Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata!
Bermaksud menolong seorang pria dari sebuah penjebakan, Hanna justru menjadi korban pelampiasan hingga membuahkan benih kehidupan baru dalam rahimnya.
Fitnah dan ancaman dari ibu dan kakak tirinya membuat Hanna memutuskan untuk pergi tanpa mengungkap keadaan dirinya yang tengah berbadan dua dan menyembunyikan fakta tentang anak kembarnya.
"Kenapa kau sembunyikan mereka dariku selama ini?" ~ Evan
"Kau tidak akan menginginkan seorang anak dari wanita murahan sepertiku, karena itulah aku menyembunyikan mereka." ~ Hanna
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 22
“Aaargh!” pekik Cleo menghempas benda-benda yang berada di atas meja nakas hingga pecahan kaca berhamburan di lantai. Tangannya bergerak menjambak rambutnya sendiri hingga sedikit berantakan. Juga matanya yang memerah hingga mengeluarkan cairan bening.
“Dasar wanita murahan! Aku pasti akan menghabisimu!” Teriakan, tangis dan tawa menyatu yang membuat Cleo tampak semakin berantakan. Berikut make up yang menghiasi wajahnya sudah luntur oleh air mata dan keringat.
“Ada apa, Cleo? Apa yang terjadi?” Ibu Flora memasuki ruangan itu setelah mendengar suara pecahan kaca dari luar. Wanita itu mendekat pada putrinya, menggeser beberapa pecahan kaca ke sudut ruangan dengan sepatunya. “Ada apa denganmu?”
"Rasanya aku akan gila, Bu."
Ibu Flora membawa Cleo untuk duduk di sofa agar putrinya itu menjadi lebih tenang. Namun Cleo masih tampak menggila. Ia meraih sebotol wine di atas meja dan menuang ke dalam gelas. Menghabiskannya dalam sekali tegukan saja.
“Rencanaku akan hancur. Aku benar-benar akan kehilangan Evan.”
“Apa maksudmu? Kenapa kau bilang rencanamu akan hancur?” tanya Ibu Flora bingung.
Cleo mengusap air mata, kemudian menuang minuman lagi hingga Ibu Flora harus merebutnya. Jika tidak, Cleo dapat menghabiskan malam dengan minum-minum hingga mabuk.
“Hanna, Bu. Dia kembali!”
Seketika wajah wanita paruh baya itu memucat mendengar nama anak tirinya disebut. Seluruh tubuhnya bahkan sampai gemetar. “Apa maksudmu Hanna kembali?Apa dia ada di Istanbul?”
“Tidak, Bu ... Dia di Amasya! Coba tebak, apa yang aku temukan tadi!”
“Apa yang kau temukan?” Mata Ibu Flora memicing, alisnya saling bertaut hingga membentuk busur panah, ditambah dengan kepanikan yang tergambar di wajah Cleo--yang semakin menambah rasa penasaran.
“Dia memiliki sepasang anak kembar.”
“Lalu kenapa kalau Hanna punya anak kembar? Bukankah itu bagus? Artinya dia sudah menikah, kan? Jadi dia tidak akan menjadi penghalangmu lagi.”
Cleo menjadi semakin menggila mendengar ucapan ibunya. Ia berdiri dan mengobrak-abrik benda apapun yang tersisa. Berteriak sekuat tenaga demi mengurai rasa frustrasi dan putus asa yang semakin membelenggunya. Ibu Flora bahkan harus memeluknya agar berhenti berteriak dan melempar benda yang berada di sekitarnya.
“Anak kembar itu anaknya Evan, Bu. Mereka memiliki wajah yang sangat mirip dengan Evan. Selain itu Evan juga memiliki gen kembar. Sudah pasti anak itu anaknya.”
Masih dalam keadaan belum percaya sepenuhnya, Ibu Flora menatap penuh keraguan kepada Cleo. “Apa kau yakin? Kau sedang tidak mabuk, kan?”
“Justru aku berharap sedang mabuk! Apa yang harus kulakukan sekarang? Kalau Evan tahu anak itu anaknya, dia pasti akan mengejar Hanna lagi dan lebih buruknya akan menikahinya.”
Ibu Flora lantas memeluk Cleo dan berusaha menenangkannya. Hingga beberapa saat kemudian melepas pelukan dan mengusap air mata yang mengalir di wajah Cleo.
“Aku sangat membenci Hanna, dia selalu saja menjadi penghalangku. Seharusnya kita membunuhnya saat itu juga. Seharusnya sejak awal aku menyadari kemungkinan ini. Padahal aku sudah melakukan segalanya. Aku mengatakan pada Evan semua yang buruk tentang Hanna. Bahkan sampai membayar seorang pria di klub malam untuk merayu Hanna dan membuat Evan marah. Aku sudah melakukan semuanya, tapi tetap saja gagal, Bu!" Ia mengusap wajahnya kasar. "Malam ini aku harus menyingkirkan Hanna dan kedua anaknya."
"Cobalah untuk tenang dulu, Cleo. Kita akan cari jalan keluar." Ibu Flora melirik beberapa koper yang sudah disiapkan sebelumnya. Rencananya sore ini mereka akan pindah dari hotel dan tinggal di rumah Evan. "Lebih baik sekarang kau bersiap-siap. Bukankah kita akan pindah ke rumah Evan?"
"Kata siapa?" Suara seorang pria membuat bola mata Cleo membelalak dan reflek menoleh ke sumber suara. Tampak Evan berada di ambang pintu bersama Osman dan beberapa pria lainnya. "Aku ingatkan, jangan pernah menginjakkan kakimu di rumahku. Karena Hanna dan anak-anakku akan kembali."
"E-Evan ..." Gugup, Cleo mengusap air mata, serta berusaha membenarkan penampilannya yang sangat berantakan.
Sedangkan Ibu Flora sudah tidak dapat berkata apapun lagi, menunduk malu bagaikan kedapatan melakukan sebuah dosa besar.
"Evan aku--"
"Aku sudah tahu semuanya. Bisa-bisanya kau lakukan ini pada adikmu sendiri." Evan menghunus tatapan tajam yang membuat Cleo merasa tubuhnya terbelah. Wanita itu menunduk. Lidahnya terasa kaku bahkan tak sanggup lagi mengucapkan sepatah kata pun.
"Ma-maafkan aku, Evan. A-ku hanya tidak mau kehilanganmu." Tangannya terulur demi meraih pergelangan tangan Evan, namun dua pria bertubuh besar tiba-tiba menghadang, hingga Cleo mundur beberapa langkah.
"Kau tidak perlu membuang waktu dan membela diri! Aku ingatkan, jangan pernah mengusik Hanna atau pun anak-anakku!"
Bagai Sambaran petir, tubuh Cleo bergetar hebat. Ini adalah pertama kali ia melihat tatapan membunuh itu.
"Osman, minta anak buahmu mengurus mereka malam ini juga. Satu hal lagi, pastikan mereka tidak bisa menjangkau Hanna atau pun anak-anakku sampai kapan pun! Kalau perlu kau buat penjagaan di rumah sakit."
"Baik, Tuan."
Evan kemudian beranjak pergi diikuti beberapa pria lain, sementara Osman memberi sebuah instruksi kepada beberapa anak buahnya. Cleo merinding penuh ketakutan memikirkan akan seperti apa nasibnya setelah ini. Ia tahu seberapa berbahayanya Osman dan anak buahnya.
"Nona Cleo dan Nyonya Flora ... Demi keselamatan Anda sendiri, silakan kemasi barang-barang kalian dan ikutlah dengan kami," ucap seorang pria tambun.
"Ka-kalian akan membawa kami kemana?" tanya Cleo terbata.
"Tenanglah, Nona ... Anda masih beruntung karena Tuan Azkara adalah seorang dokter. Jadi dia tidak akan memberi perintah untuk membunuh Anda."
Bukannya menjadi lebih tenang, ucapan pria itu malah membuat Cleo dan ibunya semakin ketakutan.
****