Narendra sang pengusaha sukses terjebak dalam situasi yang mengharuskan dirinya untuk bertanggung jawab untuk menikahi Arania, putri dari korban yang ia tabrak hingga akhirnya meninggal. Karena rasa bersalahnya kepada Ayah Arania akhirnya Rendra bersedia menikahinya sesuai wasiat Ayah Arania sebelum meninggal. Akan tetapi kini dilema membayangi hidupnya karena sebenarnya statusnya telah menikah dengan Gladis. Maka dari itu Rendra menikahi Arania secara siri.
Akankah kehidupan pernikahan mereka akan bahagia? Mari kita ikuti ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rose Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Madu Muda
Deg...
Deg...
Deg...
"A-nak? Dariku?" Ucapnya bergetar merasa tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari suaminya.
Rendra dengan mata yang berkaca-kaca menganggukkan kepalanya dengan seulas senyuman hangat di wajahnya.
Permintaan itu sungguh membuat hati Arania semakin bergemuruh. Dibenaknya berpikir 'Bagaimana mungkin pria gagah dan terhormat ini ingin memiliki keturunan dari dirinya? Gadis desa yang miskin ini? Gadis yang naif dan tak berpengetahuan luas sepertinya.' Bahkan pernikahan inipun tidak pernah pria itu harapkan. Tapi mengapa? Rendra malah meminta seorang anak dari Arania?
Rendra meraih jemari mungil Arania. "Jika kamu memberikan saya seorang anak, maka saya akan memberikan apapun keinginan mu. Kamu ingin kekayaan, bisnis, atau apapun itu." Rendra meyakinkan Arania agar menyetujui permintaannya.
"Tidak." Ucap Arania lirih.
Ia tak percaya Rendra akan memberikan segalanya demi mendapatkan seorang anak darinya. Padahal itu tak selayaknya terucap dari bibirnya karena hadirnya seorang anak adalah sebuah rizki yang di anugerahkan kepada pasangan suami-istri dari buah cinta mereka. Hal itu sama saja Rendra seolah ingin membeli darah dagingnya sendiri dari orang lain bukan? Padahal Arania juga istrinya walaupun hanya sekedar istri siri, namun keberadaannya telah dianggap sah dan halal dalam agama yang mereka anut.
Rendra yang mendengar penolakan dari gadis cantik ini, hatinya seketika terasa hancur. Ia bagai tercampakkan berulang kali sebagai suami, yang pertama dari istri pertamanya dan sekarang dari istri sirinya. Mata elang yang tadinya berbinar seolah meredup sendu.
Tak ingin berlarut dalam kesedihan Rendra kemudian bangkit dan berdiri bersiap untuk melangkahkan kaki untuk meninggalkan tempat itu, "Sudahlah. Ayo kita lanjutkan perjalanan." Terdengar kekecewaan dari nada bicara pria ini sekarang.
"Tidak perlu memberiku imbalan apapun untuk mendapatkan seorang anak dari istrimu ini, Tuan." Jelas Arania yang masih duduk dengan wajah yang tertunduk.
Rendra yang tadinya akan melangkah meninggalkan tempat itu terhenyak, dia menoleh ke arah Arania dengan seluruh harapannya yang kembali hadir dalam hati nya.
'istri' katanya? Ya, memang gadis yang ada di hadapannya ini adalah istrinya. Istri sirinya. Ia hampir saja melupakannya. Arania mengingatkannya serta mengakuinya.
'Ya benar aku suaminya. Aku berhak padanya.'
"Arania, jadi... Kamu bersedia?" Ucap Rendra dengan binar matanya yang menyala.
Arania menganggukkan kepalanya, "Tentu, Tuan. Aku istrimu. Jika Allah menghendaki aku akan memberikan keturunan untuk Anda."
Rendra merengkuh tubuh mungil itu, didekapnya kemudian dikecupnya kepala gadis itu yang berbalut hijab. "Terimakasih, Arania." Ujar Rendra penuh haru.
Nyatanya semenjak Rendra menyentuh gadis itu saat gadis itu sedang terpuruk dalam kedukaan kehilangan satu-satunya orang tuanya, ada hasrat yang tiba-tiba muncul di dalam dirinya. Walaupun pernikahan itu tanpa dasar cinta namun tak menampik seorang Rendra yang notabene adalah seorang pria normal yang tampan dan gagah memiliki hasrat seksualitas yang tinggi. Di sisi kelelakinnyapun terdapat ketertarikan pada lawan jenis yang menggebu. Akan tetapi karena ia sedikit mengerti mengenai agama yang di anut nya, Rendra meredam segala gejolak liarnya itu dari wanita-wanita lain yang sering menggoda nya. Namun saat ini, ada gadis ini, wanita yang telah halal untuk dia sentuh. Maka dari itu Rendra tak akan menyia-nyiakannya untuk nemenuhi kebutuhan biologisnya yang terasa kering kerontang karena jarangnya ia menyirami tanamannya dan menanaminya dengan benih-benih unggul miliknya. Karena Gladys terlalu sering menolaknya berhubungan badan dengan alasan capek dengan kesibukannya sebagai publik figur.
Mereka kemudian kembali meneruskan perjalanan mereka. Hingga fajarpun telah menyingsing kembali mereka menepikan kendaraan untuk mencari masjid untuk melakukan shalat subuh. Setelah itu kembali lagi melanjutkan perjalanan hingga kini matahari pagi terasa hangat menyinari tubuh mereka.
Sebuah pintu gerbang yang menjulang tinggi terbuka dengan sendirinya saat mobil mewah itu memasuki rumah megah bagai istana dalam dongeng. Mobil pun terparkir di halaman nan luas penuh tanaman dan bunga-bunga di sekitarnya.
"Kita sudah sampai di rumah, Arania." Ucap Rendra pada gadis yang tak lagi mengantuk setelah subuh tadi.
"Ini, rumah mu, Tuan. Wah.. Besar sekali." Ujarnya lugu.
Rendra tersenyum. "Ini rumah kita. Kita akan tinggal bersama di sini, bersama Gladys." Ujar lembut pria bertubuh kokoh itu.
Rendra terus memperhatikan wajah yang masih terpukau oleh keindahan pemandangan yang dilihatnya. Wajahnya polos dan lugu itu benar-benar terlihat sangat-sangat cantik bahkan dalam kondisi lusuh bangun tidur saat ini. Namun tak mengurangi keindahan paras ayu istri sirinya itu.
"Kita keluar!" Lirih Rendra kemudian mereka keluar dari dalam mobil.
Lagi-lagi Arania terperangah dengan kemegahan bangunan rumah besar itu.
"Ayo kita masuk." Ucap Rendra yang telah membawa tas besar milik Arania yang tadi diambilnya dari bagasi mobil.
"Tasnya biar aku yang bawa, Tuan." Ucap Arania.
"Sudahlah, biar saya saja. Ayo!" Rendra mengajak Arania masuk ke dalam rumahnya.
Saat berada di ruang tamu terlihat Gladys yang telah terlihat rapih dengan pakaian kasualnya serta menyandang tas di bahunya, sedang menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa.
"Mas Rendra.. Sayang.. Kau sudah pulang." Ujar Gladys sedikit berteriak.
Rendra yang membawa tas besar milik Arania refleks meletakkannya begitu saja di lantai, kemudian tergesa menghampiri Gladys-istri pertamanya di bawah anak tangga, dan...
Happ...
Rendra menangkap tubuh ramping Gladis yang meloncat padanya. Mereka berpelukan erat seolah telah lama tak berjumpa. Tak hanya itu bahkan mereka berciuman dengan panas saat itu juga, seolah mengabaikan orang-orang yang berada di sekitarnya.
Arania yang menyaksikan hal itu hanya bisa tertegun kemudian tertunduk. Ia merasa kikuk dengan keromantisan yang diperlihatkan oleh mereka. Mereka memang pasangan yang serasi. Gladys adalah wanita cantik, bertubuh semampai serta berpenampilan modern. Pantas bila mereka mereka disandingkan sebagai suami istri dibanding dengan dirinya. Ada rasa rendah yang menyelimuti hatinya saat ini.
"Itu siapa, Mas?" Tanya Gladys saat baru menyadari jika Rendra tak datang sendiri.
"Ekhemm.." Rendra berdehaam. "Dia anak salah satu buruh di perkebunan teh. Dia baru saja lulus SMA dan ingin mencari pekerjaan. Kemudian aku ingat kalau Nina sudah berhenti bekerja dari sini kemarin. Makanya aku menawarinya pekerjaan untuk menggantikan Nina." Ujar Rendra berusaha berbicara dengan wajar.
Gladys manggut-manggut dan mendekat ke arah Arania. Ia memperhatikan Arania dari atas hingga ke bawah.
"Siapa namamu?" Tanya Gladys.
"Arania Febriana, Nyonya." Ucapnya sambil membungkukkan sedikit badannya.
"Kamu bisa memasak, mencuci, beres-beres atau bersih-bersih?"
"Insyaallah, bisa, Nyah."
"Oke, cukup hanya itu saja yang saya tanyakan. Mulai sekarang, kamu saya terima bekerja di sini. Bekerjalah yang baik dan penuh rasa tanggung jawab." Ucap Gladys datar.
"Terimakasih, Nyonya Gladys. Saya akan bekerja dengan baik dan giat." Ujar Arania.
"Bik Erna!" Panggil Gladys yang melihat wanita paruh baya itu sedang melintas di ruang tamu.
Bik Erna datang mendekat, "Saya, Nyonya."
"Ada teman baru buat Bibi. Dia akan membantu pekerjaan mu untuk menggantikan posisi Nina. Sekarang ajak dia ke kamarnya di belakang."
"Baik, Nyonya. Mari..."
Bik Ernapun mengajak Arania menuju belakang rumah itu.
"Bik, biarkan hari ini Arania beristirahat dulu. Pasti dia capek. Arania bisa mulai bekerja besok saja." Ucap Rendra dengan lantang kala mereka sudah sedikit menjauh.
"Mas..." Ucap Gladys bergelayut manja pada Rendra.
"Tak perlu memanjakan pembantu." Ujar Gladys.
'Dia bukan pembantu tapi madumu, Gladys,' ujar Rendra dalam hatinya.
***