Embun tak pernah menyangka bahwa kejutan makan malam romantis yang dipersembahkan oleh sang suami di malam pertama pernikahan, akan menjadi kejutan paling menyakitkan sepanjang hidupnya.
Di restoran mewah nan romantis itu, Aby mengutarakan keinginannya untuk bercerai sekaligus mengenalkan kekasih lamanya.
"Aku terpaksa menerima permintaan ayah menggantikan Kak Galang menikahi kamu demi menjaga nama baik keluarga." -Aby
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 : Salah Atau Benar?
"Kamu apa-apaan sih, Aby?" tanya Vania kesal sebab Aby tiba-tiba melepas genggamannya.
"Van!" Aby memperingatkan, karena di antara mereka ada Dewa yang sedang menatap penuh curiga.
Aby tidak ingin orang lain mengetahui permasalahan mereka. Terutama karena Dewa merupakan rekan sekaligus saingannya di kantor.
Ia mendekati Embun yang masih duduk, lalu melayangkan tatapan tak suka ke arah Dewa. Tangannya terulur meraih pergelangan tangan sang istri dan menariknya berdiri. "Kamu ngapain di sini? Kan tadi aku bilang tunggu di dalam."
"Untuk apa?" balas Embun. "Untuk mendengar kamu bilang ke pacar kamu bahwa kamu akan menceraikan aku setelah enam bulan?"
Bukan hanya Aby yang terkejut mendengar sindiran Embun. Dewa pun sama terkejutnya. Embun yang semula ingin menyembunyikan masalah rumah tangganya, kehilangan kendali melihat betapa mesranya Vania merangkul mesra suaminya.
"Lebih baik kita pulang sekarang."
Tanpa memerdulikan tatapan Dewa, Aby menarik Embun meninggalkan taman. Membuat Vania harus menahan rasa kesal dan cemburu karena merasa Aby mengabaikan dirinya. Wanita itu berjalan di belakang dengan bibir mengerucut.
Tak tahan dengan sikap Aby, Vania mempercepat langkahnya dan menghempas tangan Aby hingga genggamannya terlepas dari Embun.
"Kamu apa-apaan sih?"
Aby melirik Vania. "Van, kamu nggak lihat tadi ada Dewa di taman? Seharusnya kamu bisa menahan diri!"
"Aku nggak peduli sama dia," pekik Vania dengan kemarahan berapi-api.
Melihat pertengkaran pasangan kekasih itu, Embun memilih sedikit menjauh dari dan menunggu di dekat mobil. Aby sedang berusaha membujuk Vania yang merajuk.
"Jangan seperti anak kecil, Van! Kamu itu sudah dewasa," ujar Aby yang mulai tampak lelah.
"Bagaimana aku nggak kesal kalau kamu cuekin aku dan malah menggandeng Embun! Aku merasa kamu nggak menghargai aku."
Aby menghembuskan napas panjang, mulai terlihat kehilangan kesabaran. "Vania, please! Ini sudah malam, aku antar kamu pulang dulu! Kita bisa bicara lagi besok, aku capek hari ini."
Vania mendengkus kesal, namun tetap menuruti ucapan Aby. Ia masih memiliki rasa takut jika saja Aby marah terhadapnya.
Setibanya di mobil, Aby membukakan pintu mobil bagian depan untuk Embun, namun dengan cepat Vania melayangkan protes.
"Aku mau duduk di depan!" ujarnya cepat.
Sekilas Aby melirik Embun, namun istrinya itu diam tanpa ekspresi.
"Embun, kamu duduk di depan," pinta Aby.
Vania yang tak terima mendorong dada Aby dengan kasar. "Kamu apa-apaan sih? Kalau dia duduk di depan lebih baik aku pulang naik taksi!"
"Terserah kamu, Van!" jawab Aby.
Tak tahan dengan pertengkaran pasangan kekasih itu, Embun memilih mengalah. Aby pun mempersilahkan Vania untuk duduk di depan. Membuat wanita itu menarik senyum penuh kemenangan.
Mobil perlahan melaju menerobos padatnya jalanan malam itu. Sepanjang jalan menuju pulang, Embun diam seribu bahasa. Ia harus menjadi saksi kemesraan suaminya dengan wanita lain.
Vania tak henti-hentinya bergelayut manja di lengan Aby, merayu dengan manja seolah ingin menunjukkan bahwa dirinyalah yang berkuasa atas laki-laki itu.
Sementara Aby terus berusaha menghindar. Namun, Vania yang agresif membuatnya tak berkutik.
"Sayang, besok pagi kamu jemput aku, ya," pintanya sambil bersandar di lengan Aby.
"Hem ...."
"Makasih, Aby."
Vania hendak membenamkan bibirnya di pipi kiri Aby, namun laki-laki itu dengan cepat menghindar. Lalu, melirik ke belakang melalui spion. Embun tampak membuang pandangan ke sisi kanan jalan.
"Van, jangan begitu," ucap Aby seraya mendorong Vania agar menjauh.
"Iya iya!" Vania menolehkan kepala ke belakang dengan memamerkan senyum. "Kamu jangan kaget ya, Embun. Aku memang biasa manja seperti ini kalau sama Aby."
Embun yang enggan menatap wanita di hadapannya hanya menghela napas panjang dengan pandangan masih mengarah ke sisi jalan.
"Nggak kok. Aku lebih kaget dengan kejutan manis dari suami aku di restoran tadi."
Ucapan santai bermuatan sindiran itu membuat Aby tersentil. Ia kembali melirik spion. Dinginnya sikap Embun membuatnya merinding.
Namun, Vania seolah ingin kalah dari Embun. "Aku juga harus minta maaf, karena Aby mau menceraikan kamu demi aku."
"Kenapa harus minta maaf? Apa kamu merasa berdosa karena sudah membuat seorang suami berjanji untuk menceraikan istri sah-nya?"
Vania mulai gusar. Ia melirik Aby seolah meminta bantuan. Namun, Aby memilih diam. Ucapan Embun barusan berhasil membungkamnya.
"Bukan begitu," jawab Vania cepat. "Aku cuma nggak enak sama kamu. Aku juga masih punya harga diri, tapi kesannya aku yang jadi orang ketiga di antara kalian. Padahal kan kamu yang jadi orang ke tiga di antara kami."
Sudut bibir Embun terangkat tipis. "Jadi menurut kamu, wanita yang menjadi orang ketiga di antara pasangan suami istri itu masih punya harga diri?"
Napas Vania menjadi lebih cepat. Ia bersandar dengan raut muka kesal setelah mendengar kalimat sindiran Embun yang membungkamnya dengan telak. Lebih kesal lagi karena laki-laki di sebelahnya diam saja dan sama sekali tak membela. Membuat Vania semakin kehilangan harga diri di depan Embun.
Awas aja kamu, aku benar-benar akan membuat Aby menceraikan kamu sebelum enam bulan.
.
.
.
Kurang dari tiga puluh menit, mereka telah tiba di depan rumah Vania. Rumah yang dari depan tampak mewah itu terlihat sangat sunyi. Hanya beberapa lampu yang menyala. Selama ini, Vania hanya tinggal dengan dua asisten rumah tangganya. Kedua orang tuanya menetap di luar kota karena urusan bisnis.
"Makasih, Sayang." Gerakan Vania yang super cepat dan tak terduga membuat Aby tak sempat menghindar, sehingga ciuman mendarat di pipi.
"Apaan sih kamu, Van!"
Pria itu hanya dapat mengusap pipi sambil melirik ke belakang melalui spion. Embun masih duduk dengan santai sambil memainkan ponsel. Sama sekali tak terpengaruh dengan tontonan di hadapannya.
"Kamu yang apaan, aku kan udah biasa kayak gini. Oh ya, nanti kalau kamu sampai rumah telepon aku," pintanya manja.
Aby hanya menjawab dengan berdehem. Apa yang dilakukan Vania barusan membuatnya tidak enak dengan Embun. Menegur Vania pun rasanya percuma, karena wanita itu pasti akan semakin menjadi.
"Aku masuk, ya. Kamu hati-hati di jalan," ucapnya kepada Aby, lalu melirik Embun. "Sampai jumpa, Embun. Makasih ya, atas pengertian kamu."
Embun tak menjawab, sehingga Vania segera turun dari mobil. Setelah memastikan Vania telah memasuki rumah, Aby melirik istrinya.
"Embun, pindah ke depan, ya," pintanya.
Sejenak Embun melirik Aby, sebelum akhirnya kembali terfokus pada ponselnya dengan sikap acuh tak acuh.
"Kenapa harus pindah ke depan? Aku sudah nyaman duduk hanya dengan liatin punggung kamu seperti di restoran tadi."
Sindiran halus nan menusuk dari Embun membuat Abi mengelus dada.
Galak amat ini cewek.
...........
benar knp hrs nunggu 6 bln klo hrs cerai lebih baik skrng sama saja mlh buang2 wkt dan energi, bersyukur Embun ga oon🤭