NovelToon NovelToon
Satria Lapangan

Satria Lapangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: renl

Sinopsis Satria Lapangan
Pahlawan Lapangan adalah kisah tentang perjalanan Bagas, seorang remaja yang penuh semangat dan berbakat dalam basket, menuju mimpi besar untuk membawa timnya dari SMA Pelita Bangsa ke Proliga tingkat SMA. Dengan dukungan teman-temannya yang setia, termasuk April, Rendi, dan Cila, Bagas harus menghadapi persaingan sengit, baik dari dalam tim maupun dari tim-tim lawan yang tak kalah hebat. Selain menghadapi tekanan dari kompetisi yang semakin ketat, Bagas juga mulai menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Stela, seorang siswi cerdas yang mendukungnya secara emosional.

Namun, perjuangan Bagas tidak mudah. Ketika berbagai konflik muncul di lapangan, ego antar pemain seringkali mengancam keharmonisan tim. Bagas harus berjuang untuk mengatasi ketidakpastian dalam dirinya, mengelola perasaan cemas, dan menemukan kembali semangat juangnya, sembari menjaga kesetiaan dan persahabatan di antara para anggota tim. Dengan persiapan yang matang dan strategi yang tajam,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon renl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 5

bab 5 rival abadi.

Bagas dan Raja berdiri berhadapan di lapangan basket yang remang-remang, dikelilingi tumpukan mobil rongsokan dan sepi malam yang menambah ketegangan. Suasana begitu sunyi, hanya terdengar suara angin yang berhembus lembut, seolah menyaksikan duel yang akan segera dimulai.

Bagas menatap Raja, sorot mata mereka bertemu. Raja, dengan matanya yang tajam, menatap balik Bagas tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Raja, hanya ekspresi serius yang menunjukkan bahwa ini bukan hanya sekadar permainan. Bagas merasakan ketegangan yang menyelimuti dirinya.

“Apa kamu sudah siap, Bagas?” isyarat tangan Raja bergerak cepat, memberi tanda dimulainya pertarungan ini.

Bagas menghela napas panjang, menenangkan dirinya. Ia mengangguk pelan, menguatkan tekadnya. Dalam hati, ia tahu ini bukan hanya soal menang atau kalah. Ini adalah soal siapa yang lebih siap menghadapi tantangan, siapa yang lebih kuat mengatasi tekanan.

Raja pun melemparkan bola ke arah papan pantul, dan bola itu langsung melambung tinggi, menuju ring. Bagas tanpa ragu melompat untuk merebut bola, namun Raja juga bergerak cepat, mengikuti setiap gerakan Bagas dengan ketepatan yang sempurna.

Keduanya berada di udara, memperebutkan bola yang melambung. Bagas meraih sisi kanan bola, sementara Raja menguasai sisi kiri. Mereka saling mendorong, berusaha merebut bola satu sama lain. Tenaga mereka bergulat di udara, adu fisik yang penuh dengan ketegangan.

Namun, dalam upaya untuk merebut bola, Bagas terlalu kuat mendorongnya. Tanpa sengaja, ia mendorong Raja hingga terlempar dan terjatuh ke tanah, menabrak rangka besi mobil yang bertumpuk di samping lapangan. Dada kanan Raja terbentur keras, membuatnya terjatuh dengan suara keras yang memecah keheningan malam.

Masker yang selama ini menutupi wajah Raja terlepas, menggantung di bagian telinga sebelah kanan. Raja cepat-cepat menutupi wajahnya lagi, seolah ingin menjaga identitasnya tetap misterius. Ia segera mengenakan kembali masker itu dan, dalam gerakan cepat, melompat menuju tumpukan mobil dan menghilang begitu saja, meninggalkan Bagas di tengah kebingungannya.

Bagas berdiri terpaku, matanya mengikuti kepergian Raja. "Hey, Raja! Mau ke mana dirimu? Bagaimana dengan bahumu? Tidak apa-apa?" teriak Bagas, berusaha memastikan kondisi sahabat misteriusnya. Tapi Raja sudah terlalu cepat, menghilang di kegelapan malam.

Bagas berdiri diam beberapa saat, merenungi kejadian itu. Ia tahu, bahwa meskipun mereka sering bertarung di lapangan basket, ada banyak hal yang belum ia pahami tentang Raja. Kehilangan sosok misterius ini membuatnya merasa sedikit hampa.

Dengan berat hati, Bagas menghela napas panjang, kemudian memungut tas yang tadi ia bawa ke sekolah. Ia berjalan menuju motornya, menghidupkan mesin motor sport hijau kesayangannya. Meskipun ia menunggu beberapa menit, Raja tak kunjung muncul kembali. Hanya suara angin yang terdengar di malam yang sunyi itu.

Akhirnya, dengan perasaan yang tak terungkapkan, Bagas memutuskan untuk pergi. Ia berdiri di atas motornya, menunggu sedikit lebih lama, namun tak ada tanda-tanda Raja akan kembali. Dengan hati yang berat, Bagas menghidupkan motornya dan meninggalkan tempat itu, merasakan kesepian yang aneh menyelimuti dirinya.

Hari ini, lebih dari sekadar pertandingan, lebih dari sekadar persahabatan. Mungkin, ada banyak hal yang tak akan pernah Bagas ketahui tentang Raja. Dan mungkin, itu yang membuat pertemuan mereka selalu terasa begitu misterius.

Bagas memacu motor sport hijaunya dengan kecepatan penuh, menikmati hembusan angin malam yang menemani perjalanan pulangnya. Setelah sekitar 30 menit, ia tiba di rumahnya yang megah. Dengan gesit, ia memarkirkan motor ke dalam garasi, lalu masuk ke dalam rumah sambil menyandang tas di bahunya. Tanpa membuang waktu, ia langsung merebahkan tubuhnya di sofa empuk ruang tamu. Kelelahan membuat matanya terpejam dalam sekejap.

Samar-samar, Bagas merasakan sentuhan lembut di kakinya. Perlahan, ia membuka matanya dan terkejut melihat Ara tengah berusaha melepaskan sepatu dari kakinya.

"Ara!" teriak Bagas, spontan memeluk gadis itu dengan erat.

Ara yang kaget langsung mendorong Bagas kembali ke sofa. "Kita bukan muhrim, Bagas," ucap Ara dengan nada tegas namun wajahnya memerah karena malu.

Bagas tersipu dan tersenyum canggung. "Maaf, Ra. Aku nggak nyangka kamu di sini."

"Abis, kamu masuk nggak kasih salam atau apa, tiba-tiba rebahan begitu saja," jawab Ara lembut sambil melepas sepatu Bagas.

"Kapan kamu datang?" tanya Bagas dengan nada penasaran.

"Tadi siang," jawab Ara sambil menatap Bagas. "Lepas itu sepatu, atau aku laporin ke Ibu, ya?" ancamnya sambil melirik nakal.

Bagas tertawa kecil. "Dih, ngancem! Bilang aja deh, Mama mah nggak bakalan marahin anak semata wayangnya. Bleeeek!" ejek Bagas sambil menarik kantong mata bawahnya dan menjulurkan lidah ke arah Ara.

Ara mendengus kesal. Tanpa pikir panjang, ia mengambil bantal dan memukul Bagas beberapa kali. "Rasain ini, Bagas!"

Bagas tertawa sambil menghindar. Ia melompat dari sofa dan berlari mengelilingi ruang tamu. Ara mengejar sambil tertawa, tak mau kalah.

Ara Anggraini, remaja seumuran Bagas, adalah teman masa kecilnya. Meskipun mereka bukan saudara kandung, hubungan mereka begitu erat. Ara adalah anak Mang Dadang dan Bu Asih, yang bekerja di rumah Bagas sebagai tukang kebun dan asisten rumah tangga. Keluarga Bagas begitu sayang pada Ara, menganggapnya seperti anak sendiri. Semua fasilitas, dari sekolah hingga kebutuhan hidup, disediakan oleh keluarga Bagas. Namun, Ara tinggal di Bandung untuk merawat neneknya yang sering sakit-sakitan.

Perkelahian kecil mereka berlanjut, suara tawa mereka mengisi ruang tamu yang hangat, menggantikan keheningan malam yang sebelumnya.

Mereka pun duduk berdekatan, sesekali saling melirik sambil tertawa kecil. Ketenangan itu tiba-tiba terputus oleh suara dehaman yang familiar.

“Ehem!”

Bagas dan Ara segera menoleh ke arah suara. "Eh, Bik Asih," kata Bagas saat melihat ibu Ara berdiri di depan mereka sambil membawa nampan berisi minuman.

"Ini minumnya, Den," ujar Bik Asih sambil menyuguhkan minuman dengan sopan. Ia berlutut sedikit sebagai bentuk penghormatan kepada Bagas, sang tuan muda. Namun, sebelum bangkit, Bik Asih mencubit lembut perut Ara. "Kamu itu harus lebih sopan, Ara. Den Bagas itu majikan kita," nasihatnya dengan senyum namun nada tegas.

Bagas cepat-cepat menyela, "Ah, nggak apa-apa, Bik. Kita udah biasa kayak gini, ya kan, Ra?" ucapnya sambil tersenyum ke arah Ara, mencoba meredakan ketegangan.

Ara hanya tersenyum tipis, matanya sedikit meredup mendengar ucapan ibunya tadi. Tanpa banyak kata, ia mulai merapikan bantal dan sofa yang sempat berantakan akibat kejar-kejaran kecil mereka tadi. Sesekali, ia membetulkan hijab merah muda yang sedikit pudar di kepalanya.

“Neng, habis beresin sofa, bantuin Ibu di dapur, ya,” ujar Bik Asih dengan lembut namun penuh makna. Ara mengangguk pelan, pandangannya tertunduk. “Iya, Buk,” jawabnya lembut.

Bagas memperhatikan interaksi itu dengan pandangan sedikit khawatir. Ia paham bagaimana Ara selalu merasa harus berperan ganda—menjadi teman dekatnya sekaligus anak yang patuh pada orang tuanya.

Bik Asih berjalan menuju dapur sambil sesekali menoleh ke ruang tamu, memastikan bahwa Bagas dan Ara tetap dalam pandangannya. Melihat keduanya tertawa dan saling mengolok, senyum kecil terlukis di wajahnya.

“Biar saja, Bik. Mereka melepas rindu. Sejak kecil, mereka sudah dekat, jadi wajar kalau sekarang mereka bercanda seperti itu,” tutur suara lembut yang tiba-tiba terdengar di belakangnya. Bik Asih terlonjak kaget, berbalik cepat, dan melihat Nyonya Wijaya, ibu Bagas, tersenyum lembut.

“Ehh, Nyonya! Kaget saya,” ujar Bik Asih sambil menepuk dadanya pelan.

Nyonya Wijaya meletakkan tangannya di lengan Bik Asih. “Kalian memang bekerja di sini, tapi kami tidak pernah menganggap kalian orang lain. Kita tidak memandang kasta. Kamu dan keluargamu selalu kami anggap setara,” ucapnya tulus.

Ara tiba-tiba muncul di ambang pintu dapur. “Eh, Buk,” katanya sambil menyalami tangan Nyonya Wijaya dengan hormat. “Ara kapan datang? Kok tidak ketemu Ibu di kamar?” tanya Nyonya Wijaya sambil membelai lembut kepala Ara.

“Maaf, Buk, tadi bantuin Ibu beberes dulu,” jawab Ara sambil tersenyum.

Nyonya Wijaya mengangguk, “Tidak apa-apa, biarkan Ibumu yang urus itu. Sekarang, ayo ikut Tante ke kamar. Kita cerita-cerita, ya,” katanya, memeluk Ara dengan hangat dan mengecup keningnya. Sesekali, ia mengusap kepala Ara seperti seorang ibu yang penuh kasih sayang.

Di dalam hati, Nyonya Wijaya merasa berutang budi yang sangat besar kepada keluarga Ara. Dulu, saat mengandung Bagas, ia sering sakit-sakitan. Semua dokter dan bidan ternama tidak mampu menemukan penyebabnya, dan tidak ada obat yang berhasil. Hanya pengobatan tradisional dari nenek Ara yang berhasil menyelamatkannya. Bahkan setelah Bagas lahir, ASI-nya tidak keluar meskipun berbagai cara sudah dilakukan. Ibu Ara akhirnya menjadi sosok yang menyusui Bagas hingga sehat. Hal itu membuat Nyonya Wijaya selalu menganggap Ara dan keluarganya sebagai bagian dari keluarganya sendiri, tanpa memandang status atau perbedaan.

1
Aimee
Baca ini karena lihat cover sama sinopsisnya, eh mau lanjut... sesimple itu
Dragon 2345: makasih kakak Uda mampir,
total 1 replies
Cute/Mm
Keren abis nih karya, besok balik lagi baca baruannya!
Dragon 2345: aman kak makasih dah mampir, tmbah semangat aq buat up makasih sekali lagi support nya
total 1 replies
Celeste Banegas
Tersentuh banget dengan kisah ini.
Dragon 2345: makasih kakak sudah mampir,
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!