Rania, seorang barista pecicilan dengan ambisi membuka kafe sendiri, bertemu dengan Bintang, seorang penulis sinis yang selalu nongkrong di kafenya untuk “mencari inspirasi.” Awalnya, mereka sering cekcok karena selera kopi yang beda tipis dengan perang dingin. Tapi, di balik candaan dan sarkasme, perlahan muncul benih-benih perasaan yang tak terduga. Dengan bumbu humor sehari-hari dan obrolan absurd, kisah mereka berkembang menjadi petualangan cinta yang manis dan kocak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zylan Rahrezi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Konspirasi Kopi dan Takdir yang Bercanda
Bab 2: Konspirasi Kopi dan Takdir yang Bercanda
Pagi itu, Rania sedang sibuk meracik pesanan pelanggan saat Adit menyeletuk dari belakang, “Eh, si ‘Mas Pahit’ datang lagi tuh.”
Rania otomatis menoleh ke arah pintu. Bintang, dengan hoodie yang sama seperti kemarin—serius, dia nggak punya baju lain apa?—melangkah masuk dengan santai. Kali ini, dia membawa laptop yang terlihat lebih berat dari nasibnya.
“Pagi, Mbak Rania,” sapa Bintang sambil melambaikan tangan.
“Pagi, Mas Inspirasi Mandek,” balas Rania tanpa pikir panjang.
Bintang tertawa kecil sebelum duduk di tempat favoritnya: meja pojok dekat jendela. Setelah beberapa detik menatap daftar menu, dia mengangkat tangan lagi. “Mbak, ada kopi yang bisa bikin ide muncul nggak?”
Rania mendekat dengan senyum penuh misteri. “Ada. Tapi harganya mahal, Mas. Bayarnya pake cerita hidup.”
“Waduh. Itu bayarannya berat, ya?” Bintang menggaruk kepala. “Tapi kalau cuma cerita hidup, gue bisa bagi-bagi gratis.”
Adit yang sedang lewat ikut nimbrung, menatap Bintang dengan ekspresi serius. “Mas, hati-hati. Mbak Rania ini kolektor cerita patah hati.”
“Halah!” Rania menyikut Adit sambil tertawa. “Jangan dengerin dia, Mas. Lagian, cerita lo nggak menarik buat gue.”
Bintang pura-pura terkejut. “Mbak belum denger, kok udah nge-judge?”
“Feeling gue tajam.” Rania menepuk dada. “Insting barista.”
---
Sejam kemudian, Rania kembali menghampiri Bintang yang masih duduk dengan tatapan kosong menatap layar laptop. “Masih buntu?” tanyanya.
Bintang menghela napas panjang. “Gue mau nulis cerita tentang dua orang yang ketemu di kafe. Tapi klise banget, ya?”
“Kalau semua klise dihindarin, nggak ada cerita, Mas.” Rania duduk di kursi seberang. “Yang penting gimana cara lo bikin ceritanya jadi seru.”
“Seru gimana?”
Rania berpikir sejenak, lalu tersenyum. “Tambahin twist. Misalnya, salah satu karakternya ternyata alien.”
“Hah? Alien?”
“Kenapa nggak? Siapa tahu alien suka ngopi juga.” Rania mengangkat bahu santai.
Bintang tertawa terbahak-bahak. “Oke, itu absurd. Tapi gue suka.”
---
Obrolan mereka terus berlanjut, dari topik alien pecinta kopi hingga konspirasi pemerintah yang sengaja bikin kopi instan jadi nggak enak biar orang-orang lebih sering ke kafe. Rania bahkan sempat mengajukan teori bahwa barista adalah agen rahasia yang dilatih untuk mempengaruhi selera pelanggan.
“Jadi gue ini target lo?” tanya Bintang dengan nada penuh kecurigaan palsu.
“Bisa jadi,” jawab Rania sambil mengedipkan mata. “Siapa tahu, Mas Bintang adalah eksperimen gue yang ke-99.”
“Waduh, gue eksperimen gagal dong?”
“Mungkin aja.” Rania tertawa, merasa aneh karena sudah nyaman berbicara dengan Bintang. Padahal, mereka baru kenal beberapa hari. Tapi entah kenapa, obrolan dengan pria ini selalu mengalir seperti aliran kopi ke dalam cangkir—smooth dan menenangkan.
---
Sore itu, sebelum Bintang pergi, dia menyodorkan sebuah kertas ke Rania. “Ini draft ceritanya. Nggak bagus-bagus amat, sih. Tapi coba baca, ya?”
Rania mengambil kertas itu dengan ragu. “Serius, gue boleh baca?”
“Boleh dong. Gue butuh feedback dari agen rahasia kayak lo.”
“Gue nggak janji bakal kasih pujian, lho.”
“Gue nggak butuh pujian. Gue butuh kritik pedas.”
“Oke, siap.” Rania menyelipkan kertas itu ke apron dan melambaikan tangan saat Bintang melangkah keluar. Ada sesuatu yang hangat di dadanya, perasaan yang sulit dijelaskan. Seperti menemukan teman lama yang lama hilang, meskipun mereka baru bertemu.
To be continued...