Seorang wanita muda bernama Ayuna berprofesi sebagai dokter Jantung yang berdinas di rumah sakit pribadi milik keluarganya, dia terpaksa dijodohkan oleh orang tuanya karena dia lebih memilih karir dibandingkan dengan percintaan.
Sebagai orang tua. tentunya sangat sedih karena anak perempuannya tidak pernah menunjukkan laki-laki yang pantas menjadi pasangannya. Tidak ingin anaknya dianggap sebagai perawan tua, kedua orang tuanya mendesaknya untuk menikah dengan seorang pria yang menjadi pilihan mereka. Lantas bagaimana Ayuna menyikapi kedua orang tuanya? Mungkinkah ia pasrah menerima perjodohan konyol orang tuanya, atau melawan dan menolak perjodohan itu? ikuti kisahnya hanya ada di Novel toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Dw, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5. Jadilah Dokter Pribadiku
Tidak mendapati adiknya di rumah sakit, membuat Nilam khawatir. Apalagi sebelumnya Ayuna sempat berdebat dengan orang tuanya. Ayuna menolak perjodohan yang dilakukan oleh Oma dan juga Opanya, tapi kedua orang tua itu keukeh dengan pendiriannya, ingin tetap perjodohan itu dilanjut. Ayuna sendiri bahkan belum siap untuk menikah, apalagi Ayuna masih belum mengetahui seperti apa laki-laki yang hendak dijodohkan dengannya.
"Ayuna! Dari mana aja kamu hah!"
Nilam bernafas lega setelah cukup lama menunggu Ayuna datang, akhirnya gadis itu menampakkan batang hidungnya.
"Kakak, aku tadi masih ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan," jawab Ayuna dengan membuka pintu ruang kerjanya.
"Apa urusanmu itu jauh lebih penting dari pasienmu yang sudah kamu tinggalkan?" tanya Nilam dengan menatap kesal pada adiknya.
Ayuna mengakui dirinya telah bersalah, tapi memang kondisinya terdesak dan ia terpaksa menyelesaikan masalahnya dengan pria yang super duper menyebalkan itu, jika tidak ..., ia yakin pria itu tak berhenti menerornya.
"Maaf, aku salah. Tapi aku tidak bisa meninggalkan urusanku begitu saja. Aku bingung tadi kak, kalau nggak penting, aku nggak akan terlambat datang ke rumah sakit. Sebelumnya aku belum pernah terlambat kan?"
Ayuna tidak bisa mengatakan pada kakaknya, karena dia datang menemui pemuda yang sama sekali tidak penting. Hanya saja dia harus bertanggung jawab atas apa yang dia perbuat, harus mengganti kerugian mobil yang sudah ditabraknya.
"Kamu tahu Ayuna. Papa tadi mengikutimu, takut kamu kenapa-napa di jalan. Tapi Papa kehilangan jejak saat berada di pertigaan. Dikiranya kamu sudah sampai di rumah sakit, nggak tahunya nggak ada di sini. Kamu kalau punya masalah, cerita sama kakak, jangan dipendam sendiri. Kalau sampai ada apa-apa sama kamu gimana? Nggak ada yang tahu di mana keberadaanmu Ayuna?"
Nilam memberikan banyak teguran pada Ayuna. Sangat khawatir kalau sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, karena Ayuna dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.
Ayuna hanya diam dengan menundukkan wajahnya. Merasa bersalah, ia tidak ingin membantah apa yang dikatakan oleh kakaknya.
"Yasudah, mendingan kamu temui Papa dulu sebelum bertugas. Minta maaf sama Papa. Jangan bikin masalah Yuna, kasihan Papa, dia sudah tua untuk kita kerjain," tutur Nilam.
"Iya kak, aku minta maaf. Sekarang aku mau temui Papa dulu ya kak," ucap Ayuna kembali menutup pintu ruangannya dan bergegas menuju ruangan Profesor yang tidak lain adalah Papanya sendiri.
Sedangkan Nilam, kembali ke ruang kerjanya yang bersebelahan dengan ruangan Ayuna.
Tiba di depan pintu ruangan Profesor Mahendra, Ayuna langsung mengetuk pintu nya.
"Masuk," ucap Profesor Mahendra yang masih berkutat dengan pekerjaannya.
Ayuna pun membuka pintunya dan masuk menemui Papanya.
"Ayuna! Dari mana saja kamu?" tanya Mahendra.
"Tadi Yuna masih ada urusan di luar Pa," jawab Ayuna dengan berjalan mendekat dan menarik kursi untuk didudukinya.
"Kamu itu, kamu tahu nggak? Papa tadi ikutin mobil kamu. Khawatir sama kamu, kamu kalau ada masalah, sebaiknya jangan menyetir mobil sendiri, kamu bisa bareng sama Papa atau sama kakakmu," nasehat Mahendra.
"Aku nggak Papa kok Pa. Aku tadi ada urusan yang tidak bisa ditunda, akhirnya aku putuskan untuk menyelesaikannya saat itu juga," jawab Ayuna.
"Urusan apa?" tanya Mahendra dengan menyilangkan kedua tangannya di dada.
"Em, itu Pa, aku.... "
Ayuna bingung, kalau berterus terang dirinya telah menemui seorang laki-laki yang tidak dikenalinya, sudah pasti Papanya akan sangat marah.
"Kenapa kamu diam? Urusan apa?" tanya Mahendra mulai curiga.
Ayuna dibuat bingung dengan pertanyaan dari Papanya. Dia bingung harus menjawab apa? Jika berterus terang bahwa dirinya menemui seorang pemuda untuk bertanggung jawab atas kerusakan mobilnya, pasti Papanya bakalan marah. Tapi kalau sampai tidak memberi alasan yang tepat, dirinya juga pasti dianggap sudah tidak jujur, dan membuat ,orang tuanya kecewa.
"Sebenarnya aku tadi ada urusan dengan temanku sesama dokter Pa. Tapi dia tidak dinas di rumah sakit ini. Dia ingin menemuiku sebentar, karena keberadaannya sama-sama di jalan, aku berinisiatif untuk menemuinya," alibi Ayuna tidak ingin membuat masalah dengan Papanya dan juga keluarganya yang lain.
"Oh! Yaudah kalau gitu. Tapi lain kali kalau mau ketemuan sama teman, sebaiknya di sini saja. Kamu punya banyak pasien yang tengah kamu tangani. Bersikaplah profesional, jangan menelantarkannya hanya karena ingin mengurus masalah pribadimu. Kalau temanmu mau ketemu, biarkan dia ke sini," nasehat Mahendra.
"Iya Pa," jawab Ayuna.
"Sekarang kamu ada jadwal operasi nggak?" tanya Mahendra.
"Ada, pukul sepuluh ada jadwal operasi. Dan pasienku yang selesai operasi kemarin belum aku tengok. Kalau gitu aku akan menengoknya dulu ya Pa," ucap Ayuna.
"Iya silahkan. Kalau kamu butuh bantuan, kamu bisa minta tolong sama kakakmu," tutur Mahendra.
"Enggak Pa, patner kerjaku kan dokter Aris, jadi aku lebih suka bekerja sama dia. Kalau kakak udah beda lagi, aku nggak pernah libatin kakak dengan urusan kerjaku," jawab Ayuna.
"Iya, sepertinya kamu memang cocok kalau punya patner seperti Aris. Dia baik dan banyak membantu. Papa suka dengan cara kinerja dia, sangat beruntung Aris bekerja di rumah sakit ini, pekerjaannya sangat baik dan profesional," ungkap Mahendra.
"Iya Pa. Dia sudah banyak membantuku. Aku sangat bersyukur memiliki teman seperti dia," ucap Ayuna sembari tersenyum.
"Ayuna, sebelum kamu pergi, Papa mau tanya sama kamu. Apa kamu siap dengan perjodohan ini?" tanya Mahendra menatap pada putri kecilnya.
"Huft, apa menurut Papa aku menyukai perjodohan ini? Enggak Pa, aku tidak menyukainya, aku lebih suka memilih kerja, dari pada harus menikah dengan orang yang sama sekali belum kuketahui latar belakangnya," jawab Ayuna.
"Maaf nak, Papa nggak bisa berbuat apa-apa untuk bantu kamu. Semua sudah menjadi ketentuan Oma sama Oppa kamu. Lihatlah kakak-kakakmu, semua telah dijodohkan, tapi syukur alhamdulillah, mereka bahagia dengan pernikahannya. Semoga kamu nanti bisa seperti itu," celetuk Mahendra.
"Tapi aku bukan kak Nilam Pa. Aku masih punya impian untuk mewujudkan impianku. Aku tidak ingin buru-buru menikah. Ayolah Pa, bantu aku buat gagalin rencana Oma sama Oppa. Halangi mereka agar tidak menjodohkanku," ungkap Ayuna.
"Tapi nak, Papa benar-benar nggak bisa bantu kamu. Papa nggak punya cara untuk menghalangi Oma sama oppa kamu. Mereka itu sangat keras, semua yang berkaitan dengan keluarga, sudah pasti akan menjadi tanggungannya. Sekali lagi maafin Papa kamu ini ya? Papa nggak punya keberanian buat lawan mereka."
Mahendra berdiri dari tempat duduknya dan mendekat pada Ayuna.
Ayuna terbengong kecewa. Berharap orang tuanya bisa membantunya untuk memutuskan perjodohan yang dilakukan oleh omanya ternyata hanya sia-sia saja.
"Jadi nggak ada jalan lain ya Pa. Yaudah deh, aku nggak maksa Papa buat tolongin aku. Maaf Pa, aku udah ganggu waktunya, aku mau temuin pasienku dulu," ucap Ayuna dengan tersenyum kecewa meninggalkan ruang Mahendra.
Mahendra menatap sedih kepergian Ayuna yang sudah meninggalkan ruangannya. Sebagai orang tuanya, dia tidak memiliki hak untuk mengatur anak-anaknya sendiri. Sungguh malang menjadi keluarga Alexander, semua urusan dihandel olehnya.
"Maafin Papa nak, sebenarnya Papa juga nggak setuju kamu dijodohkan dengan laki-laki yang belum diketahui batang hidungnya. Mungkin dia keturunan keluarga Moffat, tapi sifat dan pribadinya, Papa masih ragu."
Ayuna memasuki ruangan rawat di mana pasien yang berhasil operasi pencangkokan jantung itu di rawat.
Dia ingin melihat keadaannya, takut perempuan renta itu mengalami hal yang buruk setelah menjalani pencangkokan jantung.
"Selamat pagi, dengan nyonya Ane?" tanya Ayuna sembari berjalan masuk ke ruang rawat perempuan tua.
"Selamat pagi juga dokter. Iya benar, ini ruangan ibu Ane," jawab perempuan paruh baya yang tengah menemani pasien.
Ayuna pun mendekat ke brankar, diaajan melakukan pengecekan dengan stetoskop kebanggannya.
"Bagaimana perkembangan nyonya setelah operasi Bu? Apa ada perkembangan?" tanya Ayuna dengan menoleh pada perempuan paruh baya yang menjaga pasien.
"Iya dokter, alhamdulillah banyak perkembangannya. Saya sangat bersyukur, Mama saya bisa sembuh. Terimakasih ya dokter, dengan pertolongan dokter, Mama saya kembali normal," ungkap Perempuan paruh baya itu.
"Ibu, yang menyelamatkan nyawa nyonya Ane adalah Yang Maha Kuasa, bukan saya. Saya hanya manusia biasa yang kebetulan bisa membantu nyonya Ane melewati masa terpuruknya. Syukur alhamdulillah nyonya Ane kembali sehat, semoga saja kondisinya akan segera pulih," jawab Ayuna.
"Amin, dokter baik banget. Terimakasih do'anya dokter," ucap perempuan paruh baya itu.
Nyonya Ane tersenyum senang mendapati Ayuna. Dokter muda cantik dan ramah. Tidak ragu dirinya kalau dirawat olehnya.
"Dokter...."
"Nama saya Ayuna nyonya," jawab Ayuna.
"Nama yang cantik, wajahnya juga sangat cantik, anggun, secantik hatinya. Dokter masih sangat muda, tapi sangat pinter. Alangkah beruntungnya memiliki anak anda dokter," puji Ane.
"Biasa saja nyonya. Saya nggak sempurna kok. Nggak sebaik yang nyonya kira," jawab Ayuna.
"Tapi semua itu bisa dilihat dari tampangnya nak, kamu ini gadis lugu, anggun dan nggak bikin bosan. Kalau saya minta sesuatu sama kamu, Kira-kira kamu mau nggak, kabulin permintaan saya," ucap nyonya Ane.
"Permintaan?"
Ayuna menautkan kedua alisnya menatap lekat pada nyonya Ane.
"Iya, permintaan saya," jawab nyonya Ane.
"Memangnya nyonya minta apa sama saya?" tanya Ayuna.
"Saya minta, anda menjadi dokter pribadi saya, yang membantu saya, merawat saya. Saya ingin berada di tangan yang tepat. Saya ingin sembuh dokter, saya ingin, anda yang merawat saya," pinta nyonya Ane.
Ayuna membulatkan bola matanya. Ia bingung akan menjawab apa pada perempuan renta itu.
Tidak ingin menyakiti perasaannya, diapun terpaksa menganggukkan kepala, meskipun dalam hatinya ingin sekali untuk menolak.
"Baiklah nyonya, saya akan usahakan. Kalau begitu saya akan periksa dulu tensi nyonya, apa hari ini ada perubahannya. Semoga saja, tensi nyonya segera normal kembali. Kalau udah normal, tinggal pemulihan saja sudah bisa izin pulang," ucap Ayuna.
Ayuna memasang stetoskop kebanggaannya dan langsung memeriksa pasiennya. Dalam hati ia ingin menolak, tapi ia juga tidak punya keberanian untuk menolaknya. Permasalahannya datang bertubi-tubi dan itu membuatnya lumayan kesal.