Nadia, seorang siswi yang kerap menjadi korban bullying, diam-diam menyimpan perasaan kepada Ketua OSIS (Ketos) yang merupakan kakak kelasnya. Namun, apakah perasaan Nadia akan terbalas? Apakah Ketos, sebagai sosok pemimpin dan panutan, akan menerima cinta dari adik kelasnya?
Di tengah keraguan, Nadia memberanikan diri menyatakan cintanya di depan banyak siswa, menggunakan mikrofon sekolah. Keberaniannya itu mengejutkan semua orang, termasuk Ketos sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Malam yang Berlalu.
Malam sudah berlalu, dan pagi yang baru tiba dengan harapan yang samar. Ibu Nadia mengantar Nadia ke sekolahnya dengan penuh perhatian. Sampai di sekolah, Nadia sudah dihadapkan dengan perundungan yang sangat kejam. Wajah Melodi dicoret oleh Cici menggunakan spidol berwarna. "Kamu sudah seperti gitar Indonesia, Melodi sayang," ucap Cici dengan senyum tipis penuh kebahagiaan.
Nadia heran mengapa dirinya tidak dirundung lagi, malah Melodi yang menjadi sasaran mereka. Dia yang tak tahan melihat kesedihan di mata Melodi, yang melebihi kesedihan waktu dirinya dirundung, langsung menghampiri Cici. "Sudah cukup, Ci. Semua yang kau lakukan itu hanya mempersulit dirimu. Apakah kau tidak bosan dengan kegilaan yang kau buat ini?" ujar Nadia dengan tegas.
Plak!
Suara tamparan yang begitu keras harus diterima oleh Nadia dari Cici. "Apakah kau tidak berterima kasih kepadaku? Saya tidak mengganggu mu lagi, tapi Melodi akan menjadi seperti mu," kata Cici dengan nada mengejek.
Plak!
Suara tamparan balasan dari Nadia. "Kamu pikir aku segila kamu, ingin berterima kasih dengan ulah psikopat sepertimu? Tidak akan, Cici," ucap Nadia dengan penuh keberanian.
Imel dan Dina melihat kemarahan yang begitu mendalam di hati Cici.
Plak!
Suara tamparan kembali datang, kali ini dari Melodi. "Ini untukmu, Cici," ucap Melodi dengan tegas.
Ketegangan di kelas itu sungguh sangat spontan. Siswa-siswi tak menyangka Melodi berani menampar Cici. Pak Arhan, seorang pengusaha dan donatur beasiswa, serta ayah Cici, tiba-tiba muncul di sekolah.
Ketegangan semakin besar. Seseorang turun dari mobil dengan pengawal di sampingnya dan ingin bertemu dengan Cici, yaitu Pak Arhan.
Pak Arhan langsung menemui kejadian itu. "Cici berbisik kepada ayahnya, 'Ayah, saya bisa mengatur ini semua,'" ucap Cici. Pak Arhan bukannya menghentikan perundungan, malah mendukung putrinya. "Lakukan apa yang kau mau, sayang, asal itu tidak merugikanmu."
"Diam semua!" ucap Dewi, ibu Nadia. Sontak semua tertuju kepada Dewi beserta kepala sekolah dan guru yang lain. "Arhan, seorang pengusaha muda, lama tidak bertemu." Arhan yang melihat kedatangan Dewi mulai takut tapi menyembunyikan rasa takut itu.
"Dewi, seorang pembantu di rumah saya, ternyata masih hidup di era modern ini," ucap Arhan dengan nada merendahkan. "Cukup, aku tidak ingin mendengar ucapan hinaan dari mu, Arhan."
"Putrimu yang kau banggakan, yang kau manjakan, dan yang kau pungut dari jalanan ternyata sudah besar, bukan?" ucap Dewi dengan berani dan percaya diri.
Semua siswa-siswi menoleh kepada Cici. Ia merasa malu akan latar belakangnya.
"Nadia, inilah kebenaran yang saya sembunyikan. Luka yang ditanam Arhan karena tidak mempunyai seorang putri kandung. Senang melihat putri yang dipungutnya itu merundung siswa-siswi," ucap Dewi.
Nadia sontak terkejut. Ternyata Cici adalah anak jalanan yang dipungut oleh Pak Arhan.
"Cukup, Dewi." "Cici, kita pulang," ujar Arhan dan dibalas Cici, "Iya, Ayah."
Sampai di rumah, Arhan menampar Cici.
Plak!
"Kamu boleh melakukan apa pun, sayang, tapi kau tahu selagi itu tidak merugikanmu. Sekarang kau telah merugikan diriku dan dirimu. Kau tahu apa yang harus kau lakukan sekarang." "Iya, Pah," ucap Cici dengan nada menyesal.
Nadia yang sudah sedikit mengerti akan hal ini, akhirnya pulang juga bersama ibunya setelah ketegangan yang begitu berat.
"Cici adalah gadis jalanan yang dipungut oleh Arhan karena dia merasa kasihan dengan Cici. Tapi ibu kurang tahu apa maksud Cici memperlakukan dirimu seperti itu selama ini," ucap Dewi. "Tidak apa-apa, Bu. Saya akan menikmati ini semua dan luka yang datang akan selalu aku balut. Aku akan menyelesaikan ini," jawab Nadia dengan tekad yang kuat.
Nadia pergi ke kamarnya dan berpikir panjang akan semua kejadian itu, tak lepas dari itu di juga berpikir kenapa ketua OSIS tidak pernah menampakkan dirinya lagi disekolah. "besok mungkin dia akan kembali"ucap nya sambil tidur .
semangat