Coba dari tadi kau diam."
"Bagaimana? Sekarang sudah merasa lebih baik?" tanya Phoenix
"Tidak," kataku mengambang.
"Tidak apa?"
"Tidak terlalu sakit," kataku gusar.
Phoenix membereskan lagi peralatannya dan hendak pergi tapi kutahan lengannya, dia berhenti dan memandangku. "Ada apa?"
"Apa yang kau sembunyikan dariku?"
Phoenix tampak tidak ingin membahas apa-apa denganku. "Tidak ada," katanya.
"Itu bukan untuk kali pertama, iya kan?"
"Apa maksudmu?"
"Anak panah."
"Tidak, itu terjadi hanya hari ini."
"Hari lainnya atau berikutnya mungkin sesuatu yang lain?"
"Tidak."
"Phoenix!" Aku menggucang bahunya.
Phoenix mengibaskan lenganku. "Daru, kau kasar sekali."
"Maap, aku tidak bermaksud."
"Apa yang kau pikirkan? Kenapa kau mengira aku merahasiakan sesuatu darimu? Mengenai serangan itu aku tidak tahu apa-apa."
"Aku hanya menghawatirkanmu."
"Lalu selama ini kemana, tidak kah kau mengkawatirkanku? Dulu kau berjanji akan menjaga gilda bersamaku nyatanya kau pergi seperti orang yang tidak bertanggung jawab."
Aku tahu apapun yang akan kukatakan dia tidak mau tahu dan dia tidak ingin di debat. Pada akhirnya aku akan kalah melawannya jadi hanya sampai sana pembicaraan ini.
Semakin Phoenix bungkam, semakin aku yakin dia menyembunyikan sesuatu. Aku harus menyelidiki ini sendiri. Di mulai darimana? Aku tahu jawabannya, alasan kebakaran gilda Phoenix di masa lalu.
***
"Bagaimana rasanya?"
"Apa?"
Jendral Erlang memandangku geli.
"Dasar mesum," kataku.
Sialan, benar-benar memalukan.
"Tidak ada apa-apa diantara kami, keadaan malah lebih buruk."
"Pertengkaran dalam rumah tangga itu hal biasa."
"Rumah tangga siapa, kagak ada hubungannya." Aku menutup mataku frustasi. "Apa Phoenix pernah mengatakan sesuatu, aku yakin dia merahasiakan sesuatu dariku juga dari kau."
"Mengenai apa, tentang kau?"
"Tentu saja bukan. Penyusup, pengintai, peneror, apa hal seperti tadi pernah terjadi sebelumnya?"
"Jika benar seperti apa yang kau curigai, dialah pemenang orang yang bisa menyimpan rahasia bahkan dari dirinya sendiri."
"Kita harus selidiki ini bang, aku khawatir ini masalah yang jauh lebih serius dari yang kupikirkan."
"Jika kau berpikir begitu, aku yakin kau benar, instingmu yang sedari dulu mengerikan itu tak perlu diragukan."
"Apakah dia juga yang buat peraturan soal jam malam?"
"Tentu saja, siapa lagi?" jawab jendral Erlang. "Tapi menurutku itu masuk akal, belakangan sebelum diberlakukannya jam malam, beberapa anggota nyaris mengganggu tidur orang-orang."
Akhirnya kami sama-sama termenung.
Jendral Erlang menepuk bahuku. "Ada satu nasehat yang mungkin berguna untuk kau, meski ini sedikit tidak ada hubungannya dengan masalah itu. Kita pria tidak punya kata terlambat. Sebaiknya kau bilang sejujurnya padanya."
Perkataan Jendral Erlang memang terdengar tidak ada hubungannya dengan persoalan yang sedang kami bahas. Aku hendak mengatakan hal lain tapi Jendral Erlang keburu pergi sambil menepuk bahuku.
"Perasaanmu."
masih nyimak