Terpaksa menikah karena persoalan resleting yang tersangkut pada rambut seorang gadis bernama Laras ketika Polisi Intel itu sedang melaksanakan tugas mengejar pengedar narkoba. Polisi Intel itu menyembunyikan identitasnya dari sang Istri, ia mengaku sebagai seorang Ojol. Karena gagal menyelesaikan tugasnya. Aliando Putra Perdana hendak dipindah tugaskan ke Papua.
Tanpa Ali sadari, ia sengaja dikirim ke sana oleh sang Ayah demi menghindari fitnah kejam dari oknum polisi yang menyalahgunakan kekuasan. Ada mafia dalam institusi kepolisian. Ternyata, kasus narkoba berhubungan erat dengan perdagangan manusia yang dilakukan oleh oknum polisi di tempat Aliando bertugas.
Ingat! Bukan cerita komedi, bukan pula dark romance. Selamat menikmati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pilips, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketika Laras Jatuh Cinta
Mata lucu itu mengerjap barang beberapa detik ketika mendengar permintaan aneh dari suaminya.
“Laras, kamu mau, ‘kan?” tanya Aliando, kedua alisnya menyatu.
Prass yang berdiri menyender di samping mobilnya mengulum senyum, menunduk sambil melipatkan kedua tangannya ke dada. “Sejak kapan dia jadi ekspresif begitu?”
Para pengendara sepeda kampung durian runtuh menoleh sekilas ketika melihat calon anak kepala desa tengah bermesraan dengan pria yang baru saja diketahui beberapa hari yang lalu kalau dia adalah suami dari Laras.
“Ikut ke mana dulu, nih?” beo Laras melepaskan genggaman tangan pria itu, wajahnya merona malu.
“Ke Papua.”
“Apa?!”
Aliando mencoba menjelaskan namun bibirnya mengatup sempurna ketika ia hendak berkata yang sebenarnya. Terlalu dini untuk mengakui pada gadis itu kalau dirinya adalah seorang Intel.
Prass ikut nimbrung sekarang, ikut berdiri tegap di samping Laras. Gadis itu semakin kelihatan cebol berdiri di samping gapura kabupaten. Prasetyo, lulusan dari STIN (Sekolah tinggi intelijen negara) sama seperti Aliando Putra Perdana.
“Ekhmmm.” Deham Prass, melirik ke arah Al.
“Ada apa sih? Tiba-tiba banget mau ke Papua. Emang laku jadi ojol di sana?” Laras bertanya, bibirnya monyong.
Aliando segera menyergah ketika mulut Prass nampak ingin terbuka untuk bicara. “Oh, jelas laku dong.”
“Hah?”
Ekspresi Laras dan Prass sama-sama bengong. Mereka saling tukar pandangan kemudian teratawa meledek Aliando.
“Ngomong apa sih, lu?” tawa Prass memegangi perutnya.
Laras geleng-geleng. “Kelihatan bloon gini tapi aku tahu lah Mas Al kalo di sana gak laku gojek.”
“Kata siapa? Mari kita buktikan.” Aliando menantang keduanya dengan gaya tolak pinggangnya yang khas.
“Oke,” kata Prass.
“Biak, Sorong, dan Manokwari, semua butuh gojek, tuh!” seru Ali tak mau kalah.
“Lah …, bukannya lo bakalan jaga perbatasan?!” beo Prass ceplas-ceplos. Ia segera menutup mulutnya dan meurutuki diri dalam hati.
Aliando melotot kesal pada sahabatnya itu. Lantas, ia segera menjawab kebingungan yang tergambar pada wajahnya Laras.
“Saya jadi supir pribadi polisi di sana,” jawab Ali cepat.
“Eh?” beo Prass tak habis pikir dengan ide kawannya itu. Prass angguk-angguk. “Mantap bro.”
“Jadi gimana, Laras? Mau ikut, ‘kan?”
“Ada listrik gak di sana?” tanya Laras mencebik.
“Adalah, kamu main internet sampai puas juga bisa,” kata Ali meyakinkan.
“Jualan seblak ada?”
Nah, pertanyaan itu yang tidak bisa Aliando jawab. Ia menatap Prass namun pria plontos itu segera pergi menuju mobilnya. Tak mau ikut campur dalam skenario yang dibuat Aliando.
“Ada gak?” Laras menggoyangkan ujung kemeja Ali. “Kalo gak aku gabakalan ikut.”
Mulut Ali membola. Ia sugar rambut tebal sehatnya ke belakang. “Nanti aku yang buatkan.”
Bibir Laras mencebik, meledek. “Yakali, mana bisa bikin seblak, mau boongin Laras, ya?” Tunjuk gadis itu, jarinya begitu mungil sehingga timbul sebuah hasrat aneh yaitu, ingin menggigit jari istri tiba-tibanya itu.
“Semua hal bisa aku lakukan, Laras.”
“Yakin?”
Angguk Aliando mantap. “Heum, yakin.”
“Terus….”
“Apa lagi?” Kedua alis pria itu menukik naik.
“Sekali seminggu kamu harus ajak aku ke pantai!”
“Pffft.” Pras menutupi wajahnya. Senang rasanya melihat Ali untuk pertama kali diperlakukan seperti itu oleh wanita. Biasanya, Ali yang dikejar cegil dan sekarang, Ali lah yang harus full effort.
“Ok. Setuju!” seru Aliando menjentikkan jarinya.
Keduanya berjabat tangan tanda persetujuan telah terjadi. Daun kering nampak berterbangan dari tanah, pohon bergoyang saling menyapa satu sama lain. Dari sinilah awal antara Aliando dan Laras akan menjalin hubungan yang semakin dekat, dalam, dan penuh makna.
***
Setelah berusaha meyakinkan orang tua Laras jika Aliando akan menjaga Laras dengan baik dan penuh perhatian di Papua. Pak Kaget dan Bu Sabar mengizinkan anaknya untuk ikut bersama Ali. Alasannya juga karena Laras sedang hamil dan Aliando tak ingin jauh dari istrinya, prettt.
Ini adalah malam terakhir Laras bermalam di rumah orang tuanya. Gadis itu memasukkan perlengkapan yang ia butuhkan ke dalam koper. Ia nampak kebingungan, menimbang skincare apa yang akan ia bawa sebab Laras belum tahu seperti apa cuaca di sana, lingkungannya, pun dengan udaranya.
“Akan sepanas apa, ya? Banyak debu mungkin?” Laras meletakkan semua perintilan skincarenya di samping koper.
“Repot banget, heran.” Ali yang habis keramas mengelap rambutnya depan cermin. Sengaja sekali ia mengibaskan air rambutnya ke arah Laras.
Gadis mungil itu mendongak kesal. “Hiii, apa sih!”
Ali tersenyum, “apa? Aku lagi ngeringin rambut.”
“Bikin sebal aja, heran.” Laras kembali fokus pada skincarenya.
Aliando berjongkok, ikut mengamati. “Kalau bingung, jangan bawa apa-apa.”
“Enak aja, nanti muka aku jerawatan.”
“Nanti kita beli semuanya di sana. Tenang saja, aku yang akan penuhi semua kebutuhan kamu,” kata Ali sambil memperhatikan semua jenis barang dan botol kecantikan yang berserakan di sana.
“Jangan membual. Laras gak suka orang tukang boong.”
“Aku gak boong …, setiba di Papua, apa pun yang kamu butuhkan aku belikan.”
“Janji?” Kelingking gadis itu teracung tegak. Bibir mungilnya mencebik lucu.
Aliando segera menyatukan kelingking panjangnya. Secara autopilot, polisi intel itu mengusak puncak kepala istri mungilnya. “Makasih sudah percaya sama aku.”
Gadis itu jadi terpaku. Mulutnya mengatup, matanya fokus menatap bola mata Aliando. Ada semacam rasa aneh yang berdesir ketika pria itu balas menatapnya tanpa bergeming. Malahan, pria berkulit putih tersebut memberikan senyuman manis kepadanya.
Sial …, ganteng banget, gakuat!Laras menelan ludah, ia menunduk, salah tingkah, pada akhirnya ia meninggalkan barangnya di lantai kamar begitu saja. Belum selesai packing tapi ia memilih naik ke kasur dan membungkus badannya dengan selimut.
“Aneh banget,” gumam Ali.
Polisi intel tersebut menyampirkan handuknya ke bahu. Kemudian, ia memasukkan sisa baju Laras ke dalam koper. Sedangkan skincarenya ia sisihkan ke atas meja belajar Laras. Aliando mematikan lampu dan menyalakan lampu tidur remang.
Ia memandangi tubuh mungil yang tidak bergerak sejak tadi di atas kasur. Polisi intel itu mendekat, duduk di samping ranjang. Perlahan ia mendekat ke arah kepala Laras, ia berbisik. “Kalau kamu mau tritment di sana, kamu juga bisa, ‘kok. Silakan lakukan apa yang mau kamu lakukan selama di Papua asal gak buat jelek nama orang tuamu saja.”
Setelah mengatakan itu, Aliando berdiri. Kaki panjangnya melangkah keluar kamar dan menuju dapur.
Mertuanya sudah tidur sejak tadi. Hanya ada suara jangkrik yang menemaninya di dapur. Karena ia sudah berjanji pada Laras akan membuatkan seblak. Malam ini, ia akan mencobanya dengan sepenuh hati.
“Nah …, semua bahan sudah siap, sisa di eksekusi! Ayo Al! Kamu pasti bisa!” ucapnya menyemangati diri.
Sementara di dalam selimut, gadis itu mengigiti bibir bawahnya. Dadanya berdegup sangat kencang, irama itu tak biasanya terjadi. Selama 22 tahun berada di muka bumi, hanya ada dua orang lelaki yang menyebabkan jantungnya begitu aktif berdetak dengan irama tak masuk akal.
“Apa ini? Bukannya aku hanya jatuh cinta sama Kak Baskara?” Laras meletakkan telapak tangannya ke dada sambil memejamkan mata dengan erat.
Dia ingat betul, waktu itu seorang polisi tampan datang ke kampusnya. Pertemuan pertama Laras dan Baskara. Ketika pria itu bicara, pada pandangan pertama, Laras langsung jatuh cinta.
Ingatan itu terputar dengan jelas, bahkan, Laras ingat percakapan mereka sewaktu berada di taman kampus.
Flashback, tanggal 9 September 2022. Kampus terkenal, almamater kuning.
“Selama siang,” sapa pria bertubuh atletis itu sambil tersenyum ramah. Ia menyodorkan sebuah foto seorang pria. “Apa kamu pernah lihat orang ini di sekitar kampus kamu?”
Laras seolah terpaku ke inti bumi. Ia baru tersadarkan ketika pria itu menepuk bahunya pelan. “Kamu gak apa-apa, Dek?”
“Ah …,” Laras nampak gelagapan, “ti … tidak, kak.”
“Gak usah panggil, kak. Panggil aja, Bass …, Baskara.”
“Anda siapa, ya?” tanya Laras polos.
Pria tampan di hadapannya hanya mengenakan kemeja longgar dan celana kargo. Rambutnya sangat keren.
Baskara menjawab, senyumnya yang menawan berhasil mencuri hati si Mahasiswi, “saya polisi. Saya sedang mencari buronan di kampus kamu.”
Distulah awal pertemuan mereka berdua. Sampai saat ini pun Laras ingat semuanya. Senyumnya, namanya, bahkan aroma tubuh yang menguar dari si Halo Dek! Bahkan, Laras pun mengikuti sosial media milik Baskara.
Flashback off.
Laras bangun, sekarang ia tak bisa tidur. Ia teringat dengan Baskara. Gadis itu sama sekali tak berani mengirim pesan lewat sosial media Baskara. Ini biasa kita sebut, cinta dalam diam atau naksir dalam diam, hehe.
Gadis itu meraih ponselnya. “Apa aku harus mencoba?”
Laras menggeleng. “Aduh, tapi sekarang aku sudah punya suami.”
Gadis itu menggaruk kepalanya frustasi. “Tapi Mas Al ‘kan gak cinta sama aku. Dia cuma terpaksa nikahin aku.
“Laras ….” Kembali ia memegang dadanya. “Laras takut cinta sendirian, Laras takut dibaperin doang,” ucapnya lirih.